Part 38

172 38 25
                                    

Seorang laki-laki baru menepikan mobilnya sejajar dengan mobil yang sangat ia kenali. Siapa lagi kalau bukan mobil sang papa. Rupanya papanya baru kembali dari luar kota hari ini.

Ia melirik jam di pergelangan tangan. Sudah hampir dua jam ke luar hanya membawa satu kantong berisikan dua buku. Tadinya ia hanya ingin mencarikan buku dongeng untuk adiknya, tapi sorot matanya menangkap suatu buku yang membuatnya jadi membeli dua buku.

Dari ruang tamu terdengar bunda sedang berbincang serius dengan laki-laki yang ia panggil papa. Apa papanya menginginkan sesuatu lagi?

"Kamu dari mana, Raf?" Tanya sang papa yang menatap hangat. Tidak sedingin waktu itu.

"Habis dari toko buku, beli buku dongeng."

"Buat kamu?"

Rafa lantas menggeleng. "Ya bukan, Pa."

"Lalu?" tanya papanya lagi.

"Qila."

Papanya hanya mengangguk, menanggapi jawaban putranya, kemudian mengajukan sesuatu yang pastinya harus Rafa penuhi. Tidak mungkin hanya berbasa-basi seperti dulu, saat ia kecil.

Semenjak putranya bukan lagi anak kecil yang terus merengek manja dan terus meminta sesuatu, papanya mulai bersikap tegas, serta mendidiknya dengan keras. Hingga di usianya yang masih remaja, Rafaro Putra Wijaya tumbuh menjadi karakternya sekarang, dan sudah bisa berpikir dewasa.

Sifat dasar Rafa menurun dari papanya, Kusuma. Dingin, cuek, bahkan bisa datar pada siapa saja. Kalau sudah membuat pernyataan, selalu menuntut agar terlaksanakan.

"Besok jemput Aisyah untuk makan siang di sini."

Lafa janji pa, kalo Lafa udah besal, Lafa akan selalu nulut kata papa dan bikin papa bangga. Bial papa nggak ngomelin aku lagi.

Rafa menghela napas. janji kecilnya dulu seketika terus membayanginya. Bocah yang saat itu masih usia tujuh tahun sudah bisa berbicara seperti itu? Bahkan menyebut huruf "R" saja belum benar.

Harusnya dia sudah bisa seperti teman-temannya yang bicaranya sudah pada lancar. Tidak seperti dulu yang membuatnya malu berbicara, dan berkata singkat pada siapa pun, kecuali bundanya.

"Rafa, papa kamu nanya, nak." ucapan bundanya membuat lamunannya buyar, dan melihat papanya yang menatap dengan penuh harap, agar dia menganggukkan kepala.

"Emang papa nerima penolakan? Rafa cuma bisa bilang iya, kan?" ucap Rafa seperti menohok papanya. Mood Rafa hari ini sedang buruk.

"Bisa nggak terus-terusan nyerang papa? Papa mau yang terbaik buat kamu, tapi kamu seolah nunjuk papa itu orang jahat."

Kusuma meletakkan kacamatanya ke meja dan mengusap wajahnya. Rasa sesak menjalar ke dadanya mendapat perkataan seperti itu dari putranya.

"Terbaik buat Rafa? Kalau misalnya Rafa ngga bahagia sama pilihan papa, papa merasa itu yang terbaik? Papa bahagia?"

Bundanya duduk mendekat ke sebelah putranya dan mengusap pundaknya. "Rafa sayang, kamu langsung naik ke atas aja ya, istirahat."

Melihat sikap istrinya yang memanjakan Rafa, papanya angkat bicara. "Jangan terlalu dimanja, bun, nanti malah semakin menjadi."

Tidak cukup kah Rafa memenuhi keinginan papanya untuk terus bersama Aisyah di sekolah? Tidak cukup kah dia melupakan perasaannya sendiri yang telah tertanam untuk gadis lain?

KEISYA STORY (Terbit) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang