Saya kembali membaringkan tubuh di atas kasur dengan posisi tengkurap. Saya baru saja pulang mengantar Mama ke pasar. Tiba-tiba saja Mama ingin saya yang mengantarnya, biasanya tak pernah mau kalau saya yang mengantar. Katanya, saya suka menyuruhnya cepat-cepat saat berbelanja. Memang begitu sih.
Saat saya mengatakan pada Mama alasan saya pulang ke rumah karena pemadaman listrik di apartemen, Mama malah menyuruh saya untuk tinggal lebih lama. Setidaknya sampai akhir bulan. Jelas saja saya menolak, karena memang jarak antara rumah dengan kantor sangatlah jauh. Butuh waktu sekitar satu jam dengan perjalanan lancar tanpa macet.
"Kak?" Nita tiba-tiba masuk ke kamar saya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu dan itu mengejutkan saya.
"Biasain ketuk pintu dulu."
"Maaf ... maaf," ucapnya sambil terkekeh. "Gue mau tanya sesuatu boleh, 'kan?"
Saya hanya berdeham. Mengantisipasi pertanyaan apa yang akan Nita ucapkan sampai hari bilang dulu kepada saya.
"Lo kenal Kevin, 'kan?" tanya Nita, masih dengan tatapan yang sama. Berhati-hati.
"Cowok lo?" tanya saya malas. Sebenarnya saya sudah bosan kalau Nita sudah membahas tentang kekasihnya yang bernama Kevin itu.
Saya menunggu pertanyaan selanjutnya dari Nita. Tidak mungkinkan dia hanya memastikan kalau saya tahu dengan kekasihnya atau tidak.
"Eum ..., dia itu ternyata saudara Kak Aldi. Saudara jauh, sih. Lo kenal?"
Saya langsung menghentikan aktifitas saya yang sedang memindah-mindah saluran televisi. Tiba-tiba pikiran saya berkelana pada kejadian semalam, saat saya bertemu dengan Kak Laras. Tidak biasanya Kak Laras meminta saya untuk bertemu hanya untuk memberikan surat undangan pesta ulang tahun anaknya. Padahal kami sudah jarang saling menghubungi, hanya sesekali diwaktu-waktu tertentu. Seperti ulang tahun Aldi beberapa bulan yang lalu.
Saat itu Kak Laras datang sendiri, tidak dengan suami atau anaknya. Kami bertemu di salah satu kafe di dekat rumah saya. Sebelumnya saya tidak tahu alasan apa yang sebenarnya Kak Laras miliki sampai mau bertemu dengan saya dengan jarak kafe tepat kami bertemu yang lumayan jauh dengan rumahnya.
Rasa canggung saat bertemu sudah pasti ada. Terakhir kali saya bertemu dengannya sekitar dua tahun yang lalu, itu pun secara tidak sengaja di sebuah mall. Saat itu saya sedang menemani Hilda membeli sepatu baru dan Kak Laras bersama suami dan kedua anaknya.
"Kamu banyak berubah," Kak Laras tersenyum pada saya, "makin cantik," lanjutnya.
Saya hanya tersenyum getir, masih mencoba mencerna keadaan.
"Udah punya pacar?" tanyanya secara tiba-tiba dan membuat saya semakin tak tahu harus berbuat apa. "Lupain aja, Nja." Kak Laras tersenyum lagi. "Udah empat tahun, kamu nggak boleh terus-terusan berada di zona kayak gini."
Tiba-tiba mata saya menjadi perih. Rasanya sudah banyak air yang bergerumul di sana, berdesakan meminta untuk keluar. Apalagi saat Kak Laras mulai memegang tangan saya, saya langsung kesulitan untuk bersuara. Hanya diam, menatap Kak Laras dalam-dalam.
"Kakak nggak minta kamu buat lupain Aldi. Tapi kakak juga nggak minta kamu buat terus ingat sama Aldi." Dan air mata saya sudah tak mampu terbendung lagi.
"Jalani hidup kamu sesuai apa yang kamu mau. Jangan siksa diri kamu buat terus ingat sama kejadian empat tahun lalu," lanjutnya.
Saya masih belum bisa bersuara. Semuanya terasa menyakitkan. Semua yang dikatakan Kak Laras itu entah kenapa terasa begitu menyakitkan untuk didengar. Atau mungkin ingatan yang terus berdatangan yang membuatnya terasa begitu sakit?

KAMU SEDANG MEMBACA
Buku Harian
Romansa[SELESAI] Kalau berkenan mampir, saya akan memperkenalkan pria pemilik senyum indah dan tatapan teduh; pria yang mampu membuat saya berdebar tak sebagaimana mestinya; pria yang selalu bisa membuat desiran aneh mengalir hebat memasuki rongga di sisi...