03.14
"Genta."
"Hmm?"
"Jangan bangunin gue ya. Gue mau izin aja."
"Ya."
***
Terpaan udara dingin menyapu tulang selangka perempuan yang sudah berada di penghujung lelapnya. Rasa dingin pada bagian pundak ke atas yang sudah lama tak ia rasakan, kini kembali hadir. Matanya mulai mengerjap kala suara rintik hujan dan manusia bicara samar-samar masuk ke indra pendengarnya. Saat matanya terbuka, ia menyadari ada yang berbeda dari pandangan pertama pagi ini. Dominasi warna monokrom dan suhu ruang yang lebih rendah daripada biasanya menyambut paginya. Jelas saja, kini ia bukan terbangun di kamar tidurnya.
"Ersa, lo tolong cek dulu loan agreement Indolaboo."
"Oke, Bang."
"Pastiin udah sesuai sama revisi terakhir. Jangan sampai ada typo ya, harus rapi. Gue nggak mau lo slebor lagi kayak yang lalu-lalu."
"Siap, Bang. Oh ya Bang, terus nanti siang gimana? Apa aku sama Rey yang berangkat?"
"Nanti siang tetap gue yang jalan."
Ane menemukan sumber suara yang membangunkan tidurnya tadi. Sumber suara itu tengah duduk di sofa putih yang terletak di sudut kamar. Genta tak menyadari keberadaan Ane karena fokus bicara di depan layar laptop yang berada dalam pangkuannya. Ia mengenakan kemeja kerja warna putih rapi sebagai atasannya serta celana pendek yang dipakai semalam menjadi bawahannya. Matanya sembab seperti menahan kantuk, namun rambutnya yang disisir rapi ke belakang membuat penampilannya terlihat lebih segar. Kontras dengan keadaan Ane saat ini. Hanya selimut tebal yang menutupi tubuh polosnya dari pundak hingga ke bawah.
Ane tersentak setelah melihat jarum jam menunjukkan pukul 9 pagi, yang berarti sudah lebih 30 menit dari jam masuk kerjanya. Sontak ia bangkit duduk dan hendak mencari ponsel yang biasa ia taruh di nakas untuk menghubungi anak timnya bahwa ia tidak masuk hari ini. Sial, ia bahkan tak menemui ponselnya.
Ane menepuk kepalanya sendiri saat menyadari bahwa ponselnya masih berada di clutch yang semalam tergeletak begitu saja di meja dapur. Gerak Ane membuat Genta menyadari perempuan itu sudah terbangun. Ia tetap menjaga fokusnya pada virtual meeting pagi ini namun tetap memerhatikan perempuan yang tengah kebingungan itu dengan ekor matanya. Rapat virtual membuatnya harus tetap fokus pada layar monitornya.
Ane semakin bingung. Setelah bingung mencari ponselnya, sekarang perempuan itu tengah kebingungan mencari sesuatu untuk dikenakan. Ia butuh pakaian untuk berjalan keluar melewati Genta yang kini tengah duduk di sofa yang menghadap pintu kamar ini. Namun nihil, ia tidak menemukan pakaiannya di sini. Hanya ada pakaian Genta tadi malam yang teronggok sembarangan di lantai. Ane melambaikan tangan mencoba menarik perhatian Genta hingga akhirnya menoleh sempurna padanya. Ia menggunakan kesempatan untuk bicara melalui gerakan mulut.
"Ta, baju gue?" tanyanya tanpa suara sembari menutupi bagian tubuh atasnya dengan selimut. Ane tahu bahwa pria itu tengah rapat menggunakan aplikasi video conference, sehingga ia tak mau suaranya ikut masuk ke dalam rapatnya.
Genta membalas dengan mengedikkan bahu dan menggeleng tanda ia tidak tahu. Ane mendengus, meskipun semalam mereka sudah melakukannya, ia masih malu untuk berjalan dengan tubuh polos di hadapan pria itu. Dengan cepat, ia raih kaos Genta semalam yang teronggok di lantai lalu mengenakannya. Kaos itu sangat kebesaran di tubuh Ane sehingga cukup menutupi hingga setengah pahanya. Ia merapikan sebentar rambut barunya yang sangat kacau pagi ini, baru kemudian bangkit berdiri. Ia harus segera mencari keberadaan ponselnya untuk izin kepada timnya bahwa ia tidak dapat hadir hari ini. Ane tak ingin memberi contoh buruk dengan alpha tanpa ada alasan jelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Only Exception [END]
RomancePesahabatan yang dibangun Ane, Genta, dan Karen hancur lebur kala Karen-calon istri Genta-secara tiba-tiba membatalkan pernikahan saat persiapan sudah rampung 85%. Sakit hati Genta yang begitu mendalam serta kekecewaan Ane pada Karen, membuat trio s...