Jumat, 01 Juni 2018

724 137 20
                                        

"Nja?" Hilda mendekat heboh ke arah saya dengan Bagas yang sudah beberapa menit yang lalu duduk di sebuah kursi dan sedang menunggu pesanan makanan kami datang.

Karena kejadian itu, saya dan Bagas jadi lebih dekat dari biasanya. Bukan hanya saya, tapi Hilda juga. Kami bertiga jadi lebih sering makan siang bersama atau sekedar saling mentraktir kopi di kedai kopi. Walau kadang kalau bagian saya yang mentraktir mereka, Fajar suka menyuruh saya untuk tidak membayar minuman itu.

Tolong, yang ini jangan bilang pada Hilda dan Bagas. Saya juga sebenarnya tidak enak terus diberi minuman gratis oleh Fajar, apalagi untuk mereka berdua juga. Karena yang saya tahu, Fajar juga bekerja di kedai kopi itu. Tapi katanya, Fajar tidak mempermasalahkan itu.

"Gue tadi udah lihat sekretaris baru-nya Pak Fandi."

Saya dan Bagas sontak langsung menoleh ke arah Hilda yang sekarang sudah duduk di samping saya. Tadi, Hilda memang meminta saya dan Bagas duluan ke tempat makan dan dia akan menyusul ketika pekerjaannya sudah selesai.

Saya tidak tahu, Hilda menghampiri saya dan Bagas sekarang karena pekerjaannya yang tanggung itu sudah selesai atau memang karena bertemu sekretaris barunya Pak Fandi yang katanya memang akan diperkenalkan hari ini ke kami semua.

"Cantik, Gas. Kayaknya lo juga bakal naksir deh," tutur Hilda.

Dan sapaan formal yang biasanya kami lakukan pada Bagas, beralih menjadi gue-lo. Walau kadang Bagas masih sesekali menggunakan sapaan formal, karena mengingat usia saya dan Hilda lebih tua darinya.

"Hil, Bagas kan udah cerita kalau dia punya pacar," ucap saya sambil menggeser piring berisi makanan pesanan saya yang baru saja diletakan oleh pelayan resto ini.

"Ya elah, Nja, naksir doang mah nggak apa-apa kali. Iya, 'kan, Gas?" Hilda meminta sebuah persetujuan pada Bagas, yang hanya ditanggapi kekehan ringan saja oleh Bagas.

Lalu selanjutnya, percakapan itu merambat kemana-mana. Termasuk menyinggung soal perasaan saya yang disuruh move on oleh Hilda. Bagas yang memang tidak tahu-menahu soal itu, hanya diam atau sesekali menanggapi dengan tawa ringan.

Saya sebenarnya ingin sekali cerita tentang kedekatan saya dengan tetangga sebelah pada Hilda, tapi kalau saya hendak memulai pembicaraan itu, entah kenapa saya jadi ragu. Bukan karena saya takut akan respon Hilda yang pastinya akan menghujani saya dengan puluhan pertanyaan yang tiada henti, saya hanya merasa kalau kedekatan saya rasanya masih terlalu dini untuk diceritakan pada siapapun.

Tapi kejadian di festival musik tempo hari, debaran jantung itu, sentuhan tangan Fajar, sampai sandaran kepala saya di bahunya, bolehkah saya tidak menganggap itu terlalu dini? Atau mungkin karena saya baru saja menyapa Aldi, makanya saya jadi menyimpulkan bahwa itu terlalu dini?

Saya hanya... merasa senang kalau dekat dengan Fajar. Itu saja. Juga, ada rasa nyaman yang terselip disana-sini.

"Gue ke sana dulu, ya," ucap saya pada Hilda dan Bagas ketika kami melewati coffee shop. "Mau nitip?" tanya saya.

"Ice americano dong, Mbak."

"Lo?" Saya menunjuk Hilda dengan isyarat dagu pada Hilda.

Hilda bergumam panjang sebelum akhirnya mengibaskan tangannya dan berlalu begitu saja bersama Bagas.

Kemudian dengan senyum yang entah mengembang sejak kapan, saya melangkah lebih dalam menuju kedai kopi, tepatnya menuju di mana Fajar dari balik meja konternya sedang menatap saya dan juga tersenyum.

"Kamu kemarin ke mana?" tanya saya begitu saya sudah berhadapan dengan dirinya.

"Nganter Mama cek kesehatan."

Saya mengangguk. Ya, setelah dengan tidak bertanggung jawabnya selama semalaman membuat degup jantung saya berdebar dengan tidak karuan, esoknya, Fajar sama sekali tidak ada kabar. Saya cari di kedai kopi, tidak ada dan kata pegawai kedai kopi yang lain, Fajar tidak memberitahu apapun soal ketidakhadirannya hari itu. Setelah pulang bekerja, saya cari apartemen-nya juga tidak. Biasanya, ketika saya selesai menekan bel itu berkali-kali, Fajar langsung keluar dengan decakan khasnya, kemarin Fajar tidak seperti itu. Saya ingin begitu saja masuk dengan menggunakan digit password yang saya ketahui, tapi tidak jadi. Dan ketika saya hubungi nomor ponselnya, sama sekali tidak bisa.

Maka-nya ketika beberapa saat yang lalu saya melihatnya, dengan senyum lebar saya, saya menghampirinya begitu saja. Seolah ada magnet yang Fajar miliki dan mampu menarik saya dengan begitu mudahnya.

"Jadi, mau pesen apa, Mbaknya?"

Saya terkekeh. Fajar juga.

"Ice americano sama ice chocolate."

"Ditunggu sebentar, ya, Mbak."

Mungkin sampai sekarang, saya belum melunturkan senyuman saya ini. Melihat Fajar sedang membuat minuman pesanan saya, seolah punya daya tarik tersendiri bagi saya. Entah kenapa itu begitu menyenangkan. Melihatnya bergerak-gerak benar-benar semenyenangkan itu.

"Ini pesanannya, silakan dinikmati."

Lagi-lagi saya terkekeh.

"Gratis," lanjut Fajar seperti tebakan saya diawal.

"Ih, nanti usaha punya orang bangkrut gara-gara kamu sering ngasih minuman gratis ke saya," bisik saya.

"Biarin aja bangkrut, punya orang ini." Suara Fajar juga tidak kalah pelannya.

Akhirnya saya memilih untuk pergi meninggalkan kedai kopi dengan dua cup minuman di tangan saya. Karena sebentar lagi juga waktu masuk kembali bekerja akan dimulai.

Lalu tiba-tiba saya merasakan desiran aneh ketika masuk ke dalam ruangan saya. Semua orang di sana tengah berdiri di tempatnya dan menatap serius dua orang perempuan yang tengah berdiri juga dan menjadi pusat perhatian semua orang orang.

Saya menunduk malu, entah mereka sedang melakukan apa, yang jelas dengan langkah terburu saya kubikel berjalan menuju m saya setelah sebelumnya menaruh minuman pesanan Bagas di kubikelnya. Saat itulah baru saya mendongakkan kepala untuk melihat siapa yang menjadi pusat perhatian.

Mbak Lusi dan seorang perempuan di sampingnya yang nampak tidak asing bagi saya.

"Sekretaris barunya Pak Fandi, Nja," bisik Hilda dengan sangat pelan tepat di telinga saya. "Namanya Ana, kalau lo mau tahu," lanjut Hilda.

Itu adalah informasi yang saya tinggalkan rupanya.

"Mulai hari Senin nanti, Ana yang bakal menggantikan saya selama cuti," ucap Mbak Lusi yang langsung di tanggapi oleh senyum lebar oleh Ana—ralat, mungkin mulai saat ini saya harus memanggilnya Mbak Ana.

Tunggu dulu.

Saya ingat.

Tepat saat sorot mata itu menubruk pandangan saya, saat itu juga memori empat tahun lalu kembali berputar di kepala saya. Sampai rasanya saya pusing, sampai saya harus menahan tubuh saya cepat-cepat dengan memegang meja kuat-kuat.

Dia, seseorang yang sampai saat ini masih saya yakini kalau dia adalah seseorang yang hendak Aldi kenalkan pada saat hari itu, seseorang yang kemungkinan besar akan dijelaskan secara rinci oleh Aldi hari itu.

Dan saat ini, orang itu berdiri tidak jauh dari hadapan saya, itu rasanya membuat saya semakin mempercayai kalau semesta benar-benar tengah sebercanda itu saya. Atau mungkin Aldi sedang mencoba untuk menjelaskan sesuatu yang dia tinggalkan pada saya secara tidak langsung.

Dan kenapa harus pada saat saya sudah merasa baik-baik saja? Kenapa pada saat hati saya sudah kembali mulai kuat?

Kalau gitu, boleh saya simpulkan kalau Fajar yang mampu membuat itu semua pada saya? Membuat saya bisa kembali merasa baik-baik saja. Bisa kembali membuat hati saya kembali kuat. Karena itu, mungkin saat ini juga saya butuh Fajar, saya ingin ingatan ini menghilang dari dalam diri saya.

"Katanya, coffee shop yang dibawah itu punya dia sama kakaknya." Hilda kembali berbisik pada saya. "Mungkin, mulai Senin nanti kita jadi lebih sering ditraktir minum kopi, Nja."

Ingin saat itu juga saya menjawab kalau tanpa kedatangannya pun saya sudah sering ditraktir minuman di kedai kopi itu.

Buku HarianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang