16

1.5K 236 7
                                    

***

Jiyong marah.
Pria itu benar-benar marah karena Lisa terus saja berdebat dengan Sandara, juga Chaerin. Bahkan setelah makan bersama mereka selesai, Lisa menyuruh Sandara dan Chaerin membersihkan meja makannya. Semua dimulai dari Lisa yang menawarkan diri untuk membersihkan meja makannya– "imo, beristirahatlah, biar aku, Sandara eonni dan Chaerin yang membersihkan mejanya," ucap gadis itu sekitar tiga puluh menit lalu. Namun hal selanjutnya yang terjadi, hanya Sandara dan Chaerin yang membereskan meja itu.

Berlaga seolah ia adalah senior yang harus dihormati, Lisa hanya duduk di kursinya, menyuruh Chaerin melakukan ini dan itu hingga kedua gadis itu akhirnya kesal dan mereka kembali bertengkar. Saling sindir seolah mereka tengah berada dalam lomba debat tingkat nasional.

"Kalian bertiga pulanglah," kesal Jiyong. Sejak awal ia dan Seunghyun khawatir Lisa akan bertengkar disana, di depan orangtua Jiyong. Rasa khawatir itu akhirnya membawa Jiyong melangkah ke dapur– sekedar ingin memastikan Lisa tidak bertengkar disana, namun apa yang ia khawatirkan akhirnya tetap saja terjadi.

"Aku akan membereskan-"

"Tidak perlu," potong Jiyong, membungkam mulut Lisa. "Aku yang akan membereskan meja makannya, kalian bertiga pulang saja. Atau bertengkar di jalan, aku tidak ingin tahu,"

"Bahkan kekasihnya saja tidak ingin tahu, kau benar-benar calon menantu di rumah ini? Bangunlah dari mimpimu sunbaenim yang terhormat," sindir Sandara, yang kemudian berjalan menjauhi dapur.

"Kenapa kau tidak mencoba mengambil peran itu juga? Ah haruskah aku memberikan peran menantu di rumah ini seperti aku memberimu peran di drama itu?"

"Ya! Lalisa!"

Jiyong tersinggung berkat ucapan Lisa, namun Lisa yang sudah lebih dulu tersinggung dengan ucapan Jiyong tidak mempedulikannya. Persetan dengan perasaan orang lain ketika perasaannya sendiri terasa begitu buruk.

"Kau akan menyesali ucapanmu," ucap Sandara, namun Lisa justru tertawa karenanya. Rasa benci yang selama ini Lisa pupuk terhadap Park Bom dan ketiga temannya, membuat keangkuhannya berada di puncak dirinya.

"Kenapa? Kau menginginkan kekasihku? Kenapa kau dan teman-temanmu itu selalu menginginkan-"

"Berhenti sekarang," potong Jiyong, ia suruh Chaerin membawa Sandara pergi sedang tangannya meremas pergelangan tangan Lisa. "Kau sudah sangat keterlaluan, tidak bisakah kau berhenti mengganggu mereka? Kalau ini masih tentang kejadian beberapa tahun lalu, sudah saatnya kau berhenti," kesal Jiyong, setelah ia mendengar pintu depan rumahnya di tutup, setelah ia yakin kalau Sandara dan Chaerin sudah pergi dari sana.

"Kenapa oppa peduli? Ini urusanku. Kau bisa mempedulikan urusan semua orang, tapi tidak perlu repot-repot mempedulikan urusanku," balas Lisa, ia tarik tangannya dari pegangan Jiyong, namun hanya rasa sakit yang didapatkannya. Penganan itu terlalu kuat. "Kenapa? Oppa tidak akan melepaskan tanganku? Takut aku akan berlari dan memukul teman-temanmu dari belakang? Memukuli mereka seperti yang telah mereka-"

"Kau bertengkar lagi?" potong Seunghyun, yang tentu saja tahu kalau adiknya membuat masalah sampai Sandara dan Chaerin harus pulang lebih dulu. "Tidak bisakah kau bersikap keren? Berhentilah mencari masalah, Lisa,"

"Ya, hanya aku yang tidak bisa bersikap keren dan selalu mencari masalah, maafkan aku," sinis Lisa, ia bungkukan tubuhnya dan pegangan Jiyong pada pergelangan tangannya pun akhirnya terlepas.

"Oh ayolah... Jangan bersikap kekanakan seperti ini, ada apa denganmu?" keluh Jiyong, yang sama sekali tidak membuat Lisa merasa lebih baik.

Lisa sudah sangat kesal dengan ucapan Sandara dan sekarang kekasih bahkan kakaknya sendiri sama sekali tidak membelanya. Ia tahu kalau ia tidak pantas di bela, ia tahu kalau ia dan keangkuhannya yang memprovokasi Sandara namun tetap saja reaksi Jiyong dan Seunghyun melukainya. Setelah mencuci piring tanpa mengatakan apapun– tanpa mau menerima bantuan dari Jiyong– gadis itu berpamitan untuk pulang lebih dulu.

"Kau tidak ingin makan buah dulu? Kau sudah membeli banyak sekali buah tadi," tawar nyonya Kwon dan dengan sopan– untungnya– Lisa menolak tawaran itu. Beralasan kalau ia punya janji lain, Lisa melangkah pergi dari rumah itu.

Jiyong meminta maaf sembari mengantar Lisa ke mobilnya dan Lisa memaafkan ucapan Jiyong– walau ia tetap bersikeras untuk pergi dari sana. "Aku benar-benar sedih karena ucapanmu, oppa," ucap Lisa di depan mobilnya.

"Aku juga sedih karena ucapanmu," balas Jiyong. "Tapi aku minta maaf karena ucapanku tadi, aku sudah terlalu muak melihat kalian berlima bertengkar seperti itu, bisakah kalian berhenti? Ku mohon,"

"Aku juga minta maaf," jawab Lisa– obrolan itu terasa terlalu memuakan untuknya, hingga rasanya ia ingin segera mengakhiri obrolan mereka. "Maaf karena ucapanku tadi, aku tidak benar-benar ingin memberikanmu padanya," lanjutnya, yang kemudian memeluk Jiyong, mencium pipinya dan berpamitan untuk segera pergi dari sana– dari gedung apartemen tempat Jiyong dan keluarganya tinggal.

Selepas berpamitan, gadis itu mengemudikan mobilnya. Bohong kalau Lisa sudah merasa lebih baik hanya karena permintaan maaf Jiyong. Ya, gadis itu memang memaafkan kekasihnya, ia harus memaafkan Jiyong agar hubungan mereka tetap baik-baik saja. Tapi memaafkan jauh berbeda dengan melupakan. Tidak ada masalah yang benar-benar selesai hanya dengan saling memaafkan. Bagi Lisa, minta maaf dan memaafkan adalah sikap, bukan solusi. Tidak ada luka yang bisa sembuh hanya dengan beberapa kata maaf.

Dengan suasana hati yang masih buruk, gadis itu mengemudikan mobilnya menuju gedung SM Entertainment, tempat Kim Heechul bekerja. Ia sudah punya lagu yang ingin dinyanyikannya dan ia sudah mengirimkan lagu tersebut pada Heechul. Pria itu bilang, ia menyukai lagunya dan bersedia untuk berduet dengan Lisa.

"Aku ingin bertemu dengan Heechul oppa," ucap Lisa, kepada seorang penjaga keamanan di pintu Utara gedung agensi tersebut. "Kami sudah membuat janji untuk enam puluh menit nanti, bisakah kau memberitahuku dimana ruang latihan Super Junior? Heechul oppa tidak menjawab panggilanku,"

"Anda bisa naik ke lantai tujuh, ruang latihan Super Junior ada di pintu paling ujung, sebelah kanan," jawab penjaga keamanan tersebut.

Selesai berterimakasih, Lisa melangkah menuju lift, menuju ruang latihan Super Junior yang sebelumnya dibicarakan si petugas keamanan. Ini kali pertama ia berkeliaran di gedung itu dan matanya tidak bisa berhenti melihat-lihat. Saat hendak keluar dari lift, ia berpapasan dengan segerombolan pria, mereka terlihat seperti anak-anak pelatihan yang baru saja selesai berlatih. Anak-anak itu juga terlihat terkejut karena keberadaan Lisa di sana.

"Oh! Selamat sore sunbaenim," sapa anak-anak itu, mengembangkan senyum Lisa kemudian membuat Lisa membalas sapaan tersebut.

"Selamat sore," balas Lisa yang kemudian melangkah keluar dari lift tersebut. "Kalian baru selesai latihan? Wahh... SM memang yang paling hebat dalam menjaring pria-pria tampan," puji Lisa yang kemudian menanyakan kembali ruang latihan Super Junior pada anak-anak itu.

Mereka sempat malu karena pujian Lisa, namun pesona senyum cantik wanita itu masih tetap berhasil memikat mereka. Jangankan tersipu malu, memalingkan wajah mereka dari si sexy icon itu saja luar biasa sulit. "Ruang latihan Super Junior sunbaenim ada di ujung lorong ini," jawab seorang anak pelatihan sembari menunjuk ujung lorong di sebelah kanan Lisa. "Tapi Super Junior sunbaenim belum datang-"

"Ah ya, aku tahu, aku akan menunggu mereka di ruang latihannya, terimakasih banyak, kalau begitu sampai bertemu nanti, fighting!" sopan Lisa, ia bungkukan sedikit bahunya kemudian berbalik dan melangkah ke arah ruang latihan tujuannya.

Berjarak satu pintu sebelum ruangan paling ujung, langkah Lisa terhenti. Dari celah pintu yang terbuka, gadis itu melihat seorang pria menari sendirian tanpa iringan musik. Tarian pria itu terlihat berantakan, namun Lisa dapat melihat dimana letak masalah pria itu– kakinya. "Kau tidak akan bisa menari dengan kaki seperti itu," tegur Lisa yang akhirnya menonton anak pelatihan itu dari depan pintu.

Si anak pelatihan terkejut karena kehadiran Lisa. Ia bergegas membalik tubuhnya, menatap ke arah pintu ruang latihan tempat Lisa berada sekarang. Ia kebingungan juga merasa sedikit canggung karena seorang penari hebat mengomentari tariannya.

"Aku punya seorang teman yang memaksa kakinya untuk tetap menari walaupun sedang terluka dan sekarang dia kesulitan," ucap Lisa yang kemudian berjalan mendekati anak pelatihan itu dan menunjuk kaki anak itu. "Kau tidak akan bisa menarikan gerakan tadi dengan kaki yang sakit. Kakimu terkilir? Butuh bantunku? Siapa namamu?"

"Chittaphon- uhm... Maksudku, Ten,"

***

Love Is a DogTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang