Jumat, 22 Juni 2018

831 162 44
                                    

Hilda lagi-lagi menoleh kepada saya dengan tatapan menyelidikinya. Berkali-kali juga dia mengganggu saya hanya untuk membuat saya berbicara padanya. Tapi saya juga hanya menanggapinya dengan singkat atau sekedar tatapan malas, karena memang saya sedang malas berbicara, bukan hanya dengan Hilda, tapi dengan siapapun.

Sepertinya kehidupan saya itu mudah sekali berpengaruh oleh laki-laki, buktinya akhir-akhir ini saya kembali berubah. Tapi bolehkah saya meralatnya menjadi; oleh orang yang saya cintai?

Ini sudah seminggu lebih dari terakhir kali saya melihat Fajar. Dia juga jadi jarang terlihat di kedai kopi, saya hanya melihatnya sesekali, lalu dia kembali menghilang. Betapa teganya Fajar pada saya setelah membuat saya jatuh padanya, dia bisa dengan mudah menghilang semaunya. Saya bahkan tak habis pikir untuk hal itu.

Oke, Fajar memang kerap kali mengirimi saya pesan singkat, tapi itu hanya hal kecil yang malah semakin membuat saya rindu padanya.

Fajar : Jangan lupa makan siang.

Fajar : Lembur? Pulangnya hati-hati.

Fajar : Jangan sampe lewatin makan malem.

Fajar : Keluar. Kamu harus ketemu sama matahari, libur tuh jangan di dalem kamar terus.

Fajar : Bilang aja sama pegawai coffee shop yang ada kalau kamu mau minuman gratis, nanti mereka kasih.

Itu semua adalah pesan yang Fajar kirimkan pada saya. Ketika saya mencoba untuk menghubunginya, ponselnya langsung tidak aktif. Jadi setelah itu saya hanya mengabaikannya. Membalaspun percuma, malah akan membuat saya mengharapkan sebuah balasan darinya.

Kenapa mencintai saja malah sesakit ini?

Saya pikir, siang ini Fajar akan kembali mengirimkan pesan singkat untuk mengingatkan saya agar tidak lupa makan siang seperti hari-hari sebelumnya. Tapi ternyata tidak, ternyata pesan saat dini harinya itu adalah pesan terakhir yang saya dapat.

Fajar : Nja, saya kangen pengen ketemu.

Tebak, apa yang saya lakukan setelah membaca pesan itu? Saya menangis, jelas. Tidak ada lagi hal yang mampu saya lakukan selain menangis. Rasa rindu itu semakin menggunung dan semakin menjadi rasa sakitnya.

Saya pernah bertanya pada diri saya sendiri, kiranya apa kesalahan yang saya lakukan di masa lalu hingga saya bertakdir sesakit ini kalau mencintai seseorang? Setelah empat tahun saya susah payah mencoba untuk lupa pada hal menyakitkan, tapi ketika saya lupa, saya malah mendapat luka lain.

Tidak tahu, rasanya rindu dan mencintai Fajar itu sangat menyakitkan. Seperti ada sesuatu yang berteriak kalau saya tidak boleh mencintainya, tapi saya memaksa untuk mencintainya, jadilah seperti ini.

"Hil, gue ke toilet dulu," ucap saya pada Hilda, dan dia mengangguk kecil

Saya bangkit dari tempat duduk saya untuk menuju ke toilet untuk buang air kecil.

Ketika saya sampai di sana, saya bertemu dengan seseorang yang sedang bercermin sambil merapikan rambutnya, dan orang itu langsung menatap saya lewat pantulan cermin, sebelum akhirnya membalikkan badannya untuk menatap saya.

"Senja."

Saya mengerjap-ngerjap. Lalu tersenyum pada Mbak Ana.

"Kamu pulang kantor nanti ada janji nggak?" tanyanya tiba-tiba.

Saya sempat berpikir sebentar, sebelum menggeleng dan menjawab, "Nggak ada, Mbak? Kenapa?"

Mbak Ana tersenyum, dia merapikan kemejannya yang sedikit melipat. "Mau minum kopi bareng nggak? Saya yang traktir."

Buku HarianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang