Sabtu, 19 Mei 2018

752 141 43
                                    

"Nja, Senja?" Suara Hilda dari balik telepon menyadarkan saya dari lamunan. "Lo masih di situ, kan?"

"Iya, Hil? Gimana?" Saya bahkan tak tahu Hilda sedari tadi bicara tentang apa. "Maaf," ucap saya setelah mendengar Hilda mengembuskan napas panjang.

Saya tak tahu apa yang sedang menganggu pikiran saya saat ini. Televisi yang menyala, suara Hilda di telepon, tak membuat saya berhenti untuk melamun. Saya bahkan lupa kalau hari ini saya melewatkan sarapan dan makan siang. Tak terasa lapar sama sekali. Pikiran saya benar-benar berkelana ke mana-mana.

"Senja, you okay?"

"Gue tutup, ya."

Tanpa menunggu persetujuan Hilda, saya sudah menutup sambungan telepon tersebut. Dan ... kembali melamun. Sampai akhirnya mata saya tertuju pada sebuah foto berbingkai di atas nakas. Foto yang empat tahun lalu saya ambil tanpa izin pada pemiliknya saat membantu membereskan barang-barang di kamarnya. Saya tak tahu kenapa sampai sekarang saya masih menyimpannya, bahkan memajang foto tersebut.

Dada saya tiba-tiba nyeri. Terasa sangat sesak saat saya berusaha untuk menahan air di sudut mata. Saya kembali meringkuk di atas kasur, membiarkan saya merasakan rasa seperti ini untuk hari ini. Semoga hanya hari ini.

Tapi saya sadar, saya tak bisa terus seperti ini. Saya tak boleh terus egois. Ucapan Mama, Hilda, Kak Laras, dan Tante Farah seharusnya sudah cukup untuk membuat saya kembali pada diri saya yang dulu. Entah yang mana. Saat bersama Aldi? Atau sebelum bersama Aldi? Yang jelas, mereka semua ingin saya lebih baik dari yang seperti ini. Seharusnya saya bisa, tetapi, berapa kali-pun saya mencoba, sebanyak itu juga saya gagal. Dan akhirnya menyerah untuk kembali mencoba.

Saya bangkit, berjalan tertatih ke kamar mandi untuk membasuh wajah. Saya sudah mandi pagi-pagi sekali. Kalau biasanya saat libur saya kan mandi siang hari, tapi karena semalam tidak bisa tidur, saya memutuskan untuk mandi pukul lima pagi tadi.

Saya menatap diri saya dari pantulan cermin, ada lingkaran hitam di bawah mata walau tak begitu terlihat jelas. Tapi wajah lelah karena kurang tidur ini, begitu tergambar jelas di sana.

Saya harus keluar dari sini. Kalau tidak, mungkin Saya akan terus berbaring di atas kasur sampai akhirnya menangis.

Setelah mengambil persediaan makanan ringan dan soft drink yang semalam sengaja saya beli di minimarket, saya keluar dan menuju pintu di sebelah apartemen saya. Dengan hanya menggunakan kaos lengan panjang, celana jeans pendek, dan sandal rumahan, saya tanpa ragu sudah berada di depan pintu apartemen Fajar. Seperti biasa, saya menekan belnya berkali-kali sampai ada yang membukakan pintu.

Tak aneh kalau saat ini wajah Fajar terlihat terkejut. Wajah tanpa make up, rambut yang dicepol asal, dan sekantung plastik putih besar menyapanya siang ini. Saya bahkan tanpa ragu masuk ke dalam apartemennya, bahkan tanpa disuruh terlebih dahulu.

"Kamu punya mie instan? Telur? Saya laper." Saya menelusuri setiap kabinet di dapurnya. Ini memang sangat tidak sopan. Tapi sungguh, saya tidak bisa memikirkan apapun saat ini. Mungkin saya sudah sedikit gila. "Kalau saya ada pas kamu laper, kamu juga harus ada pas saya lagi laper." Saya tak melihat ke arah Fajar sama sekali.

"Mie instannya di sini." Fajar mengambil mie instan dari kabinet atas yang belum saya buka.

Kini posisinya, Fajar tepat berada di belakang saya. Punggung saya bahkan menyentuh dadanya. Saya tak bergerak sampai Fajar sendiri yang menjauhkan tubuhnya dari saya.

Buku HarianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang