Pesahabatan yang dibangun Ane, Genta, dan Karen hancur lebur kala Karen-calon istri Genta-secara tiba-tiba membatalkan pernikahan saat persiapan sudah rampung 85%. Sakit hati Genta yang begitu mendalam serta kekecewaan Ane pada Karen, membuat trio s...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Berita pernikahanku dengan Genta sudah mulai tersebar. Kami membuat seakan-akan pernikahan kami berjalan natural dan terencana. Agenda Genta untuk menjelaskan pada ayahnya juga berhasil. Om Bima yang tengah terbaring di rumah sakit mampu menerima penjelasan kami. Ada rasa tak tega kala membohongi Om Bima—yang selama ini kuanggap orang tuaku sendiri—bahwa aku dan Genta akan menikah. Kami juga mengatakan sejujurnya bahwa Karen membatalkan pernikahannya dengan Genta sudah sejak lama, namun Genta tak lantas memberitahukan Om Bima. Ia juga mengerti saat kujelaskan mengapa kami menikah. Tentu saja, bagian itu aku yang menjelaskan. Genta tak pandai mendusta, sehingga harus aku yang melakukan. Om Bima percaya bahwa pernikahan kami didasari atas cinta dan ketergantungan satu sama lain. Saat Karen meninggalkan Genta sendiri, hanya aku yang berada di sisinya dan perlahan membuat Genta bangkit. Om Bima merasa lega. Bahkan ia mengatakan pula bahwa ia lebih senang Genta bersamaku daripada Karen. Poin ini tentu saja membuatku tinggi hati. Bagaimana tidak, seorang Ane bisa mengalahkan Karenina Syach.
Sebenarnya ganjalan rencana ini ada pada Papa. Papa terlihat meragukan kami meski Tante Rinda dan Anya terus meyakininya. Anya, perempuan itu senang bukan main. Ia bahagia saat tahu pada akhirnya Genta yang kupilih. Katanya, sejak dulu kami saling melengkapi dan seyogianya hidup bersama.
Aku tak terlalu banyak melakukan persiapan pernikahan. Semua seperti sudah hampir matang 85% saat kami memutuskan menikah. Genta dan Karen sudah menyiapkan pernikahannya masak-masak. Lokasi, vendor, gaun, konsumsi, MC, jumlah tamu, suvenir, dan lainnya sudah mereka siapkan dan dibayar Genta lunas. Yang kusiapkan hanya undangan dan gaun. Tidak mungkin kan aku mengenakan gaun yang dipesan Karen? Dari segi postur tubuh saja kami berbeda. Meski pernikahan ini hanya setting-an, aku juga tidak sudi mengenakan gaun yang dipesan oleh Karen. Untuk hal ini, aku merogoh kocekku dalam-dalam demi gaun pengantin yang dirancang desainer kebanggaan Indonesia, Rivaldi Kusumahardi. Aku ingin tampil cantik di hari yang—mungkin akan terjadi sekali—istimewa di hidupku. Belum tentu kan aku akan menikah betulan setelah ini? Bisa jadi aku kapok dan memilih untuk menyendiri di sisa hidupku.
Hari ini weekend, Genta mengantarku ke butik Mas Rivaldi. Tepat H-1 bulan pernikahan kami. Rencananya kami akan fitting pakaian di siang hari dan sorenya kami akan bertemu vendor untuk mencetak undangan. Beruntungnya aku bekerja di perusahaan yang berkenaan dengan media dan sering kali membuat event, aku diberitahu percetakan murah untuk mencetak undangan dari karyawan kantorku.
"Perfect," ujar Mas Rivaldi saat tirai dibuka dan menampilkanku dengan balutan gaun backless tanpa lengan berwarna emas. "You cakep banget, Neng," lanjutnya.
Genta yang lebih dulu selesai fitting menatapku sambil menganggukkan kepala seakan membenarkan kalimat Mas Rivaldi. Aku menatap kaca besar yang mengelilingi ruangan. Aku dan Genta tampak serasi dengan Genta dalam balutan tuxedo hitam. Namun ada satu hal yang menjadi perhatianku: tinggi kami. Genta yang menjulang tinggi membuat tubuh pendekku terintimidasi. Tinggiku hanya sebatas pundaknya, entah Genta yang terlampau tinggi atau memang aku yang sebenarnya memang terlalu pendek, yang jelas aku tidak mau terlalu jauh terbanting dengan Genta.