Sabtu, 15 Maret 2014

691 132 20
                                    

"Kita mau kemana sih, Al?" tanya saya lagi sambil terus menatap Aldi yang sedang fokus menyetir.

"Katanya kamu mau jalan-jalan. Ya, ini lagi jalan-jalan."

"Tapi kita udah muterin jalanan ini tiga kali."

Aldi tak menjawab, dia hanya terus menatap jalanan yang memang sudah diputarnya sebanyak tiga kali. Awalnya saya tak sadar sakan hal itu, tapi saya sudah melihat gedung yang sama sebanyak lebih dari sekali selama perjalanan ini.

"Kita ke pantai aja gimana?" Saya memberi saran.

Aldi menoleh ke arah saya sekilas, sebelum akhirnya dia menatap jalanan lagi. "Yakin mau ke pantai?" tanyanya setelah dia tadi sempat memperhatikan pakaian saya.

Hari ini saya mengenakan dress sebatas lutut, rambut terurai dengan rapi, make up yang sudah dipoles sedemikian rupa, bahkan saya memakai hak tinggi hari ini, dan saya sudah siap untuk berkencan ke tempat romantis seperti yang saya bayangkan. Semalam Aldi mengajak saya untuk jalan-jalan karena kebetulan dia sedang ada libur, dan saya setuju walau pada akhirnya kami harus ke pantai dengan saya yang mungkin salah kostum ini.

"Pakai ini." Aldi menaruh kemeja flanel yang tadi dia kenakan ke pundak saya, memakaikannya pada saya. "Nanti kulit kamu kebakar." Kini Aldi hanya mengenakan kaos saja.

Saya segera menyusul langkahnya setelah membenarkan posisi kemeja itu. Berjalan di pasir pantai mengenakan hak tinggi ternyata sangat sulit, saya harus berjalan dengan pelan dan hati-hati. Sampai akhirnya saya memutuskan untuk melepasnya dan hanya menjinjingnya. Ini sungguh kencan yang gagal.

Memang Aldi berkata kalau dia ingin kencan hari ini? Ya, memang seharusnya saya tidak mengharapkan sesuatu yang romantis dari Aldi.

"Kamu sebenarnya mau ajak ke mana sih tadinya?" tanya saya setelah mengambil posisi duduk di samping Aldi si atas pasir pantai tanpa menggunakan alas apapun lagi.

"Cuma pengen ngajak kamu jalan-jalan. Akhir-akhir ini kan kita sama-sama sibuk."

Ya, memang. Setelah perayaan anniversary minggu lalu, kami sudah tidak bertemu lagi. Aldi sibuk mengurus proyeknya di Bandung dan pekerjaan lainnya. Saya juga begitu, akhir-akhir terus pulang larut malam.

Saya memicingkan mata. "Kamu aneh."

Aldi menoleh ke arah saya, dia menyandarkan kepalanya pada pundak saya. Sebelumnya saya mendengar dia menghela napas panjang.

"Kalau ada orang yang lebih sayang sama kamu, kamu mau terima orang itu?" ujarnya tiba-tiba.

Saya sempat terkejut dengan perkataannya barusan. Sebelumnya Aldi tak pernah berbicara tentang hal seperti ini.

Saya diam sejenak, berusaha mencerna keadaan. "Aku sayang kamu," jawab saya. "Kamu kenapa sih, Al? Mulai ragu sama aku?"

Aldi mengangkat kepalanya. Dia menatap saya. Saya tersenyum, kini sudah berhasil mencerna keadaan. "Aku cuma—"

"Merasa bosan?" Saya tersenyum lagi. Bohong kalau saya tak sedang menahan air yang bergerumul di sudut mata. "Ngomong aja, kita masih punya waktu buat sama-sama jujur tentang perasaan kita masing-masing."

"Bukan itu." Aldi memejamkan matanya. Seperti merasa bersalah pada apa yang dikatakannya sebelumnya. "Aku cuma takut kamu tiba-tiba ... pergi."

Saya tertawa, dan berhasil meloloskan air mata yang tadi sudah menumpuk. "Aku harus ketemu sama cowok yang kayak gimana biar kamu jadi tambah takut kehilangan aku?"

"Jangan nangis." Aldi mengusap air mata saya. Dia menyandarkan kepalanya lagi ke pundak saya.

"Kamu percaya nggak kalau ada orang yang sayang banget sama kamu?"

"Kamu?" Saya terkekeh. "Kamu makin aneh deh, Al."

"Percaya sama aku."

"Iya, aku percaya."

-

Sejauh ini, apa tebakan kalian tentang cerita ini?

Buku HarianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang