Kamis, 03 Mei 2018

3.3K 225 0
                                    

Saya melangkah lunglai memasuki area kedai kopi yang berada di lantai dasar kantor tempat saya bekerja. Sudah pukul sembilan malam dan saya baru saha menyelesaikan pekerjaan. Belum lagi tadi memang harus mengerjakan sebagian pekerjaan Hilda yang ikut meeting di luar kota bersama Pak Fandi karena harus menggantikan sekretarisnya  yang kebetulan sedang sakit.

Sebenarnya, yang disuruh menggantikan Mbak Lusi untuk ikut meeting bersama Pak Fandi adalah saya, namun Hilda langsung paham ketika saya menatapnya dengan tatapan memohon.

Saya sedang tidak ingin bepergian ke manapun. Bahkan untuk sekedar berangkat ke kantor saja butuh waktu yang cukup lama agar saya benar-benar bangkit dari tempat tidur. Bukan karena memang mengantuk atau malas ke kantor, tapi saya ada alasan yang lebih serius dari sekedar dua hal itu.

Hilda tahu dan paham betul perihal itu. Jadi tak perlu waktu lama seraya melontarkan kata-kata rayuan agar dia mau menggantikan saya. Akhirnya alasan saya yang sedang kurang sehat dia pakai agar bisa membantu saya.

"Terima kasih," ujar saya pada seorang karyawan kedai kopi yang melayani pesanan saya.

Setelah menerima secangkir cappuccino hangat pesanan saya, saya langsung pergi menuju tempat parkir untuk segera pulang. Rasanya, ingin cepat-cepat sampai di apartemen dan mandi air hangat.

"Halo, Hil? Lo udah pulang?" tanya saya pada Hilda lewat sambungan telepon yang baru diangkatnya.

"Seharusnya gue yang tanya itu, 'kan?" Hilda bersuara lemas.

Saya sempat terkekeh singkat, namun tidak bisa menutupi rasa menyesal saya karena telah membuatnya menggantikan saya. Ditambah lagi, saya tahu kalau Hilda kurang suka pada Pak Fandi karena pernah menyuruhnya mengerjakan setumpuk pekerjaan yang seharusnya dikerjaan oleh Devan yang saat itu sedang mengambil cuti.

"Gue baru aja pulang, tadi sempet ditemenin Bagas juga," cerita saya pada Hilda. "Maaf, ya, gue jadi ngerepotin."

Saya masih berada di dalam mobil, masih belum menghidupkan mesin mobil dan memang belum berniat untuk segera pergi, setidaknya sampai panggilan telepon ini selesai.

"Nggak apa-apa," balas Hilda. "Yang penting, kerjaan gue beres, 'kan?"

"Tenang aja. Kalau sama gue, pasti beres," balas saya dengan kekehan kecil.

Dan setelah sama-sama mengucapkan terima kasih, saya menutup telepon itu dan langsung segera pergi meninggalkan tempat parkir.

Semua yang mengenal dekat dengan saya agaknya sudah biasa dengan sikap saya yang seperti ini; saya sedang lebih banyak ingin sendirian, seolah tengah merenung memikirkan masa depan, padahal sebaliknya.

Saat Bagas menawarkan bantuannya untuk ikut mengerjakan pekerjaan saya, saya jelas sempat menolak dan menyuruhnya untuk pulang saja, karena pegawai lain di divisi saya juga sudah pulang semua. Tapi, Bagas tetap bersikeras untuk menemani saya walau tidak ikut membantu pekerjaan.

"Nggak apa-apa, Mbak, saya di rumah juga nggak akan ngapain-ngapain." Begitu katanya saat saya menyuruhnya untuk pulang.

Saya menatapnya lamat-lamat. "Saya jadi ngerepotin kamu. Lagian ruangan lain masih banyak orang, kok."

Dan Bagas tersenyum, di kubikelnya yang sedikit berjarak dengan saya, dia menatap saya dengan teduh. "Kalau gitu, anggap saya nggak ada aja biar Mbak Senja nyaman kerjanya."

Dia tahu kalau saya tidak nyaman dengan keberadaannya, tapi menolak untuk pulang dan meninggalkan saya di ruangan. Bukankah itu aneh?

Buku HarianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang