Kantor sejak tadi masih juga riuh karena seorang wanita dari divisi lain, katanya, mengalami kerasukan. Saya tidak tahu pasti bagaimana kejadiannya, itu hanya yang saya dengan dari orang lain. Ini adalah kali pertama di kantor mengalami hal seperti ini, makanya riuh tak juga berhenti.
"Nja, gue takut, deh." Hilda bergidik ngeri. "Jangan-jangan kantor ini ada penunggunya, terus sekarang lagi minta tumbal," lanjutnya setengah berbisik sambil meringis.
"Lo mau?"
"Senja, lo kalau ngomong," pekik Hilda yang membuat beberapa orang di ruangan ini menoleh ke arah kami berdua.
"Suka bener?" Saya terkekeh. Sedari tadi Hilda memang tidak berhenti mengatakan takut. Sedangkan saya tak percaya hal-hal seperti itu.
Hilda menjauhkan kursinya dari tempat saya dengan sedikit cemberut. Lalu tak lama dia kembali lagi mendekati saya, mengganggu saya lagi. "Atau jangan-jangan—"
"Hilda?!" Saya menoleh ke arahnya lalu memberinya tatapan tajam. Sesungguhnya sudah muak dengan pembicaraan tentang wanita yang kerasukan itu hari ini, bukan hanya pada Hilda.
"Oke ... oke."
"Mau kemana, Hil?" tanya saya saat melihat Hilda hendak meninggalkan kubikelnya.
"Beli kopi."
Saya mengangguk, lalu kembali melanjutkan pekerjaan saya yang tadi sempat beberapa kali terganggu karena racauan Hilda. Sesekali memakan keripik singkong yang selalu berada di meja saya.
"Dev, file-nya udah saya kirim ya? Coba dicek, ada yang salah atau nggak," ucap saya pada Devan yang langsung ditanggapi dengan acungan ibu jari oleh Devan.
"Senja?!"
Astaga, Hilda itu emang hobi banget bikin ribut, ya?
"Mbak Hil, jangan berisik dong," ujar Devan yang tadi tengah serius. Sedangkan Hilda hanya menunjukkan deretan giginya.
Saya hanya tertawa kecil mendengar itu. Mood saya ternyata sedang baik hari ini.
"Thanks, ya," ucap saya saat menerima es cokelat dari Hilda. Padahal saya tak meminta dia untuk membelikannya.
"Dari barista di bawah." Hilda mulai mendekatkan kursinya lagi ke arah saya. "Siapa, Nja?" bisiknya.
Barista? Saya mulai menebak-tebak siapa pegawai kedai kopi yang mungkin memberi saya minuman ini. Lalu saya teringat satu nama. Sempat tak terpikir kalau Fajar akan melakukan ini, tapi tak ada lagi nama yang cocok untuk itu. Hanya ada Fajar. Kalau ada, mungkin dia penggemar rahasia? Sepertinya tidak mungkin itu lebih tidak mungkin sih.
"Tetangga sebelah."
***
"Maaf, Mas, saya mau tanya sesuatu boleh?"
"Boleh atuh, Mbak."
Saya hanya meringis. Sudah hampir setengah jam ini saya duduk di kedai kopi sambil memperhatikan beberapa barista. Tapi seseorang yang saya tunggu, tak juga terlihat. Saya sedang menunggu Fajar, untuk memastikan kalau es cokelat yang diberikan Hilda tadi siang itu adalah benar darinya.
Setelah menyelesaikan perkerjaan, saya dan Hilda langsung ke sini. Sebenarnya Hilda yang meminta saya untuk menunjukkan Fajar padanya. Karena katanya, saat memberikan es cokelat itu, Hilda tidak terlalu memperhatikan orangnya. Saat saya menanyakan tag nama di seragamnya saja, Hilda tidak tahu. Dan berakhir Hilda yang terus meracau pada saya.
"Gebetan baru lo, ya?" tanyanya dengan antusias tadi siang.
Saat itu saya hanya bisa menghela napas kasar. Rasanya akhir-akhir ini saya terlalu banyak mendapat kalimat soal 'pendamping baru'. Padahal nyatanya ... sulit untuk itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Buku Harian
Romantik[SELESAI] Kalau berkenan mampir, saya akan memperkenalkan pria pemilik senyum indah dan tatapan teduh; pria yang mampu membuat saya berdebar tak sebagaimana mestinya; pria yang selalu bisa membuat desiran aneh mengalir hebat memasuki rongga di sisi...