[Spin Off] Minggu, 13 April 2014

779 151 44
                                    

Aldi

Hari ini seharusnya saya mendatangi pihak catering bersama Senja, Kak Laras, dan Nita, tapi ketika saya masih di apartemen, saya dapat telepon dari Ana yang mengatakan kalau dirinya sudah berada di Indonesia. Karena hal itu juga yang membuat saya memutuskan untuk tidak datang ke tempat catering dan memilih menjemput Ana.

Ana sudah mendarat sejak semalam, dan sekarang sedang berada di suatu tempat untuk mengurus rencana pembukaan kedai kopinya. Saya menjemputnya di sana, lalu membawanya ke sebuah resto untuk sekalian makan.

Kepulangan Ana kali ini bukan hanya sekedar untuk mengurus kedai kopi itu, tapi juga memberi kabar ini-itu pada saya tentang kakaknya.

"Gimana, Senja?" tanyanya untuk memulai pembicaraan.

Berbicara soal Senja, saya baru saja mencoba meneleponnya, tapi tidak diangkat. Saya sudah mengirimkan pesan, tapi tidak dibalas juga. Saya tidak tahu apakah ini disengaja atau tidak, yang pasti, Senja pasti kecewa terhadap saya karena saya membatalkan janji hari ini. Atau mungkin akan lebih marah ketika tahu saya malah bertemu dengan seorang perempuan. Tapi saya beritahu kalau Ana bukanlah perempuan istimewa untuk saya. Dia hanya sekedar adik dari teman dekat saya.

"Baik," jawab saya singkat.

"Bukan itu, gimana pernikahan lo sama Senja?" tanya Ana lagi.

"Sejauh ini baik."

Saya hanya bisa menjawab seperti itu.

Ana terkekeh kecil. "Nggak usah merasa bersalah kali, Kak."

Ini ... terlalu kelihatan, ya?

"Kak Fajar nggak apa-apa, dia bilang sendiri sama gue kok." Ana tersenyum.

Saya memang sungguh merasa bersalah. Merebut seseorang yang teman saya cintai. Tapi saya juga tidak mengerti kenapa takdir membuatnya seperti ini. Fajar yang mengatakan kalau dia menyukai seseorang penjaga toko bunga di dekat kampus itu, lalu saya disuruh untuk membeli sebuah bunga dengan harap-harap mendapat nomor ponsel perempuan itu, tapi malah ketika membeli bunga, saya disuruh mengisi nomor telepon oleh perempuan itu. Oke, ini memang diwajibkan oleh setiap orang yang membeli bunga di sana, tapi saya tidak tahu kalau akhirnya perempuan bernama Senja itu menghubungi saya lewat nomor tersebut.

Dan berakhir, saya jatuh cinta padanya.

Saya tahu itu sangat kejam, apalagi ketika saya tidak memberitahu Fajar kalau saya mendapat pesan singkat itu pertama kali, dan saya baru memberitahu ketika saya sudah sangat dekat dengan Senja.

Fajar memang tidak marah atau mengatakan kalau saya jahat, tapi saya tahu kalau Fajar tersakiti dan merasa kecewa terhadap teman dekatnya. Fajar hanya meminta saya untuk memberitahu segala sesuatu yang Senja sukai dan tidak sukai. Bahkan ketika saya sudah resmi menjadi kekasih Senja, saya masih rela memberi informasi ini-itu tentang Senja pada Fajar, dengan harapan, saya bisa menebus sebuah kesalahan. Walau itu juga tidak berlangsung lama, karena saya terlanjur mencintai Senja dengan teramat, dan tidak rela siapapun menyentuh Senja-nya saya. Egois.

"Dokter nggak bilang akan sembuh total, tapi kemungkinan buat menambah umur hidup, lumayan besar," ujar Ana. "Dia minta gue buat ngasih tahu ini sama lo, Kak Fajar bilang, dia seneng kalau Senja bertakdir sama lo."

Saya meringis mendengarnya.

"Gue boleh nampar lo nggak sih, Kak?"

"Boleh." Saya menoleh ke arah samping agar Ana bisa menampar pipi saya, lalu saya memejamkan mata, tanda saya sudah siap mendapat tamparan tersebut.

Tapi helaan napas kasar Ana yang tak kunjung mendaratkan telapak tangannya di pipi saya, membuat saya kembali membuka mata dan mendapati Ana yang menggeram kesal. Siapapun pasti kesal kan kalau kakaknya diperlakukan seperti itu? Apalagi Fajar tengah terbaring tidak berdaya untuk melawan penyakitnya.

"Dia masih bela-belain buat buka kedai kopi ini tuh karena siapa? Senja, Kak, Senja!"

Saya sudah dengar soal itu. Kedai kopi yang sedang Ana urus ini memang sepenuhnya tercetus dari ide Fajar. Fajar yang mengetahui kalau Senja adalah penikmat kopi, membuat Fajar ingin, setidaknya sekali, merasakan kalau Fajar ada di dunia ini. Saya tidak marah, karena saya memang tidak pantas untuk marah. Keputusan tentang Senja untuk tidak mengetahui kalau saya punya teman dekat bernama Fajar juga itu Fajar sendiri yang mengatakannya. Fajar terlalu baik untuk diberi takdir punya penyakit yang bisa membunuh dia kapan saja.

"Gue berkeinginan buat ngasih tahu semuanya ke Senja sebelum gue resmi nikah sama dia," ucap saya.

"Bagus! Kasih tahu semuanya dari awal, kalau Kak Fajar adalah temen deket lo dan dia yang pertama kali suka sama Senja, bahkan sampe sekarang perasaan itu gue rasa makin menggila."

"Senggaknya, Senja harus tahu, kalau selain lo, ada lagi cowok yang cinta sama dia dengan sangat," sambung Ana.

Saya meringis, lagi-lagi saya merasa bersalah akan hal ini. Kalau saja saya tidak menuruti perintah Fajar untuk membeli bunga, kalau saja saya memberitahu Fajar bahwa Senja menghubungi saya, kalau saja, dan kalau saja lainnya, apa mungkin kejadiannya tidak akan serumit ini?

Saya mencintai Senja, bagaimanapun, saya akan tetap menikahinya karena saya ingin hidup dengannya. Tapi Fajar adalah teman baik saya, sekarang, setidaknya untuk kehidupan setelah ini, saya ingin menikmatinya tanpa rasa bersalah. Walau memang Fajar telah terang-terangan bahwa dia tidak masalah dengan ini.

Kira-kira seperti apa respon Senja nanti?

Buku HarianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang