***
Hari-hari berakhir begitu saja, semua hal berjalan seperti bagaimana semestinya. Bahkan walaupun perjalanan ke Islandia yang Jiyong janjikan tidak kunjung terlaksana, Lisa baik-baik saja. Hubungannya dengan Jiyong juga baik-baik saja. Perasaan Lisa baik-baik saja. Sesekali ia memang merasa sangat kosong, namun perasaan itu tidak lagi terasa terlalu mengganggu. Awalnya perasaan kosong itu terasa sangat menyiksa, namun lama kelamaan Lisa dapat menikmati perasaan itu.
Bagaimana Lisa bisa mengatasinya? Dirinya sendiri pun tidak tahu. Saat perasaan itu datang, saat rasa sepi luar biasa itu muncul, saat ia merasa begitu sedih karena rasa kosong itu, ia hanya bersedih bersamanya. Saat ia ingin menangis, ia menangis. Lisa berusaha keras untuk menyederhanakan perasaannya, tertawa saat ingin dan menangis saat ingin. Perlahan ia mulai terbiasa, ia mulai kembali menikmati hidupnya– sampai ia kembali bertemu dengan wanita itu.
Masih di tempat yang sama– rumah sakit– Lisa kembali bertemu dengan dua orang itu lagi. Kali ini ia datang ke rumah sakit untuk menemui dokter ortopedi kenalannya– Jennie– dan ia bertemu lagi dengan wanita paruh baya yang beberapa waktu lalu ia beri uang. Lisa baru saja datang ke rumah sakit itu, dia ingin meminta bantuan untuk kakinya yang terkilir pada Jennie. Namun baru saja ia memasuki rumah sakit, suara seorang wanita memanggilnya.
Lisa menghentikan langkahnya di lorong sepi menuju ruang kerja Jennie, ia berbalik kemudian melihat seorang wanita yang memanggilnya itu. Wanita itu ibunya, ibu kandung Lisa yang pergi meninggalkan Lisa di rumah sendirian beberapa tahun lalu. Saat Jiyong diopname beberapa waktu lalu, mereka sudah bertemu dan Lisa memberi wanita itu semua uang yang ada di dompetnya.
"Eomma! Bukankah dia- eomma mengenalnya?" tanya seorang gadis di sebelah wanita itu. Lisa dapat mengingatnya dengan jelas, ia gadis yang menghina Lisa di lobby rumah sakit waktu itu.
"Kau benar-benar hebat saat melukaiku eomma," gumam Lisa, menatap sinis pada wanita paruh baya itu.
"Eomma?" tanya gadis yang baru berusia delapan belas tahun itu.
"Lisa-"
"Kau pasti Yeji, eommamu tidak pernah bilang kalau kau punya dua orang saudara? Kau sudah tidak memakai pakaian rumah sakit, kakimu sudah sembuh? Operasinya pasti berjalan lancar,"
"Eomma, benarkah itu?" tanya Yeji, namun wanita yang ia sebut ibu itu sama sekali tidak menanggapinya.
"Lisa-ya, bisakah kita bicara sebentar? Sayang- Yeji-ya, tunggu disini sebentar ya," pinta wanita itu, membuat Lisa tanpa sadar berdecak kesal. Bisa-bisanya ia memanggil Yeji dengan sebutan sayang didepan putri yang ia tinggalkan.
Menjauhi Yeji, sang ibu mengajak Lisa pergi. Wanita itu kemudian memberikan sebuah amplop pada Lisa, ia ingin mengganti uang yang ia pinjam dari Lisa beberapa waktu lalu dan Lisa tertawa karenanya.
"Terimalah, memang tidak banyak tapi uang itu semua yang ku miliki," ucap wanita itu, sementara Lisa menghitung berapa lembar uang yang ada disana– jumlahnya dua kali uang yang ia berikan pada ibunya tempo hari. "Aku tidak pernah memberimu-"
"Kau tahu apa yang akan Seunghyun oppa katakan kalau ia melihat ini?"
"Kau memberitahu oppamu?"
"Bahkan walaupun eomma mati, jangan datang ke pemakamannya, jangan memberinya uang berbelasungkawa," ucap Lisa, tidak peduli pada pertanyaan ibunya. "Awalnya ku pikir itu sangat kejam. Tapi sekarang aku mengerti kenapa oppa mengatakan itu. Kau tidak pernah menganggap kami sebagai anakmu, bukan begitu? Lalu kenapa kau melahirkan kami? Kami tidak memintamu melakukannya,"
Sang ibu terdiam. Jantungnya terasa begitu sesak seperti tengah di peras. Namun milik Lisa pun sama sesaknya. Wanita yang pergi dan tidak pernah kembali itu, tiba-tiba muncul di depan ruang rawat Jiyong, kemudian dengan wajah sedih ia meminjam uang pada Lisa untuk biaya operasi anaknya. Lisa memberi wanita itu semua uang yang ada di dompetnya sembari berharap wanita itu akan datang lagi, menemuinya sebagai ibunya. Namun lagi-lagi wanita itu datang sebagai ibu dari Hwang Yeji, dan hanya datang untuk membayar kembali hutangnya. Membuat Lisa merasa seperti orang asing yang meminjamkannya uang.
"Pakai saja uang ini untuk membesarkan anakmu, aku sudah punya banyak," lanjut Lisa, yang mengulurkan kembali amplop itu pada ibunya tapi tentu saja tidak di terima. "Kau membuat tanganku sakit, kau selalu membuatku sakit," lanjut Lisa yang kali ini berbalik– ia pakai kaca mata hitam yang sebelumnya menggantung di kerah bajunya.
"Kau benar-ben-"
"Untukmu, pakailah untuk membelikan ibumu pakaian, dia tampak begitu menyedihkan karena membesarkanmu," potong Lisa, ia paksa Yeji untuk menerima amplop yang diberikan ibunya itu kemudian melangkah ke tempat parkir. Lisa sudah lupa pada kakinya yang terkilir, ia sudah lupa pada janjinya dengan Jennie dan sekarang gadis itu melangkah masuk ke dalam mobilnya– menangis dengan kaca mata hitam yang menutupi mata serta air matanya.
Lisa masih duduk di kursi mobilnya, tubuhnya bergetar hebat karena marah dan dengan tangan yang bergetar itu ia cari handphonenya.
"Oppa, kau sibuk?" tanya Lisa, pada Jiyong sembari berusaha keras agar tidak terdengar sedih.
"Tidak, baru saja mendarat di Jepang, sekarang aku dan oppamu sedang dalam perjalanan ke hotel, apa yang sedang kau lakukan sekarang?" jawab Jiyong, terlihat riang seperti biasanya.
"Ah... Kau sedang bersama Seunghyun oppa?" gumam Lisa, mulai ragu untuk menceritakan apa yang terjadi padanya barusan.
"Hm... Kenapa?"
"Tidak ada, aku hanya merindukanmu, kapan kau kembali?" tanya Lisa dan ia akhiri panggilan itu setelah Jiyong memberitahunya kalau ia baru akan pulang besok malam.
Lisa harus buru-buru mematikan panggilan itu karena Yeji yang merasa tersinggung atas ucapan Lisa tadi, berjalan menghampiri mobilnya. Yeji terlihat tengah mencari-cari Lisa dalam setiap mobil yang ia lewati dan begitu menemukan Lisa ia memukul kap mobil Lisa dengan tangannya. Lisa hendak keluar, mendengar penjelasan Yeji atas ucapannya, namun ibunya sudah lebih dulu muncul dan menjauhkan Yeji dari mobil Lisa. Sang ibu, memeluk dan menarik Yeji di depan Lisa. Melindungi putrinya karena khawatir Lisa akan menabrak gadis sakit itu.
Niatan Lisa untuk keluar dari mobilnya kini lenyap. Gadis itu bergegas menyalakan mobilnya kemudian melajukan mobil itu secepat yang ia bisa. Persetan dengan kakinya yang sakit, ia tetap memakai kaki terkilir itu untuk menginjak pedal gas dan rem di mobilnya sekuat yang ia bisa.
Setelah beberapa menit mengemudi, gadis itu tiba di sebuah tempat latihan kebugaran. Tempatnya tidak jauh dari gedung SM, ia selalu kali melewati tempat latihan kebugaran itu setiap kali pergi menemui Heechul di agensinya. Ia tidak bisa berbicara pada siapapun sekarang, ia tidak bisa memberitahu teman-temannya kalau ibunya baru saja muncul dan menemuinya. Ia tidak bisa membiarkan Seunghyun mengetahui kejadian ini.
"Aku selalu pergi kesini saat tertekan," ucapan Heechul setiap kali mereka melewati tempat latihan kebugaran itu yang membuat Lisa datang kesana. Ia tidak tahu apa yang membuat Heechul tertekan dan ia pun tidak tahu apa yang membuat tempat latihan kebugaran itu spesial. Namun saat ia melangkah masuk setelah membayar biaya latihannya, Lisa langsung tahu alasan Heechul menyukai tempat itu– ada banyak gadis cantik disana, gadis-gadis cantik dengan wajah polos dan menggemaskan seperti selera Heechul.
"Seharusnya aku tidak mempercayai Heechul oppa," gumam Lisa, yang tetap melangkah masuk karena sudah terlanjur disana. Gadis itu menghampiri sebuah treadmill di ujung ruangan dan langsung berlari disana. Ia benar-benar lupa dengan kakinya yang sakit.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Is a Dog
FanfictionCinta seperti anjing, ketika dia mengigitmu, ikat dia bersamamu (Mad Clown - Love is a Dog From Hell). Siapa yang paling terluka? Siapa yang paling mencintai? Ketika aku melihatmu gila karenaku, aku tertawa (Mad Clown - Fire).