Chapter 5

223 12 0
                                    


Peradilan yang seharusnya berjalan singkat itu melarut. Pertanyaan itu mencuil sebuah rahasia yang mengancam pembelaanku. Mungkin praja-praja yang hadir di dalam istana tidak tahu menahu perihal nama tersebut. Namun jika ditelisik maka ini akan membuka kenyataan bahwa bocah berumur tak kurang sembilan tahun ini telah berulang kali menerobos masuk tanpa izin ke dalam keputrian. Dan arah pertanyaan Yuwaraja Kalagemet ini kemungkinan besar sekali menunjukkan bahwa ia pernah melihat kami hilir-mudik dalam keputrian. Bila ia menjadi saksi, maka kemungkinan besar putusan Raja akan berubah drastis.

"Sepertinya Dik Nadendra ini terlihat takut, Jawab saja!" tekan sang Yuwaraja.

"Kalagemet, apa hubungannya dengan persoalan ini?" Tanya Raja.

"Begini Ayahanda, ibu kandung sahaya, Sri Indreswari, seorang bangsawan dari Dharmasraya, telah membawa seorang anak gadis yang bernama Rengga. Ia menganggap seperti adiknya sendiri. Sehingga memberi nama Dara pada nama depannya. Sesuai dengan nama Ibunda yakni Dara Petak. Seiring berjalannya waktu, Ibunda diperistri oleh Ayahanda. Dan Dara Rengga ikut dibawa dan dijadikan pelayannya. Maka, bila Dik Nadendra ini mengenal Dara Rengga kemungkinan ia telah memasuki keputrian berulang kali!"

"Baginda, ini tidak bisa dibiarkan! Hukuman perlu dijatuhkan. Ini bukan lagi sebagai sebuah ketidaksengajaan melainkan pelanggaran yang disengaja dan berulang kali dilakukan. Jika ini dibiarkan maka kewibawaan raja akan rendah di mata kawula-kawula. Dan orang-orang bawah akan mendapat kesempatan untuk memberontak kerajaan. Salah satunya si busuk Ranggalawe dan juga pamannya Sora!" kecam seorang Mantri di sebelah kiriku.

"Baginda, betul yang dikatakan oleh Rakryan saudaraku ini. Jika terbukti, putusan harus dijatuhkan. Tapi menurut sahaya hukuman untuk anak muda yang masih bau kencur ini mesti kita jatuhi hukuman yang paling ringan," saran seorang Mantri.

"Baginda, Nadendra, belum menjawab apapun yang ditanyakan oleh Hyang Yuwaraja. Jadi tidak bisa kita anggap ia salah," Ayah membela, wajahnya kini memerah. Terlihat berang.

"Nadendra, putusan sahaya ada di tanganmu. Jelaskan bagaimana kau memasuki keputrian!" ucap Raja dengan rendah.

Kini segalanya terletak pada pembelaanku. Jika berbohong, mungkin bisa saja selamat dari hukuman ini. Namun, bila sang Yuwaraja memberi kesaksiaannya maka walaupun daku berbohong telah dipastikan bahwa aku akan hancur di depan peradilan ini. Menjadi bahan tertawaan para mantri dan praja-praja Majapahit. Tapi bila kujawab dengan jujur sama saja dengan bunuh diri. Aku akan terusir di pulau Jawa. Memikirkan saja aku tak sanggup. Kemanakah daku ini akan berlabuh? Swarnadwipa atau pulau-pulau lainnya. Seakan dunia kini menjadi asing bagiku.

"Betul hamba mengenal Dara Rengga, Baginda. Beginilah ceritanya. Awalnya hamba ini tak sengaja memasuki keputrian akibat dikejar oleh murid-murid dari pemuja Syiwa. Itupun akibat sahaya menggoda salah satu murid gadis," para Mantri pun tertawa mendengarnya. Mungkin di pikiran mereka menganggapku sebagai bocah pemain asmara, "Hamba pun terjebak dalam keputrian. Dan takut bila salah satu penjaga memergoki. Namun seorang gadis yang sangat cantik menolong Hamba ini dari keputrian. Kukira hamba ialah seorang Hyang Puteri. Ternyata tidak! Ia hanya pelayan. Dan hamba pun memendam rasa padanya. Di tengah kebosanan dan rindu yang menggebu-gebu. Pikiran durjana menuntun hamba untuk menerobos keputrian sekali lagi di malam hari. Hamba pun berhasil membawa Dara Rengga keluar. Walaupun ia sedikit menentang, akhirnya ia mau untuk berteman sahaya. Mulai sejak itu, kami berteman. Hanya sebatas berteman! Hamba pun mengajarkan bagaimana menulis, membaca bintang-bintang. Dan kami tetap berteman layaknya bocah biasa. Tidak ada hubungan perasaan suka layaknya sejoli kekasih. Dan terkadang hamba bercanda dengan menggodanya dengan syair-syair kama. Adapun bertukar rontal-rontal dilakukan bilamana tak dapat bertemu satu sama lain. Hal itu kami lakukan di bawah pohon asam. Dan yang membuat bingung hamba adalah mengapa rontal itu nyasar ke ruang Prameswari. Hamba ini meminta penjelasan pada Dara Rengga!"

"Apakah Dara Rengga ada disini, jika tidak panggilah!" perintah sang raja.

Seorang wanita paruh baya membawa seorang gadis ke dalam Istana. Sang gadis itu ialah Dara Rengga. Ia hanya dapat menunduk malu. Melihatnya, diri ini merasa bersalah.

"Ampun Baginda, apakah kesalahan hamba dipanggil disini?" Tanya sang wanita yang kupuja itu.

"Kau kenal Nadendra? Dan jelaskan bagaimana kalian bertemu!" tuding Raja.

"Hamba ini kenal dengan pria di depan ini. Tapi baru saja mengetahui namanya hari ini," Sampai saat ini aku tercekat. Ini merupakan keterangan palsu. Tak mungkin Dara yang kukenal melakukan hal itu! "Hamba ini pernah memergoki ia memasuki ruang Prameswari namun ia berhasil kabur. Dan hamba ini hendak melapor tetapi sahaya tak mengenal orang dan namanya. Untuk malam itu, hamba tidak berada di ruang Prameswari. Itulah keterangan hamba baginda," Dara Rengga mengatakannya dengan tersendat-sendat. Kentara sekali bahwa pernyataan itu tidak didasarkan pada kebenaran.

"Dara Rengga, bersama sahaya Ayahanda," timpal Kalagemet dengan senyum besarnya. Benar-benar membuat hatiku panas. Berang. Hendak sekali menangis. Memandang Ayahanda yang memasang wajah sendu. Sangat kecewa. Lalu, aku memandang Dara Rengga. Wajahnya terus menunduk. Entah ancaman apa yang di berikan pada gadis ini. Hingga mampu berbohong sedemikian rupa.

"Baginda, sudah jelas bocah ini melakukan kesalahan. Dan juga memberikan keterangan palsu. Hukuman berat harus di jatuhkan!" tuding salah satu Mantri.

"Hyang Raykran, tak pantas rasanya kita menghukum sedemikian rupa pada persoalan ringan ini. Hanya untuk anak yang belum dewasa. Hyang Rakryan membandingkan persoalan kama yang harusnya untuk orang dewasa dengan cinta monyet seorang bocah," bela Ayah.

"Ini bukan persoalan ringan, baginda. Kenalkah anda dengan Ken Arok. Anak desa yang terpincut pada Prameswari Tumapel. Apa yang ia lakukan? Karena asmara ia merebut Tumapel dan meruntuhkan Kadiri. Kekuasan Kertajaya hancur seketika di tangannya. Baginda, sahaya hanya khawatir pada keselamatan baginda," balas sang Mantri.

"Jadi, Hyang Rakryan menganggap bahwasanya anak sahaya tidak bersetia pada Majapahit! Sahaya tidak sudi!" bentak Ayah.

"Berhenti!" Ucap Raja menyelesaikan perdebatan panas antar Dharmadyaksa Kasogatan dan salah satu Mantri, "Sahaya telah mengambil putusan!" Raja pun berdiri menghampiriku, "Dongakkan kepalamu, Nadendra!" Aku pun mendongak dan melihat Raja yang nampak tua memandangku dengan tenang.

"Kau, Nadendra, anak dari seorang Upapati Dharmadyaksa Kasogatan. Kuakui tulisanmu memang menawan. Bahkan tak kalah dari Ayahmu. Bisa jadi karya tulisanmu melebihi karya-karya Ayahmu. Tak mungkin raja ini ingin menghilangkan salah satu putera terbaik bangsa Majapahit. Tapi kesalahan tetap kesalahan. Dan hukum perlu ditegakkan. Sahaya telah memutuskan untuk menjatuhkan hukuman kebiri! Hanya itu saja. Adapun itu bukan berarti Raja ini mendendam padamu. Bukan! Raja ini ingin kau bisa mendalami ajaran Buddha. Sahaya pula memutuskan bahwa Nadendra akan duduk menjadi bakal Dharmadyaksa Kasogatan selanjutnya," semua orang segera terkejut mendengar putusan Raja.

"Ayahanda! Kenapa?" ucap Yuwaraja diikuti oleh tanya dari Mantri-mantri yang tidak suka denganku dan juga Ayahku.

"Hanya Raja ini tahu alasannya. Algojo silahkan jalankan hukuman!"

"Baik, baginda akan sahaya laksanakan!" seorang algojo masuk dan menyeretku ke luar. Sempat aku memandang Ayah yang marahnya mereda. Sedangkan Kalagemet mukanya merah. Sementara sebuah bulir air jatuh dari matanya. Mata wanita yang kupuja dulunya.

Banjarbaru, 2020

Hujan di Malam Hari✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang