Sial! Sudah hampir tengah malam namun pikiranku masih kacau! Semua karena kejadian tolol yang kulakukan tadi. Masih jelas rasanya saat paha mulus itu bertengger di bahuku. Bodoh, Genta bodoh!
Tak hentinya aku merutuki diri sendiri. Malu rasanya mengakui bahwa malam ini pikiranku penuh dengan paha mulus Ariadne. Tapi begitulah kenyataannya. Paha mulus Ane yang ia biarkan ditumbuhi bulu-bulu halus. Seharusnya Ane pakai celana panjang yang menutupi pahanya. Seharusnya Ane menolak untuk kugendong dengan cara itu. Tapi.. seharusnya aku tak memegang paha mulus sahabatku itu! Betapa tololnya aku di mata Ane. Bagaimana tidak? Tanganku seakan tak rela paha putih itu melepas lilitannya di kepalaku. Bodoh, Genta bodoh.
Aku malu menemui Ane sekarang. Pasti kini ia sedang berpikir macam-macam. Oh tidak! Aku tidak suka dengan Ane. Yang benar saja? Ah bahkan aku sudah sering lihat paha Ane kok! Ia beberapa kali mengenakan celana pendek saat bersamaku dan aku biasa saja. Tapi menyentuh pahanya, ini baru pertama kali kulakukan. Sialan! Betapa beruntungnya Edgar dan mantan-mantan Ane lainnya.
"Ya Tuhan! Aaaaaaa!"
Suara lengkingan Ane dari kamar seberang mengagetkanku. Tanpa pikir panjang, aku langsung mengambil stik golfku dan berlari menuju kamar Ane.
Bruk!
Jantungku berpacu begitu cepat. Segala pikiran buruk kini berputar di kepalaku. Kubuka pintu dengan kasar, sudah siap untuk menyelamatkan Ane. Namun yang kudapati justru pemandangan yang...
Ane berdiri di atas nakas dengan memeluk guling. Wajahnya pucat dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
"Kenapa, Ne?!" tanyaku panik.
"Genta..." cicitnya dengan napas terengah-engah. "Ada cicak."
Rasanya ingin aku pukul perempuan ini dengan stik yang kubawa. Bisa-bisanya ia berteriak sekeras tadi hanya karena seekor cicak?! Aku tahu bahwa sahabatku ini takut sekali dengan cicak. Namun reaksinya sungguh berlebihan. Bisa jadi tetangga kami mengira telah terjadi KDRT di rumah baru tetangganya ini.
"Ne! Lebay banget sih!" bentakku. "Kalau tetangga dengar dan mikir yang enggak-enggak, gimana? Cicak doang yaampun," lanjutku.
Kusambar tisu di meja rias Ane. Perempuan itu masih terdiam dengan bibir mengerucut seperti tikus. Matanya masih berkaca-kaca, wajahnya pucat pasi. Ia benar-benar takut.
"Di mana?" tanyaku.
"Di bawah kasur. Tadi dia lari," cicitnya.
Aku melongos. Kutundukkan badan ke bawah kasur. Cicak sialan itu tengah bertengger di tengah. Sepertinya sulit bila kuambil dengan tangan kosong. Aku hendak keluar kamar untuk mengambil sapu. Namun sepertinya Ane mengira aku akan meninggalkan dia bersama cicak di bawah kasurnya.
"Gentaa," panggilnya yang kuabaikan.
Setelah sapu berada dalam genggamanku, segera kuusir cicak sialan yang telah menakuti Ane. Perkara cicak tidaklah sulit bagiku. Aku tidak takut atau jijik dengan hewan-hewan kecil macam cicak, kecoak, ataupun ulat. Selesai kubereskan urusan cicak, Ane tak lantas turun. Ia justru menyengir lebar. Lebar sekali sampai rasanya aku sebal melihatnya. Dengan suara dibuat sok imut, ia mengucapkan terima kasih kepadaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Only Exception [END]
RomansaPesahabatan yang dibangun Ane, Genta, dan Karen hancur lebur kala Karen-calon istri Genta-secara tiba-tiba membatalkan pernikahan saat persiapan sudah rampung 85%. Sakit hati Genta yang begitu mendalam serta kekecewaan Ane pada Karen, membuat trio s...