Rabu, 30 Mei 2018

731 151 27
                                    

Biasanya, tujuan saya setelah selesai bekerja adalah langsung pulang ke apartemen. Saya sebenarnya sangat anti memiliki kegiatan setelah pulang bekerja—tolong, kesampingkan saat saya mengunjungi rumah Kak Laras waktu itu. Yang saya butuhkan hanyalah mandi air hangat lalu tiduran di atas kasur yang empuk. Tapi hari ini, sepertinya saya akan membuat sesuatu yang baru untuk buku harian saya.

Percaya atau tidak, pagi tadi saya tidak mengendarai mobil seorang diri, tidak naik taksi online, apalagi naik busway. Tapi saya berangkat bersama Fajar ke kantor menggunakan mobil milik Fajar. Itu karena saya dan Fajar memiliki rencana sepulang bekerja hari ini.

Kemarin, saya ditawari untuk menonton festival musik oleh Fajar. Awalnya saya menolak karena itu pasti akan sangat berisik, dan saya tidak terlalu suka. Tapi ketika Fajar mengatakan kalau dia sudah membeli tiketnya, saya mau, tidak mau harus ikut.

"Lagian, saya heran deh. Kok bisa sih festival musik kayak gini adanya hari Rabu. Biasanya tuh weekend."

Fajar terkekeh, dia menoleh ke arah saya sekilas sebelum kembali menatap jalanan. "Ada. Ini buktinya kita mau dateng."

Saya sebenarnya tidak janji untuk ikut juga sih, saya takut kalau tiba-tiba ada pekerjaan tambahan yang harus saya kerjakan hari itu juga dan membuat saya lagi-lagi harus pulang larut. Tapi beruntung, sepertinya semesta memang sedang berpihak pada Fajar hari ini. Mungkin pada saya juga.

"Fajar." Saya menarik-narik lengan kaosnya dan membuat dia menunduk sedikit agar telinganya sejajar dengan mulut saya yang akan mengatakan hal lain padanya.

"Aneh," ucap saya.

Fajar mengerutkan keningnya, tatapannya sama sekali tidak mengerti apa maksud saya barusan.

"Saya aneh banget pasti ke tempat kayak gini, tapi pake pakaian semi-formal gini."

Saya meringis. Fajar tertawa pelan.

Benar. Kami berdua sudah sampai di tempat festival musik itu diadakan. Fajar mengenakan celana jeans dan kaos lengan pendek, sedangkan saya masih mengenakan pakaian yang sejak pagi saya kenakan; rok span pendek dengan kemeja biru langit. Benar-benar tidak menyesuaikan tempat sama sekali. Saya juga sungguh tidak memiliki pikiran untuk membawa pakaian lain. Karena seperti yang saya katakan sebelumnya, saya juga tidak yakin akan betulan datang ke tempat ini.

"Nggak apa-apa, kita kan ke sini mau dengerin musiknya, bukan mau fashion show."

"Ayok ke sana aja, tempatnya agak lenggang." Fajar menarik tangan saya agar saya mengikuti langkahnya.

Saya pikir, genggaman tangan itu akan lepas seiring dengan kami yang sudah berada di tempat yang Fajar maksud. Tapi bermenit-menit berlalu, berjeda-jeda terlewati, Fajar sepertinya masih enggan untuk melepas tangan saya dari genggamannya. Dia malah semakin mempererat dan memberi gerakan lembut di sana; mengusapnya dengan ibu jarinya.

Bohong rasanya kalau jantung saya saat ini tidak berdebar sebagai mana mestinya. Ini terlalu kencang dan terlalu cepat, hingga rasanya suara musik dari arah pengeras suara di sana saling menyahuti dengan suara detak jantung saya di sini. Anehnya, saya tidak melakukan gerakan perlawanan untuk melepas genggaman itu.

Seperti saya katakan, itu terlalu lembut dan menenangkan.

"Itu salah satu penyanyi kesukaan saya."

Lalu suara Fajar yang sedikit mengejutkan saya malah membuat irama degup jantung saya jadi lebih buruk.

Saya kembali mencoba memfokuskan diri saya ke arah panggung. Seorang penyanyi laki-laki sedang berbicara di sana, menyapa penonton sebelum memainkan lagunya.

"Kamu suka musik indie?" tanya saya pada Fajar ketika penyanyi tersebut mulai bernyanyi.

"Kamu nggak suka?" Fajar balik bertanya.

Kami saling tatap. Tangan kami masih sama seperti sebelumnya, masih saling bertautan. Sepertinya dalam waktu dekat, tidak akan ada yang menginterupsi untuk melepasnya lebih dulu.

Mungkin sudah terlalu nyaman dan terlalu terbiasa.

"Bukannya itu bikin ngantuk?"

Fajar memiringkan kepalanya, dia tersenyum. "Kamu ngantuk?" Lalu sebelah tangannya mengusap lembut rambut saya dan menyelipkannya ke belakang telinga.

Sungguh, padahal saya sama sekali tidak mengantuk. Tapi anehnya pergerakan tangan-tangan Fajar selalu berhasil membuat saya merasa tenang dan perlahan saya malah mulai mengantuk. Walau saya juga tidak mungkin akan tidur dalan kondisi bising seperti ini.

"Kamu pasti capek. Iya, kan?"

Fajar masih melakukan itu; mengusap lembut rambut saya. Setelah tadi dia mengusap punggung tangan saya, kini dia mengusap rambut saya. Jangan heran bila jantung saya selalu berdebar tak karuan setiap saat kalau seperti ini.

Saya ini perempuan, dan Fajar adalah laki-laki. Saya rasa, setiap perempuan akan merasakan hal sama seperti saya jika diperlakukan selembut ini. Iya kan? Tolong katakan kalau ini tidak hanya terjadi pada saya. Jadi saya tidak secepat itu untuk menyimpulkan sebuah rasa yang ditimbulkan oleh debaran disudut dada.

"Sini, senderan sama saya." Fajar menepuk-nepuk bahunya.

Dia sedang menyuruh saya menyandarkan kepala saya pada bahu-nya? Maksudnya seperti itu kan?

Ternyata memang benar, kami ini sudah sedekat itu. Dekat. Hingga saya dengan tidak tahu malu-nya mengikuti perkatakan Fajar untuk menyandarkan kepala saya di bahu-nya—ralat, tapi di lengannya, karena saya tidak setinggi itu untuk bisa meletakan kepala saya di bahu-nya dalam kondisi berdiri.

Semua orang mungkin tahu kalau posisi seperti ini mungkin sama sekali tidak membantu saya meringankan rasa lelah saya setelah seharian bekerja. Tapi orang itu harus tahu, kalau pergerakan kecil yang Fajar buat pada saya selalu memberi sebuah desiran menyenangkan dan menenangkan untuk saya. Usapan di punggung tangan saya, usapan di rambut saya, itu semua benar-benar membuat saya bisa setenang itu di tempat yang sebising ini.

"Maaf, saya udah maksa kamu dateng ke sini padahal kamu pasti capek banget."

Saya mendongak untuk bisa menatapnya, tapi ternyata Fajar sedang menatap ke arah panggung di depan sana.

"Kan kamu juga capek udah kerja seharian ini," ucap saya.

"Iya sih, tapi saya mau lihat penyanyi kesukaan saya nyanyi secara langsung kayak gini."

Kini Fajar beralih untuk menatap saya yang masih mendongak ke arahnya. Lalu tangannya kembali mengusap rambut saya.

"Kamu kan bisa nonton dia kapan-kapan lagi kalau dia ada di festival musik kayak gini, atau kamu bisa datengin konsernya kalau perlu."

Fajar tersenyum. Gerakan lembut di rambut saya tiba-tiba berubah jadi sedikit kasar. Dia mengacak-acak rambut depan saya yang berhasil membuat saya berdecak sebal. Kemudian bergerak menjauh dari lengannya dan itu juga membuat tautan lengan kami yang sejak lama terjalin harus terlepas.

Telapak tangan saya basah karena keringat. Mungkin karena terlalu lama digenggam erat hingga tak ada udara yang menyapa telapak tangan saya, makanya sampai berkeringat seperti ini. Saya rasa telapak tangan Fajar juga seperti ini.

Sekarang, posisi kami sedang berhadapan. Rasanya tiba-tiba panggung di depan sana lenyap begitu saja dan suara riuh serta bising dari pengeras suara dan orang-orang berhenti begtu saja ketika kami saling tatap dalam diam.

Fajar tiba-tiba tersenyum. Dan itu menular.

"Kamu keringetan." Saya mengusap beberapa titik keringat di pelipisnya menggunakan punggung tangan. Sedikit terkejut ketika merasakan bahwa suhu tubuh Fajar lebih dingin dari biasanya.

"Nja, pulang yuk. Saya capek banget, tiba-tiba pusing."

Pernah lihat orang yang sedang pusing tapi tersenyum sebegitu indahnya? Ya, Fajar melakukan itu barusan. Matanya yang dibalik kaca mata itu memang menunjukan kalau Fajar benar-benar kelihatan lelah.

"Tapi, itu penyanyi kesukaan kamu masih nyanyi." Saya sekilas menoleh ke arah panggung.

"Nggak apa-apa, yang penting saya udah denger dia nyanyi lagu kesukaan saya tadi."

"Kamu yang nyetir, ya," ucapnya sambil menyerahkan kunci mobilnya kepada saya.

Buku HarianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang