Sabtu, 26 Mei 2018

687 145 18
                                    

Setelah beberapa jam hanya berpaku pada laptop dan berkas-berkas—diiringi dengan alunan musik dan makanan ringan juga, akhirnya saya menyelesaikan semua pekerjaan yang kemarin sempat tertunda. Dibantu oleh Fajar tentunya.

Ingat 'kan kalau kemarin saya meminta bantuan sesuatu terhadapnya? Ya, saya memintanya membantu saya untuk menyelesaikan pekerjaan, walau sebenarnya tidak terlalu banyak membantu juga. Fajar hanya sesekali mengajak saya berbincang atau sekedar bertanya lagu apa yang saya suka ketika lagu yang yang sedang kami sedang sama-sama dengarkan hampir habis, begitupun sebaliknya. Kami jadi sama-sama tahu selera musik masing-masing akhirnya. Dan perbincangan itu membuat saya tidak merasakan kelelahan saat sedang bekerja. Fajar juga yang membuka kan bungkus makanan ringan yang lain ketika yang sebelumnya sudah habis.

Saya menikmati semuanya dengan nyaman.

Awalnya Fajar memang tidak mengetahui kalau saya meminta bantuannya seperti ini. Dia terus bertanya, tapi saya tak kunjung menjawabnya. Sampai hari ini saya datang ke apartemennya dengan membawa sejumlah berkas-berkas dan sekantung plastik besar berisi makanan ringan dan minuman kaleng. Laptop yang saya gunakan untuk mengerjakan ini semua-pun menggunakan milik Fajar. Saya hanya membawa flashdisk untuk memindahkan file yang sudah saya kerjakan.

Jangan tanya ekspresi seperti apa yang saya dapatkan ketika datang ke apartemennya. Yang pasti, Fajar bingung dan tak kunjung mengerti bahkan ketika saya mendadak meminjam laptopnya. Dia hanya menurut sambil terus bertanya. Sampai akhirnya dia paham seluruhnya ketika saya sedikit memohon untuk meminta bantuannya mengerjakan pekerjaan saya yang terhitung masih banyak itu.

"Tapi kamu nggak marah?" tanya Fajar ketika saya menceritakan tentang masa kuliah saya dulu.

Saya menggeleng. Lalu dia tertawa.

"Kok ketawa sih?" Saya tiba-tiba merasa tidak terima dengan ketawanya barusan. "Kalau dipikir-pikir lagi tuh, kok saya mau-mau aja sih disuruh ngerjain tugas kelompok sendiri. Padahal kan jelas-jelas itu tugas kelompok bukan tugas individu." Saya kembali cemberut.

Fajar tertawa lagi. "Kamu lucu."

Coba jelaskan, bagian mana yang lucu? Selera humornya sepertinya aneh.

"Tapi kan itu kamu sendiri yang mau kan?"

Saya mengangguk. "Ya udah lah ya, udah kejadian ini. Nggak perlu ada yang disesali."

Tawa Fajar terhenti. "Terus kamu nyesel nggak ketemu sama saya?"

Saya menatapnya. Lalu dengan nada yang cukup pelan saya menjawab, "Nggak".

Dan jawaban itu berhasil membuat Fajar tersenyum. Bolehkah kini saya menyebut diri saya sudah dekat dengan Fajar. Ya, dekat. Saya senang dan berharap dia juga senang.

"Nja, kalau saya bilang pernah bertemu kamu dulu, jauh sebelum saya mengantarkan nasi goreng itu, kamu percaya nggak?"

Nggak terkekeh. "Di kehidupan sebelumnya maksudnya?"

"Nggak percaya, ya?" Fajar meringis.

Bukan tak percaya sebenarnya. Saya hanya mencoba untuk tidak mudah percaya dan hanya mencoba membuat sedikit candaan dengannya. Tapi sepertinya tidak dengan Fajar. Tatapannya seolah mengatakan bahwa itu benar.

"Di mana emangnya? Kapan?" Kali ini saya seriusan bertanya padanya.

"Katanya, kamu nggak percaya."

"Saya serius."

Fajar terlihat memutar bola matanya, seolah pikirannya sedang menjelajah ingatan-ingatan dulu. Sejauh apa sampai dia harus berpikir seperti itu?

"Kamu dulu punya toko bunga? Kayaknya saya pernah—" Fajar tak melanjutkan kalimatnya karena saya lebih dulu terkejut dan langsung memotong ucapannya.

"Dekat Univ Karyatama?" tanya saya dengan antusias.

Fajar mengangguk.

"Astaga, itu beneran saya, Fajar. Saya dulu punya toko bunga di sana," jelas saya yang entah kenapa rasanya sangat senang mendengar hal yang dikatakan Fajar.

"Oh ya? Saya pikir, cuma mirip aja."

Selanjutnya, saya kembali bercerita tentang diri saya pada Fajar bahwa saya memang dulu pernah memiliki toko bunga. Bukan toko bunga yang besar. Tapi hanya sebuah toko sederhana saja, karena kebetulan saat itu saya dan Mama sedang senang merawat bunga.

"Kalau kita kenalannya dari dulu, kira-kira ada yang berubah nggak, ya?"

"Berubah gimana?" tanya saya.

"Ya ... berubah." Fajar menggaruk tengkuknya. "Misal, sekarang saya bisa jadi pacar kamu gitu."

Dalam beberapa jeda kami hanya saling lempar pandangan. Apa yang barusan Fajar katakan, sungguh benar-benar tidak pernah saya duga.

Kalau dalam KBBI, pacar memiliki arti; teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih.

Ya, seperti itu. Sebuah hubungan yang ada karena saling mencintai satu sama lain. Tiba-tiba saja desiran aneh merambat menyentuh dan mulai memasuki rongga hati saya. Membuatnya tiba-tiba berdebar tak sebagaimana mestinya.

Kiranya, kapan saya terakhir kali merasakan debaran ini?

"Kamu lagi confess sama saya?" Saya berusaha untuk mencairkan suasana lagi. Entah berhasil atau tidak.

"Mungkin."

"Kalau gitu, coba lakuin dengan bener."

Kali ini, saya juga tidak tahu apa yang membuat saya berkata demikian.

Buku HarianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang