Part 24 : Senyum itu

909 126 28
                                    

Mika menghembuskan nafas pelan. Lantas kembali menatap wajahku. Suasana malam yang hening seakan sudah bosan menyaksikan sebuah akhir tersebut.

"Kau benar-benar sudah damai." Mika mengulum senyum kecil
Angin malam menghembus lembut.
Mika memberanikan diri menyentuh pipiku dan menyibak rambutku. Menatapku yang terpejam dan tidak bernapas.

Mata beriris merah itu membulat, seakan melihat sosok yang berbeda di wajahku.

"Kenapa kau tampak berbeda dari dekat?"
Batin Mika berdesir. Lebih... cantik...

Mika tak sadar semakin lama semakin dekat ke wajahku.
Oke, bukan salahku kalau terjadi apa-apa. Jelas-jelas kesadaranku sedang tidak disitu. Entah dimana. Yang bisa disalahkan hanya Mikaela ini.

Sangat dekat. Mika memejamkan mata. Sebutir bening mengalir hingga ujung matanya kemudian tetes itu jatuh tepat di tepi mataku. Merembes masuk ke mataku.

Sebenarnya yang jahat itu kemampuan tubuhku. Kalaupun aku beregenerasi, akan sangat lama. Harusnya Mika sudah tahu itu sejak dia dan teman-temannya memaksaku ke rumah ini. Bergabung dengan mereka.

JDAK!
Mika terdongak. Sesuatu menabrak dagunya.

"Uhh.."
Mika menoleh pelan-pelan. Seakan tak percaya suara itu.


Tepat sekali, beberapa saat sebelum adegan di film Princess Aurora terjadi. Regenerasiku selesai. Tapi sesuatu memasuki mataku, yah, spontan saja aku langsung bangkit duduk dan mengucek mataku padahal aku tahu apa yang masuk ke mataku.

Aku menoleh masih mengucek mataku.
"Oh, hei Mika." Kataku​ menyapa Mika yang terdiam.
Aku berhenti mengucek mata. " Huh? Apa ini? Apa tadi hujan?" Aku mengelap pipiku.


Mika masih mematung. Dengan senyum kecil yang membuatku heran. Napas Mika terputus-putus. " He... hem... tidak....Tidak ada hujan." Katanya padaku dengan senyum itu.


Mataku menangkap sesuatu mengalir di pipi Mika.
"Mika? Kenapa kau? Itu... apa kau menangis? Apa yang terjadi? Apa aku melewatkan sesuatu?" Cerocosku bingung.




"Sumpah. Itu tidak lucu. Lia."

"Apanya?" Kataku bingung.
"Sangat tidak lucu." Mika bangkit berdiri.

Aku celingukan. Setelah melihat gelas di pagar balkon,
"Oh, aku ingat apa yang sudah kulakukan.
"Hehe, biar kutebak. Apa kau menangis gara-gara ku?" Aku tersenyum geli.

"Kau belum mati?"
"Tidak kok. Aku hanya tidur sebentar. Oh, rasanya badanku lebih segar setelah bangun tidur." Aku meregangkan tubuh. Tapi itu terdengar seperti ledekan bagi Mika.

"Sialaan!! Kau mengerjaiku !"
"Hmm.. begitukah? Jadi sekarang kau marah padaku ?" Tanyaku polos.
"YA! AKU SANGAT MARAH!"

Bugh!
Aku merasa sesak. Ternyata Mika tiba-tiba mendekapku. Aku hanya mematung.
"Jangan melakukan hal bodoh seperti itu lagi." Ucapnya sepelan hembusan angin.

Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Kemudian mengulum senyum.
"Baik. Tapi tepati janjimu ya." Kataku sambil menepuk-nepuk kepala Mika. Entah sejak kapan, mungkin sejak aku masih seorang manusia, aku suka sekali menepuk kepala atau membelai lembut. Bagiku menyenangkan.

"Kau? Kau mendengarnya?"
"Samar-samar saja."
"Kau benar-benar mengerjaiku."
Aku tertawa kecil.

"Ingatlah Mika, jangan pernah mencoba mengakhiri hidupmu. Yu dan keluargamu masih ada disisimu. Dan mereka...sangat menyayangimu." Ujarku menyampaikan pesan Yu.

"Haha, kau sendiri melakukannya barusan."
"Iya sih. Tapi kau, kan masih punya mereka yang bisa menjadi alasanmu untuk hidup. Kita tak sama persis, Mika."
Hanya terdengar gumaman darinya. Kemudian dia melepaskanku.

"Tetap saja, tadi kau mengerjaiku."
Aku tidak tahu bagaimana bisa tapi tiba-tiba saja Mika sudah menggelitik pinggangku.

"Kau tahu! Tak lucu! Tak lucu! Tak lucu!!"
"Ahahahahahaa, Mika! Hentikan!" Aku berguling di lantai. Sejak kapan Mika tahu aku paling tidak tahan dengan yang namanya digelitik?

"Rasakan itu!" Mika tak berhenti menggelitik pinggangku malah semakin senang.
"Haaaaa! Mikaa! Hentikan! Aku tidak tahaan!"

Akhirnya Mika menghentikannya juga. Sumpah, aku benar-benar mudah sekali merasa geli.
"Jang--an menggeli-tikku, Mika. Aku bisa keha-bisan napas." Kataku dengan napas tersengal karena tertawa.

"Baguslah. Biar mati betulan, kan?"
Aku mendelik.
"Enggak serius, kok." Kata Mika sambil tersenyum.

Sejenak aku terdiam. Kemudian menatap Mika serius.
"Tunggu sebentar, aku baru sadar." Ucapku
"A-ada apa?"
"Mika," panggilku
Aku tadi tidak sadarkan diri kan?"

"Em, iya." Jawabnya.
Aku menunjuk ujung hidungnya.
"Jujur! Apa yang kau lakukan padaku!" Kataku mengubah suasana.
"Haa? Apa maksudmu?!" Kata Mika tak mengerti.

Aku memicing. "Pikiran semua lelaki itu sama. Mengaku!" Paksaku
"Aku.. aku tidak melakukan apa-apa." Katanya memalingkan wajah.
"Kau menyembunyikan wajahmu. Kau bohong! Cepat mengaku sebelum aku berprasangka nih! " Kataku.

"Tidak ada. Tadi hampir saja." Sahutnya samar.

"Ha! Kena! Hampir? Hampir apa?!" Aku benar-benar lupa tindakan bunuh diri tadi membuatku tak sadar dan hanya ada Mika disitu. Omong-omong, aku kan belum tahu, apa isi pikirannya.

Soalnya lelaki itu beda tempat beda pikiran. Selalu begitu. Tak terkecuali. Siapa tahu Mika juga begitu, diam-diam *****. Astaga, lihat, aku mulai negative thinking. Huh!

Mika memalingkan wajahnya lagi. Menghindari pandanganku.
"Oii! Jawab aku!"
"Hampir..." Mika menggantungkan jawabannya.
"Iya. Hampir apa?!"

"Hampir menamparmu. Gara-gara kau tak bangun-bangun."
Aku terdiam. Sementara Mika malah tertawa.
"Kau! Apa kau yakin hanya itu saja, Mika?! Pokoknya akui semuanya sekarang!" Ucapku terus memaksa.

"Iya kali...
"Hei, jangan-jangan kau sendiri yang sudah berpikir macam-macam. Hayoo.." Mika malah balas menggodaku.
"Ish! Diam! "

"Wah, parah. Kukira kau masih polos, Lia."
"MEMANG! AKU MASIH POLOS JADI AWAS SAJA KALAU KAU BERANI NODAI!"
"Eh, betulan mikir macem-macem. Ckckckck." Mika malah tambah memancingku.
"Mikaa!!!" Aku memekik kesal.

"Shut! Jangan berisik. Nanti kedengaran sama mereka. Penduduk disini." Mika menunjuk ke luar balkon.
Aku menghela napas.
"Sudahlah. Ayo turun saja." Kataku sambil menarik pergelangan tangannya.
"Baik, Nona Polos."

"Kau mau kugigit? Aku punya taring yang tajam untuk itu." Kataku mendelik datar padanya.
"Tidak. Terimakasih."
"Jangan panggil aku selain namaku." Perintahku.
"Baik. Akan kuingat." Mika malah membuat sikap hormat.

Aku menghela napas dan tersenyum geli. Lalu kami meninggalkan balkon, meninggalkan dingin dan senyapnya malam.
Bergabung dengan kehangatan dari tawa canda teman-teman Mika. Eum, maksudku keluarganya.

~•~~~•~

Wed, 25 December 2019






Owari no Seraph -Spin Off-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang