Part 21

179 42 8
                                    

Bulan ini memang musim hujan. Pagi hari cerah dan sinar mataharinya begitu terik, tapi semakin menjelang sore, langit berubah mendung dan nampak tidak bersahabat.

Seperti kata pepatah, sedia payung sebelum hujan. Banyak yang membawa payung, jas hujan, dsb. Tidak sedikit orang yang juga tidak membawa apapun. Jadinya mau tidak mau menunggu di tempat yang aman untuk berteduh.

Masih ada beberapa orang yang memilih tetap tinggal di dalam ruangan sekolah, salah satunya perpustakaan. Beberapa orang itu adalah Keisya, Vino dan Rafa.

Mereka bertiga sudah berencana untuk mencari referensi materi yang sekiranya keluar di perlombaan nanti. Karena materi yang dilombakan adalah umum. Semacam cerdas cermat antar tingkat SMA/SMK.

Beruntung perpustakaan Gemilang memiliki fasilitas yang memadai. Sehingga siswa/siswi yang datang akan sangat terbantu dan nyaman untuk dikunjungi. Dua buah AC ditempatkan di dinding sisi kanan dan kiri.

Rak buku yang berada di keliling ruangan dan yang dijadikan sekat pembatas dipenuhi buku yang berurutan, nampak sangat enak dipandang. Sedangkan sisanya diisi beberapa meja pendek bagi yang ingin belajar dengan lesehan. Ada juga meja dan kursi panjang bagi yang ingin belajar layaknya di kelas. Tak lupa dengan karpet tebal sebagai alas lantainya dan wifi sekolah gratis yang memiliki koneksi lebih kencang, karena khusus untuk pengunjung perpustakaan.

Vino masih berkeliling mencari buku panduan lengkap rumus kimia, padahal tangan kirinya sudah memegang buku kimia juga. Tapi dia masih ingin mencari yang lebih mudah dipahami.

"Ketemu ngga Vin bukunya? Mendingan baca yang udah kamu pegang aja tuh, biar lebih menghemat waktu." Keisya menghentikan aktivitasnya melihat Vino yang berdiri di depan rak buku sebelah sambil memilih-milih.

Alih-alih menurut, Vino malah membuat Keisya sebal, "Iya bawel, ini udah kok."

"Ih, aku ngga bawel," ucap Keisya membela diri. Tidak sengaja melirik ke Rafa yang tengah menunduk fokus membaca buku. Rasanya, dia ingin seperti Rafa yang mudah paham dengan sekali baca. Keisya adalah tipe yang harus mencerna beberapa kali. namun, jika sekiranya mudah, hanya sekali juga dia langsung mengerti.

"Belajar yang serius, biar cepet selesai," kata Rafa.

Rafa memilih untuk menguasai matematika, dan Fisika. Keisya memilih bahasa indonesia, biologi dan agama. Sedangkan Vino memilih Bahasa Inggris dan kimia. Semuanya ditentukan dengan kemampuan masing-masing, jadi tidak perlu berebutan satu sama lain.

Ditengah jalannya diskusi, benda pipih milik salah satu dari mereka bergetar. Menampilkan sederet pesan dari guru pembimbing, yang isinya interupsi untuk berlatih mengerjakan soal-soal yang baru saja dikirimnya.

"Bu Indri WA katanya suruh latihan yang bener, dan dia ngirim soal pilihan ganda yang harus kita jawab," kata Vino sembari membagikan file soalnya ke daftar nama Rafa dan Keisya. Berhubung Vino ketua kelas, dan menjadi salah satu perwakilan yang ikut, Bu Indri langsung memberi info kepadanya. Karena hanya nomor pengurus inti yang disimpan.

"Thanks." Rafa langsung mengeluarkan buku latihan dan bersiap mengerjakan duluan, lalu diikuti oleh Keisya.

Vino yang melihat itu langsung bersuara, "eh nanti dulu, ini mau ngerjain sendiri-sendiri semuanya?" Dia berpikir akan banyak waktu yang terbuang jika masing-masing mencari soal yang sama. Ada baiknya jika dibagi sama rata untuk mengerjakannya hingga selesai.

"Terus mau gimana? ada tiga puluh soal, sama sepuluh essai." Keisya menggulir halaman yang ada di ponselnya dari atas hingga bawah. Menurutnya soal-soal ini sedikit rumit, tidak akan bisa jika dia hanya mengerjakannya sendiri.

"Dan waktunya tinggal satu jam, sekolah batesin cuma sampe jam lima, 'kan?" tambah Rafa sekaligus memastikan. Pasalnya, jika masih ada siswa yang berada di sekolah, sekalipun itu untuk mengerjakan tugas, tetap saja akan diusir secara halus oleh pak satpam. Terlebih lagi jika masih ada pembina osis yang terkadang memantau dari ruang wakil, tidak akan segan untuk bersikap tegas.

Keisya dan Vino hanya mengangguk menanggapi, akhirnya Keisya menyuarakan pendapatnya.

"Menurut aku gini aja, yang pilihan ganda masing-masing ngerjain sepuluh soal, dan essainya dibagi juga. Nanti kalo udah, saling tuker aja. Ngerti ngga?"

"Ngerti-ngerti. Nah, yaudah nih pembagiannya urut aja biar gampang. Aku satu sampe sepuluh, kamu Kei sebelas sampe dua puluh, dan lo Raf dua puluh satu sampe tiga puluh," jelas Vino yang diperhatikan oleh dua orang di depannya.

"Yang essai, saya lima nomor pertama," ucap Rafa lebih dulu sembari memperhatikan soal essai satu persatu. Baginya soal seperti ini masih mudah untuk dipecahkan.

"Kok kamu lima soal? Yakin?" tanya Keisya ragu. Keisya yang baru melihat soalnya saja sepertinya harus membuka buku catatan. Dia meragukan apakah Rafa bisa atau tidak. Keisya lupa, kalau Rafa selalu unggul dalam matematika darinya.

Rafa hanya mengangguk yakin, malah Vino yang menimpali, "Udah Kei, biarin aja. Malah bagus kali, biar orang pinter yang ngerjain lebih banyak." Ucapan Vino membuat Keisya menatap lurus ke arahnya, Keisya khawatir akan terjadi sesuatu lebih lanjut jika dia tidak langsung mengalihkan pembicaraan. Dia sendiri bingung, mengapa hubungan Vino dengan Rafa tidak terlalu dekat. Selalu dimulai dari Vino yang memulai perdebatan.

"Ih udah biarin Vin, tinggal dua puluh menit  lagi nih. Lanjut yang tadi, aku ngerjain nomor enam sampe delapan. Sisanya baru kamu" Keisya berusaha setenang mungkin. Melihat Rafa dari ekor matanya yang tengah menatap Vino dengan sorot mata tajam, membuatnya ngeri.

Tidak ada yang protes, semuanya langsung mengerjakan soal yang sudah dibagi. Di perpustakaan itu hanya tersisa mereka bertiga, ditemani oleh penjaga perpustakaan yang masih tergolong sangat muda. Mereka langsung pulang, jika jam sudah tepat menunjukkan pukul lima sore.

•••

Dari balik kaca mobil yang tertutup embun, Keisya memperhatikan suasana jalan yang masih padat. Dia sudah tahu, kepadatan seperti ini memang selalu terjadi. Terlebih lagi berbarengan dengan jam pulang kantor dan dirinya hanya ditemani dengan laki-laki disebelahnya yang sibuk mengemudi. Kalau bersama Vino, mungkin suasananya tidak sehening ini.

Untuk menghilangkan bosan, gadis itu memilih membuka pesan masuk dari seseorang tanpa ingin membalasnya. Biarlah dia hanya memberi dua centang biru.

Vino
Maaf Kei, aku harus jemput Putri les.

Keisya menghela nafas, dirinya juga tidak memaksa ingin pulang bersama Vino. Keadaanlah yang membuatnya seperti itu. Semakin lama rasa kantuk seperti sedang menyerang untuk memaksanya memejamkan mata. Dia tidak sadar, Rafa memperhatikan sekilas dari ekor matanya saat mata Keisya sudah terpejam.

Laki-laki itu bingung harus bersikap bagaimana. Tapi hatinya sedikit senang, bisa mengantar Keisya pulang untuk beberapa kalinya. Saat lampu merah, Rafa membenahi ponsel Keisya yang hampir terjatuh karena pemiliknya tengah terlelap.

Satu yang ada dipikiran Rafa, lucu.

Hatinya mengatakan, jika menjadi teman bisa menyangkal dan menutupi sebuah perasaan, dia berharap akan lebih baik seperti itu. Kalau sebuah ungkapan, hanya akan menciptakan kerenggangan.

KEISYA STORY (Terbit) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang