Ini adalah part terpanjang, udah serasa nulis paper tugas kuliah haha. Jangan lupa vote! Kalau ada kalimat rumpang atau typo, boleh banget di-marking. Thank you!
***
Aku menuruni pijakan terakhir tangga yang langsung berhadapan dengan dapur. Bau sedap khas telur ceplok goreng sudah menguar ke penjuru ruang. Seorang pria dengan setelan kemeja kerja formal berdasi tengah berjibaku dengan wajan dan sutil besi. Celemek merah juga selalu ia gunakan tiap memasak sarapannya.
"Gue buat telur doang ya," ucapnya saat aku baru saja mendaratkan pantat di kursi meja bar yang kami fungsikan menjadi meja makan juga.
"Hmm," kataku tak acuh karena memerhatikan ponsel.
"Udah nih. Ambil nasi sendiri atau gue ambilin?" tanyanya yang membuatku langsung menaruh ponsel. Aku tidak mau lagi diambilkan oleh Genta. Porsi yang diberikan Genta bisa tiga kali lipat dari porsiku.
"Gue aja. Entar porsi kuli kalau lo yang ambilin," jawabku langsung membuka rice cooker kami. Nasi yang kumasak setengah jam lalu sudah matang dan sedang panas-panasnya.
Beginilah kehidupanku dan Genta di pagi hari. Kami berbagi tugas, aku yang memasak nasi sementara Genta yang memasak lauk. Aku tidak suka memasak. Bukannya tidak bisa, namun aku tidak suka masak. Terlebih yang selalu uring-uringan bila tidak sarapan adalah Genta, bukan aku. Jadilah Genta yang bertugas sebagai koki dalam rumah tangga kami. Sementara aku bertugas menanak nasi di pagi hari karena nasi buatan Genta sering kali tidak pas teksturnya, kadang terlalu perak dan kadang terlalu benyek.
"Ta, request dong," kataku sembari menyantap nasi telur ceplok buatan Genta.
"Apa?"
"Sop kacang merah atau sayur bayam," kataku sambil membayangkan dua makanan yang kusuka. "Terus pakai tempe goreng bawang."
"Ck. Masak sendiri," katanya cuek yang kuberi respons tawa.
"Lo nggak terbebani kan karena selalu masakin gue?" tanyaku.
"Ya enggak lah, selama lo nyuciin baju gue, Ne. Adil," jawab Genta. Aku terkekeh menanggapi. Di rumah ini, aku yang bertugas mencuci baju kami karena tidak ada jasa penatu di sekitar sini. Semua pekerjaan rumah kami bagi tugas secara adil.
***
Aku sedang mendengarkan lantunan John Lennon menyanyikan Love melalui airpods saat Marta tiba-tiba datang ke kubikelku.
"Kaget, Marta," kataku.
"Hehe sorry Mbak Ane. Mau kasih report kandidat yang lolos interview user nih. Aku minta tandatangan Mbak untuk maju ke offering."
Kuterima map bening betuliskan 'Newst Op. Ditectorate' yang ia serahkan dan membaca data-data kandidat yang sudah lolos interview user. Semua berkas sudah lengkap, penilaian oke, tinggal kutandatangani. Namun tiba-tiba data satu kandidat menyita perhatianku saat aku membaca note hasil interview-nya. Di sana user menuliskan weakness dalam SWOT kandidat ini adalah tidak bisa pulang malam, bawa kendaraan, dan mudah homesick. Ditambah pula dengan kesan user yang mengatakan kandidat sedikit lenjeh dan manja. Kandidat ini merupakan kandidat untuk tim Edgar. Aku tahu sekali bahwa pria itu tidak bisa bekerja sama dengan tipe-tipe perempuan manja apalagi yang sering beralasan tidak bisa lembur karena jam malam. Meski kandidat ini tidak berada langsung di bawah Edgar, namun menurutku Edgar harus tahu. Dulu aku selalu double check apabila akan merekrut karyawan untuk tim yang berada di naungan Edgar. Aku tidak mau ada drama-drama karyawan resign karena ritme kerja dan perangai Edgar. Menjadi bagian tim Edgar berarti harus siap kejar tayang, artinya harus siap lembur sewaktu-waktu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Only Exception [END]
RomancePesahabatan yang dibangun Ane, Genta, dan Karen hancur lebur kala Karen-calon istri Genta-secara tiba-tiba membatalkan pernikahan saat persiapan sudah rampung 85%. Sakit hati Genta yang begitu mendalam serta kekecewaan Ane pada Karen, membuat trio s...