Rabu, 16 Mei 2018

709 126 1
                                    

"Jadi, nggak bisa nih?"

"Nggak bisa, Hil, gue udah janji sama Kak Laras buat datang." Nggak janji juga sih sebenernya. Tapi saya harus datang.

Hilda sedari tadi terus merengek meminta saya menemaninya men-service laptopnya yang mendadak tak mau menyala. Kebetulan, hari ini memang sedang tidak ada pekerjaan tambahan. Tapi kebetulan itu juga yang saya gunakan agar bisa datang ke acara pesta ulang tahun Mesya. Walau sangat telat dari waktu yang ditentukan.

"Ya udah deh, gue duluan, ya."

Saya mengangguk sebelum akhirnya Hilda masuk ke mobilnya dan pergi meninggalkan saya.

Sudah pukul setengah tujuh malam dan saya belum juga menjalankan mobil sama sekali. Tak ada yang salah dengan mengunjungi pesta ulang tahun anak perempuan berusia lima tahun, hanya saya yang ragu atau mungkin takut untuk bertemu keluarga Kak Laras. Orang tuanya, saudara-saudaranya yang mungkin datang ke acara tersebut membuat saya kembali berpikir ulang untuk datang.

Tapi akhirnya mobil saya mulai membelah jalanan Jakarta yang selalu ramai dengan pelan, takut sewaktu-waktu saya berubah pikiran. Saya tak berniat datang ke tempat pesta yang sudah tertera di surat undangan, karena pastinya acara sudah selesai sedari tadi. Jadi saya memutuskan untuk ke rumah Kak Laras.

Tidak, melainkan saya sudah berada di depan pagar rumahnya. Tak percaya pada diri saya sendiri kalau saya benar-benar mengunjungi rumah ini lagi setelah sekian lama.

Saya menekan bel sekali, dengan ragu. Lalu tak lama seorang wanita paruh baya membukakan pintu dan langsung tersenyum ketika melihat saya, dan saya dengan susah payah membangun senyum untuk membalasnya. Beliau mempersilakan saya untuk masuk dan menyuruh saya duduk.

"Mau minum apa, Nja?" tanyanya.

"Apa aja, Tante."

"Kalau gitu, Tante ambilin dulu ya?

Setelah Tante Farah meninggalkan saya untuk mengambil minuman, Kak Laras datang dengan wajah yang kelihatan sangat letih. Dia menyapa saya, lalu duduk di samping saya.

"Kakak pikir, kamu nggak akan datang."

Saya tertawa ringan. "Maaf aku nggak bisa dateng ke tempat yang udah di tentuin," ucap saya. "Ini, aku bawa hadiah buat Mesya." Saya memberikan paper bag berisi kotak hadiah itu pada Kak Laras.

Kak Laras menerimanya, lalu tersenyum. Kenapa rasanya orang-orang di sini sangat mudah tersenyum? Sedangkan saya sangat kesulitan untuk melakukan itu. Tetapi setidaknya saya tahu kalau mereka terlihat baik-baik saja.

"Makasih banyak, tapi Mesya-nya udah tidur. Kecapean kayaknya."

Tante Farah datang dengan membawa segelas es sirup dan beberapa makanan ringan. Lalu ikut duduk bersama saya dan Kak Farah. Ini benar-benar sangat canggung. Mereka bukanlah orang asing bagi saya, seharusnya begitu.

"Kamu udah makan malem?" tanya Tante Farah. "Kelihatannya kamu pulang kerja langsung ke sini."

Memang terlihat sangat jelas. Rok span lengkap dengan kemeja dan blazer masih melekat rapi ditubuh saya. Untung saja saya sudah melepas id card  yang biasanya selalu saya lepas kalau sudah sampai apartemen. Mungkin juga wajah lelah saya yang terlihat jelas. Tapi mereka tidak akan mengira kalau saya terpaksa datang ke sini kan?

"Kalau gitu, Kakak siapkan makannya dulu, ya?"

Belum sempat saya mengatakan sesuatu untuk menolak, Kak Laras sudah pergi. Kenapa rasanya menyulitkan sekali untuk kembali nyaman di sekitar mereka?

"Gimana kabarnya, Nja?"

Itu pertanyaan pertama yang membuat saya mulai merasa gugup.

"Baik, Tante." Saya tersenyum. Tidak kelihatan kan kalau saya sedang berbohong?

"Mama, Papa, sama Nita?" tanya Tante Farah lagi.

"Mereka juga baik. Nita sekarang lagi sekarang lagi sibuk ngurus buat persiapan magangnya," jawab saya, kali ini lebih panjang.

"Tante seneng dengernya."

Ketika Tante Farah selalu tersenyum setelah mengakhiri kalimatnya, ada sebuah perasaan aneh mengalir dalam tubuh saya, menjalar ke hati lalu membuatnya terasa sakit. Sebuah senyuman seorang ibu yang seharusnya mampu membuat tenang siapapun yang melihatnya. Tapi kenapa tidak dengan saya? Apa saya tidak normal?

"Om Arya nggak ikut ke sini?" Saya memberanikan diri untuk bertanya.

"Lagi ajak main Adit, tadi nangis gara-gara adiknya dikasih pesta ulang tahun yang bagus. Sama papanya juga."

Saya ikut tertawa ketika Tante Farah tertawa menceritakan kedua cucunya itu. Lagi-lagi saya merasa seperti sedang disakiti. Rasanya dada saya sesak dan perih.

"Ayo, Nja, makan dulu." Kak Laras datang menghentikan percakapan saya dengan Tante Farah.

Buku HarianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang