Rabu, 16 April 2014

699 142 21
                                    

Sekarang, di samping saya sudah ada Aldi yang sudah setengah jam menunggu saya pulang dari kantor. Saya tidak tahu kenapa dia malah menunggu saya di rumah daripada memilih menjemput saya seperti biasanya. Mungkin untuk mengobrol juga dengan Papa, karena kebetulan beliau sedang ada di rumah hari ini.

Setelah pertemuan dengan pihak catering hari itu, ini adalah pertemuan pertama kami lagi. Saya tidak semarah itu, atau mungkin saya yang tidak bisa marah. Entah, rasanya tidak ada yang patut untuk membuat saya marah. Saya selalu mencoba untuk berfikir se-positif mungkin tentang apa yang saya lihat hari itu. Walau sampai saat ini-pun Aldi tak pernah menceritakan apa-pun pada saya, tidak seperti Aldi yang biasanya.

Saya memang sakit hati. Sungguh. Tapi lagi-lagi saya terus mencoba berpikir yang baik-baik. Aldi dan saya akan menikah, tidak mungkin kan kalau Aldi bermain dengan perempuan lain dibelakang saya? Tiga tahun ini, seharusnya sudah cukup untuk saya mengenal baik dan buruknya Aldi. Seharusnya.

"Ngobrolin apa sama Papa?" tanya saya yang baru keluar dari kamar setelah selesai mandi. Saya langsung menghampiri Aldi dan duduk di sampingnya, tidak mau membuat Aldi menunggu lebih lama, bahkan saya tidak sempat mengeringkan rambut saya.

"Sini." Aldi meminta handuk yang saya gunakan untuk mengusak rambut saya. Tapi pekerjaan itu langsung berpindah pada Aldi ketika handuk yang dia pinta sudah berada di tangannya, hingga posisi saya harus berubah membelakanginya.

"Pasti Papa ngomongin aku kan?" Tubuh saya berputar ke belakang untuk menatap Aldi. Mata saya menyipit dan dia berhenti mengusak rambut saya, lalu terkekeh sebelum akhirnya kembali memutar tubuh saya ke posisi semula dan melanjutkan pekerjaannya.

"Katanya kamu kemarin masak telor dadar buat sarapan sampe gosong," katanya yang membuat saya seketika kembali memutar tubuh saya, tapi langsung tertahan oleh tangan Aldi sehingga saya tidak berhasil memberinya tatapan menakutkan. "Terus bikin mie instan sampe air-nya habis, terus gosong lagi," lanjutnya yang diakhiri tawa ringan.

"Tuh kan." Kali ini saya berhasil memutar tubuh saya sepenuhnya, mengambil handuk itu dari tangan Aldi lalu menatapnya lekat-lekat.

Aldi kembali tertawa. Saya cemberut.

"Bikin telor ceplok minyaknya kebanyakan, terus heboh sendiri pas minyaknya—"

"Aldi, ih!" Belum sempat dia menyelesaikan ucapannya, saya sudah lebih dulu memotongnya dengan cubitan di perutnya hingga dia meringis, walau akhirnya Aldi tetaplah tertawa.

"Terus katanya—"

Saya langsung menutup mulutnya dengan tangan saya agar dia tidak melanjutkan ucapannya yang tidak ingin saya dengar. Saya tidak tahu sebanyak apa yang Papa ceritakan pada Aldi selama beliau beberapa hari ini ada di rumah, karena beberapa hari itu juga saya memang banyak mengalami kejadian-kejadian yang memalukan kalau diceritakan.

Apa yang Aldi katakan tadi, itu tidaklah keinginan saya. Ya, siapa sih yang ingin sarapan dengan telur gosong atau kecipratan minyak panas saat sedang memasak? Saya tidak tahu apa yang saya lamunkan selama sedang mengerjakan itu semua. Sampai akhirnya Mama kembali melarang saya menyentuh hal-hal yang ada di dapur.

"Jangan ngelamun terus makanya kalau lagi masak itu." Aldi mengusap rambut saya yang masih setengah basah.

Sekarang saya sedang bersandar pada dada Aldi, masa bodo bajunya akan basah karena rambut saya. Saya hanya berharap, Papa dan Mama tidak datang ke ruang tamu. Juga Nita sih, tapi saya tidak terlalu mempermasalahkan kalau soal Nita.

"Al, aku mau denger cerita kamu, deh," ucap saya dengan hati-hati. Ya, maksud ucapan saya memang menjurus ke-kejadian tempo hari, walau saya yakin Aldi tidak akan paham.

Aldi mengusap lembut alis saya, dan itu membuat saya terpejam. "Cerita apa? Kak Laras sama Mama bukannya udah cerita semua kejelekan aku, ya? Aku bahkan khawatir kalau aku nggak punya sisi yang bagus lagi di hadapan kamu."

Saya terkekeh pelan, ingin kembali membuka mata, tapi jari Aldi di sekitar mata saya membuat saya kembali terpejam. Rasanya nyaman sekali.

"Ya udah, cerita apa aja."

"Kamu mau aku dongengin?" tanyanya.

Iya, perlakukan Aldi yang saat ini memang membuat saya mengantuk. Tapi bukan itu maksud saya.

Saya menghela napas pelan. Bergerak gusar mencari posisi lebih nyaman, seolah saya sedang bersiap mendengarkan Aldi bercerita. Walau bagaimana-pun, saya tetap tidak akan bisa tidur dengan posisi duduk seperti ini kan?

"Ada seorang cowok, terus dia punya temen."

Saya bergumam, memberi tanda kalau saya mendengarkan.

"Temennya ini lagi sakit parah, sedangkan dia asik-asikan jatuh cinta sama cewek yang temennya itu suka," lanjutnya. "Si cowok ini kejam banget kan ya? Padahal mereka temen baik."

Apa perempuan yang Aldi maksud adalah perempuan yang tempo hari ditemui-nya? Kalau benar, apa Aldi ikut terlibat dalam cerita yang baru saja diucapkannya?

Ah, kenapa Aldi harus memberikan dongeng semacam itu? Saya jadi kepikiran, padahal saya juga tidak tahu, cerita itu asli atau memang benar buatan Aldi semata.

"Kamu ngantuk?" tanyanya yang berhenti mengusap alis saya, tapi detik selanjutnya kembali melakukan hal itu. "Tidur gih ke kamar, aku pulang."

Saya bergerak, mengambil posisi duduk tegak, namun masih memejamkan mata. Saya sungguh mengantuk, tapi saya juga masih penasaran terhadap ceritanya.

Buku HarianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang