29

1.2K 200 22
                                    

***

Sudah satu jam Jiyong duduk sendirian di kursi bar. Ia pergi dari hotel itu begitu keluar dari kamarnya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Ia hanya ingin menenangkan dirinya, tanpa bicara pada siapapun. Besok konsernya, ia tidak bisa membagi masalah ini dengan teman-temannya kemudian menghancurkan rencana konser mereka. Ia bahkan tidak bisa minum karena khawatir suaranya akan bermasalah besok. Jiyong sangat benci dirinya yang seperti ini– tetap memikirkan banyak hal disaat dirinya sendiri hancur karena orang lain.

Entah ini bagian dari profesionalisme kerja yang ia banggakan, atau hanya usaha agar ia terlihat keren, namun ia tidak bisa mengamuk dan melepaskan semua emosinya malam ini. Sesekali ketenangan menguntungkannya, namun kali ini ia benar-benar benci ketenangan itu. Jiyong ingin marah, memukul Lisa atau setidaknya memukul Ten di depan Lisa, namun tubuhnya tidak bisa melakukan itu. Jiyong ingin berteriak dan memaki seseorang, namun entah apa yang ia khawatirkan, ia tidak bisa mengeluarkan suaranya. Segelas whiskey yang ia pesan sejak satu jam lalu belum ia sentuh. Jiwanya memohon untuk whiskey itu, namun tubuhnya menolak permohonan itu. Jiyong hanya bisa menatap whiskey itu. Jiyong hanya bisa memaki dalam hati. Jiyong hanya bisa membunuh Ten dalam pikirannya.

"Kenapa kau tidak menemui orang itu dan memukulnya? Kau takut?" tanya Jiyong, pada dirinya sendiri. Berulang-ulang tanpa menemukan satu pun jawaban atas pertanyaan itu. "Berhentilah mencariku, kau membuatku semakin marah," gumam pria itu, sembari memperhatikan layar handphonenya yang terus menyala. Tampilan sebuah panggilan masuk terus muncul dalam layar handphonenya. Panggilan itu dari Lisa dan selama satu jam ini, sudah belasan kali gadis itu menelepon. Mungkin ia khawatir karena tidak menemukan Jiyong di kamar Seungri atau anggota lainnya. Mungkin Lisa khawatir ia sedang memukuli Ten sekarang– pikir Jiyong.

Menit-menit berlalu dan sekarang seorang pria duduk di sebelah Jiyong. Jiyong mengenali pria itu– Ten– ia sudah mengikuti Jiyong sedari hotel puluhan menit lalu. Ia sudah memperhatikan Jiyong dari jauh sejak tadi dan Jiyong pun sudah mengetahuinya. Ia pasti butuh waktu untuk memberanikan dirinya menemui Jiyong, walau Jiyong tidak menduga kalau Ten akan muncul secepat ini.

"Berani sekali kau muncul di hadapanku sekarang," ucap Jiyong disaat Ten hanya diam di sebelahnya. Keduanya melirik layar handphone Jiyong, mereka melihat nama Lisa yang terus menerus muncul di sana.

"Aku minta maaf, sunbaenim, aku tahu aku telah melakukan hal yang sangat buruk padamu," ucap Ten, yang tentu saja sedih karena melihat Lisa menelepon Jiyong berkali-kali, menginginkannya pada saat dimana Lisa mengabaikan panggilannya. Mungkin Lisa tengah bermesraan dengan Jiyong setiap kali ia mengabaikan panggilannya– pikir Ten. "Tapi perasaanku padanya benar-benar tulus, aku ingin berkencan dengannya, tapi aku merasa bersalah padamu, jadi aku juga merasa tidak nyaman," lanjut Ten, dengan kata-kata naif yang sudah ia siapkan. Siapa tahu Jiyong akan bersikap baik kalau ia bersikap sopan seperti ini. Di kalangan para publik figur, Jiyong terkenal sebagai pria yang paling tenang dan rasanya Ten sudah membuktikan kebenaran dari anggapan-anggapan itu.

"Kau mungkin hidup dalam kesulitan selama ini, jadi kau berfikir kalau kau boleh melakukan ini. Orang-orang akan menuding kalian dengan jari-jari mereka, mereka akan mengejekmu, tapi kau akan menganggap hubungan kalian sebagai cinta sejati, karena itu akan lebih mudah untukmu. Tapi perhatikan baik-baik, kau menghancurkan hidup orang lain. Apa dia sungguh mencintaimu? Bukan hanya kasihan?"

"Aku tidak peduli, aku hanya ingin berada di sisinya," balas Ten, setelah pada akhirnya Jiyong memberi sedikit jeda untuknya. "Tidak apa-apa walaupun dia hanya merasa kasihan padaku, karena aku juga kasihan padanya. Sunbaenim mungkin tidak tahu bagaimana rasa sakit yang sebenarnya."

"Lakukan yang kau inginkan," balas Jiyong.

Ia hanya mengenali Ten dan wajahnya hanya sebagai pria simpanan kekasihnya. Jiyong tidak mengenali namanya walau ia tahu kalau pria itu juga seorang publik figur. Jiyong sangat ingin memukulnya sekarang, walau ia tahu kalau pria itu seorang publik figur dan mereka ada di tempat umum sekarang.

Love Is a DogTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang