22

1.3K 204 15
                                    

***

Mungkin ada hantu yang merasuki Lisa hari itu, karena hari itu Lisa mengabulkan permintaan Ten untuk berkencan dengannya. Lisa memang baru-baru ini mengenal Ten, namun tidak berlaku untuk Ten. Ten sudah lama mengenal Lisa sebagai seorang anggota grup wanita yang ia idolakan. Bisa di bilang Lisa adalah salah satu alasan Ten belajar menari– selain karena ia menyukainya.

Di pertemuan pertama mereka, Ten terdiam– bukan karena ia terkejut melihat artis lain di agensinya, namun karena itu adalah kali pertama Ten bertemu dengan idolanya secara langsung.

Setelah pertemuan kedua mereka, Ten tidak berhenti menghubungi Kwangmin– bukan karena ia bersyukur punya teman latihan, melainkan karena ia berharap dapat bertemu dengan Lisa sekali lagi.

Di pertemuan mereka hari ini, Ten mengeluarkan scarf Lisa dari dalam tasnya dan itu karena ia memang selalu membawa scarf itu bersamanya.

Ten merasa ia mengenal Lisa– karena ia selalu mengikuti semua berita tentang gadis itu dan menemukan beberapa kesamaan dalam diri mereka. Namun sayangnya, si anak pelatihan yang tidak punya koneksi itu hanya mengetahui apa yang Lisa tunjukan padanya.

"Noona bercanda?" tanya Ten, ia sama sekali tidak terlihat senang ketika Lisa mengajaknya berkencan. Ten terlalu terkejut hingga rasanya ia akan bangun dari mimpinya kalau ia menunjukkan reaksi yang terlalu berlebihan. "Noona mengenalku?"

"Belum, aku belum mengenalmu," santai Lisa, ia lahap kembali ramyunnya yang mulai mengembang kemudian menatap Ten dengan wajah santainya. "Aku bahkan tidak mengenal diriku sendiri. Tapi kau menarik.  Kesedihan, ambisi, luka, kebanggaan, semua yang bertolak belakang ada dalam dirimu. Dan yang paling penting, kau tampan dan masih muda."

"Apa itu pujian?"

"Kau bisa menganggapnya begitu, itu daya tarikmu," balas Lisa namun Ten sama sekali belum menunjukkan reaksi yang Lisa harapkan. Pria itu masih belum bisa menerima makna dari ucapan Lisa. "Kenapa kau diam saja? Kau benar-benar menyukaiku?"

"Ya, semua pria menyukaimu,"

"Tidak semua pria menyukaiku, sebagian dari mereka hanya ingin bercinta denganku," balas Lisa, yang tentu saja mengejutkan Ten.

Jiyong mungkin akan mengiyakan ucapan vulgar itu dengan sangat santai, mereka biasa membicarakannya. Namun Ten hanya bocah dua puluh tahun yang masih terlalu malu untuk membicarakan masalah tersebut. Ten mungkin bisa membicarakan masalah kebutuhan biologis itu dengan teman-teman sesama prianya. Menonton film dewasa bersama bisa jadi adalah salah satu cara mereka bermain. Tapi kali ini berbeda, kali ini seorang Choi Lalisa yang membicarakan masalah ranjang itu. Seorang wanita yang enam tahun lebih tua darinya. Seorang wanita yang harusnya menegur Ten saat ia bicara terlalu vulgar.

"Ya! Kau tidak pernah berkencan ya? Kenapa wajahmu merah hanya karena ucapanku?" tanya Lisa, yang lantas mengulurkan tangannya untuk menyentuh pipi Ten.

"Pernah! Enak saja! Aku pernah berkencan!" seru Ten, yang lantas memalingkan wajahnya, menyembunyikan wajah gugup itu dari Lisa. "Hanya saja prosesnya tidak pernah seaneh ini, aku bahkan tidak tahu noona sungguhan atau hanya bercanda," gumam Ten yang masih menghindari tatapan Lisa.

"Oh? Kau terlihat seperti gadis kecil yang menggemaskan sekarang," komentar Lisa. "Baiklah kalau ucapanku terlalu mengejutkan untukmu. Kita bisa melupakannya-"

"Bukan begitu maksudku, noona... Kenapa kau sangat terburu-buru? Noona memintaku berkencan denganmu kan? Aku bersedia. Aku ingin berkencan denganmu, tapi aku hanya-"

"Hentikan sampai disitu, aku tidak ingin dengar alasanmu. Kau ingin berkencan denganku? Kalau begitu kita berkencan," potong Lisa, ia keluarkan handphone dari dalam tasnya, gadis itu berencana meminta nomor telepon Ten, namun foto di wallpaper handphonenya membuat dadanya langsung sesak. "Berikan handphonemu padaku," pinta Lisa, yang akhirnya mengurungkan niatnya untuk menunjukan wallpaper handphonenya itu pada Ten.

"Ya? Untuk apa?"

"Menyimpan nomor teleponku disana," jawab Lisa, yang lantas meraih handphone Ten dari tangan pemiliknya. "Aku tidak tahu bagaimana caramu berkencan, tapi setahuku kau terikat kontrak untuk tidak berkencan, jadi jangan beritahu siapapun kalau kau tidak ingin di keluarkan dari sini,"

"Kenapa rasanya seperti ini? Bukan begini rencanaku,"

"Bagaimana rencanamu?"

"Dalam rencanaku, aku debut, terkenal, lalu menyapamu di stasiun TV kemudian mengundangmu datang ke konserku lalu memintamu berkencan denganku. Tapi apa ini? Aku tidak tahu harus senang atau sedih sekarang,"

Lisa tertawa, karena ucapan Ten juga karena layar handphone pria itu. Wallpaper handphone pria itu adalah jadwal latihan yang sangat padat– kalau dulu sudah ada handphone secanggih sekarang, jadwal latihan juga pasti akan Lisa jadikan wallpaper seperti Ten sekarang. Ada seorang anak pelatihan yang tengah berjuang sekeras ini, ada seorang anak pelatihan yang lebih tertekan darinya, ada seorang anak pelatihan yang punya masalah lebih berat darinya– pikir Lisa setiap kali ia melihat Ten.

"Kalau begitu, tukar saja urutannya. Kau bisa berkencan denganku lalu debut dan bla bla bla sesuai rencanamu tadi," santai Lisa. "Kau punya jadwal kelas bahasa Inggris sepuluh menit lagi, pergilah, kau bisa menghubungiku saat kau senggang," tutur gadis itu sembari mengembalikan handphone Ten kepada pemiliknya.

"Kita benar-benar berkencan? Sungguh? Noona memberikan nomor teleponmu padaku? Kau tidak akan berubah pikiran kan?"

"Katakan dalam bahasa Inggris," pinta Lisa dan Ten mengerutkan dahinya. Kini pria itu merasa di permainkan, namun ia menyukainya.

"Can i walk with you? Or have a tea with you? Your scent makes me feel like i live in Paris, can i love you?" tanya Ten, terdengar begitu gugup dan Lisa berusaha keras untuk menahan tawanya. "Jangan tertawa, aku tidak menyiapkan apapun," protes Ten dan Lisa benar-benar tidak bisa lagi menahan tawanya sekarang.

"Kau lulus," ucap Lisa setelah tawanya usai. "Kita bisa mengatur waktu untuk berjalan-jalan atau sekedar minum teh nanti, sekarang berlatihlah, kau tidak perlu debut terlalu cepat tapi berusahalah. Aku suka pria pekerja keras," lanjut Lisa sebelum Ten akhirnya benar-benar pergi meninggalkan Lisa sendirian di atap gedung itu.

"Ya! Lalisa kau sudah gila, ya?!" jerit Lisa, sekitar dua puluh menit setelah Ten pergi. Gadis itu hanya diam selama dua puluh menit untuk memikirkan ungkapan yang tepat untuk dirinya sendiri. "Jiyong oppa akan membunuhmu kalau sampai dia tahu tentang ini! Tidak, aku belum bisa mati sekarang. Belum terlambat untuk membatalkan- heish! Kenapa aku tidak menyimpan nomor teleponnya?! Oh! Oh! Oh! Bagaimana ini?! Jiyong oppa sudah tahu?! Secepat ini?!" panik Lisa, disaat handphonenya bergetar karena sebuah panggilan dari Jiyong.

***

Love Is a DogTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang