Chapter 2

586 30 1
                                    

Pujangga, sesosok manusia yang bersenjata rangkaian kata dan pemikiran. Dalam hidupnya, dia akan selalu menilai sebuah kejadian apakah baik atau buruk. Merekam segala kejadian yang menarik dengan hanya bermodalkan tulisan di atas rontal.

Pujangga pula menjadi salah satu sosok ksatria yang gagah dan digdaya. Melalui kata-kata ia mampu mengancam gunung sekokoh semeru dan membelah lautan jawa. Mampu mengobrak-abrik peradaban manusia dan menjatuhkan kekuasaan raja. Kata-katanya pun mampu meredakan badai dan menenggelamkan amarah. Serta, sakti mandraguna untuk mampu menciptakan keajaiban yakni sebuah rasa dan karsa bernama kama.

Namun orang-orang menyebutnya hanya sebagai lakon sampingan. Tapi bukankah tanpa sosok pujangga kebesaran nama-nama manusia di masanya tidak akan tercetak dalam lembaran-lembaran ingatan manusia masa yang akan datang?

Desir ombak menggedor mata untuk membuka. Percikan air menyambar-nyambar meresap dan membangunkan raga. Seperti sebuah suara dari bumi yang ingin membangunkan seorang ksatria untuk bangkit dalam perang melawan kedurjanaan. Terbukalah mata itu! Melihat hamparan langit biru dan awan gemawan layu. Dimana panas matahari merebus semua cairan dalam tubuh. Dan menguap, selepas itu menghilang tanpa bekas. Bangunlah! Tubuh yang tersandar di bebatuan kasar pantai. Dengan luka-luka menganga bercampur pedihnya campuran air pantai.

Sayangnya, ini masih belum di Swargaloka, entah dimana? Hanya kurasa tempat ini tak asing. Ini di utara! Ya aku baru ingat! Tempat raksasa-raksasa yang merupakan bualan alam khayalan menjadi nyata. Yang menghancurkan kapal-kapal dari selatan.

Matahari mulai merunduk ke barat dan raga mulai berkumpul ke haribaan kendali pikiran. Dari tangan lalu ke kaki semuanya dapat digerakkan dengan pasti. Bagai kekuatan Werkudara. Aku bangun dan menatap ke arah hutan belantara yang penuh dengan kemistisan. Hanya alunan suara ombak dan kicau camar yang menyoraki untuk kemenangan atas kesakitan.

Sore berganti kelam, api menyala di tanah yang masih perawan. Api unggun yang kubuat dari kayu-kayu bakau dan bebatuan karang. Di malam yang sunyi masih tak lekang suara-suara teriakan ketika kapal dihantam oleh sesuatu kekuatan yang besar. Semua kocar-kacir dan aku hanya terpaku di geladak kapal. Sampai sana, pagi yang terang berubah kelam dan sampailah tubuhku disini sendirian tanpa kawan.

Malam yang sepi itu, aku berkawan dengan suara pasang laut dan nyanyian jangkrik dari arah hutan. Terkadang suara perempuan memanggil. Ada juga suara mengerikan yang mengusir. Semua bercampur aduk di lubang telinga saat itu, tapi kantukku lebih hebat dari ancaman apapun. Lalu mataku bertemu lagi dengan pagi.

Perut keroncongan, kuputuskan untuk memberanikan diri untuk menjelajahi belantara di hadapan. Masuk dan melihat hutan yang gelap. Sana-sini banyak hewan kecil berkeliaran. Terkadang mereka menggigit dan lebih mengerikannya menghisap darah. Hewan bertubuh lunak itu yang membuat badanku semakin lemah.

Hujan turun, sedikit menghilangkan dahaga haus tubuh. Aku semakin dalam menjelajahi hutan mencari buah-buahan yang bisa dimakan. Hingga kutemui buah-buah kecil jatuh dari atas pohon. Kumakan dan kucecap rasanya mirip dengan mangga. Dan juga seharum wewangian nirwana.

Mulai saat itu aku panjat pohon dan mengambil seluruh buah-buah untuk dimakan. Kubangun rumah di atas sana agar terhindar dari serangan harimau. Perlu waktu berhari-hari membangunnya--tapi tak apalah--selama ada air dan makanan pekerjaan apapun terasa mudah. Entah berapa lama hidup disana, yang pasti sudah kusimpulkan bahwa aku satu-satunya yang selamat dari serangan raksasa kabut utara.

Lama-lama hidup sendirian semakin sepi. Telah catur wulan berlalu, aku ditemani oleh monyet-monyet berhidung panjang namun tak mampu mengobati kerajaan sepi dalam hati. Kuambil daun aren dan kujemur hingga kering lalu kugunakan ranting pohon dan menuliskan rangkaian kata sebagai berikut :

Alangkah indahnya tanah utara

berjuta pohon tumbuh di atasnya

Tanpanya bisa apa sahaya?

hanya seorang pujangga jawa

Hujan turun dari cakrawala

Di wilayah tanpa nama

Hendaknya diberi nama apa?

Alangkah baiknya Kala Mantana

Kala mantana apalah maknanya

Dari sansekerta dan pallawa

Yang mengartikan makna sesungguhnya

Kala udara panas-panasnya

Aku bersandar memandang awan gemawan. Hutan-hutan ini telah memberikanku kehidupan. Satu persatu bulan berkitar pada waktu malam hingga semak belukar tumbuh semakin lebat dan perasaan semakin mengeras.

Aku harap aku dapat kembali ke tanah Jawa. Menemui Mahaguru Swarna kembali dan membalas semua perbuatan Kalagemet. Moga-moga saja sebuah keajaiban datang dan membawaku dari Kala Mantana.

Banjarbaru, 2019

Hujan di Malam Hari✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang