Aruh mencapai puncaknya di hari terakhir. Orang-orang seperti dirasuki oleh ruh-ruh leluhur untuk menarikan tari giring-giring. Telah genap empat belas hari, aruh besar dilaksanakan. Dan aku masih menikmati ritual terbesar bagi masyarakat Maanyan ini. Abu mayat pun telah berpindah ke tempat semestinya.
Namun seketika tarian berhenti, sang Pamakal mengumpulkan rakyatnya. Seluruh orang-orang Maanyan lekas mengerubuni lelaki tua ini. Termasuk Angkin yang telah berdiri di sebelah pamakal.
“Saudaraku, aku ingin memberitahukan di hari terakhir Aruh ini sesuatu hal yang penting. Umurku yang senja ini, ingin sekali melihat anakku, Angkin ini, punya istri. Maka, aku ingin mengadakan sebuah perjodohan yang umum kita lakukan. Kalau ada anaknya yang masih belum bersuami atau beristri sebaiknya ikut saja dalam perjodohan ini,”
Semua orang pun ribut. Banyak ibu-ibu tua yang mendorong anak untuk ikut. Bahkan uniknya, ada yang sudah memiliki pasangan minta diri untuk mengambil jodoh lagi. Tak puas sepertinya punya satu istri. Aku tidak berniat untuk mengikutinya. Sehingga menyingkir dari kerumunan masa.
“Bagi yang ingin ikut, silahkan ikuti saya!” seorang perempuan yang merupakan balian juga berseru. Kemudian ia dengan rombongan muda-mudi yang dirundung asmara itu berjalan menuju rumah Pamakal yang paling besar di antara rumah lainnya sehingga sering kegiatan-kegiatan besar dilaksanakan disana.
Aku diam saja melihat dari kejauhan. Karena hanya para pencari jodoh yang boleh masuk. Dan juga pengatur perjodohan. Seorang balian wanita. Sebenarnya aku hendak menengok bagaimana rupanya acara perjodohan di dalam. Namun seorang pengawal menghentikan langkahku. Katanya hanya penjodoh yang boleh masuk. Aku pun kembali ke lapangan. Dan mendekati salah seorang paruh baya yang berdiri dengan santai di bawah pohon.
“Paman, tidak ikut?” kelakarku.
“Ya, bisa dibilang ingin ikut. Tapi…”
“Tapi apa Paman?” tanyaku. Paman ini hanya menjawab dengan telunjuk jempol di sebelah kirinya. Terlihat wanita gempal sedang mengiris bawang. Matanya menyembunyikan amarah. Seperti hendak memakan manusia. Pantas saja, tidak mungkin Paman ini berani dengan istrinya.
“Paman, pernah ikut?” tanyaku.
“Pernah. Paman beristri sekarang hasil dari perjodohan. Jadi di dalam nanti akan dikumpulkan para muda-mudi untuk makan bersama. Mereka akan diberikan makanan. Nah, kalau mereka berucap bahwa mempunyai rasa yang sama terhadap makanan yang mereka santap. Dapatlah jodohnya. Jika tidak satupun yang sama, berarti tidak ada jodoh. Tapi, jika seorang lelaki merasakan sama pada dua perempuan atau lebih maka lelaki berhak dikawinkan dengan kedua perempuan tersebut”
“Wah, berarti enak sekali, laki-lakinya”
“Kamu, kenapa tidak ikut? Masih muda. Saatnya mencari bini”
“Ya, nanti saja”
“Nanti,nanti, hati-hati keburu tua”
“Paman kapan?” tanyaku balik.
“Apanya?”
“Istri kedua,” ucapanku memicu sang istri merajang bawang dengan cepat dan mendengus kesal. Dan menatap sang suami dengan tatapan ganas. Paman pun segera ciut. Dan bekeringat dingin dan meneguk liur.
“Canda saja, Ma, hehe”
***
Lama menunggu akhirnya pintu rumah Angkin terbuka. Sehingga berhamburan orang mulai merubung menanti hasil perjodohan pemuda kampung Maanyan ini. Satu-persatu orang di dalam rumah keluar. Mula-mula para pria disusul kemudian wanita yang bertingkah malu-malu. Dan terakhir Balian yang menutup pintu rumah Angkin. Semuanya membawa dengan beragam wajah. Ada yang sendu, ada yang gembira tak tertahankan hingga meloncat-loncat seperti owa-owa, ada juga yang biasa menyikapi namun senyum-senyum tak jelas. Para orang tua yang telah menunggu segera menghambur kepada anaknya dan menghujani banyak pertanyaan.
Tapi, pandanganku mengarah ke satu sosok yang pergi dari belakang. Itu Numa! Ia ternyata termasuk salah satu peserta perjodohan. Aku jadi curiga sehingga mengejarnya.
Langkahku dari dulu lebih lamban daripada Numa. Sosok putri Balian seperti diciptakan dari kaki kuda. Dan diberi tenaga pria. Namun diberi wujud laksana dewi-dewi kayangan. Maka menghilanglah jejaknya dari peredaran.
Aku pun berusaha mencarinya walaupun buta arah. Mencari secara sembarang. Namun hingga senja tiba tak dapat juga orang yang dicari. Maka dari itu aku mengenang tentang tingkah Numa di masa lalu.
Setelah kami bermain getek bersama-sama pertama kali di sungai nun jauh disana. Kami mengulanginya lagi di minggu-minggu selanjutnya. Saat itu, aku jarang berteman dengan Angkin. Karena ia sibuk bolang-balik ke Tanjung untuk belajar sansekerta dan beberapa ilmu dari Mahaguru. Sedangkan anak-anak yang kuajak bermain akhir-akhir ini bahkan masih merah. Jadi, satu-satunya teman saat itu ialah Numa. Memang saat itu kami masih muda. Sehingga batas-batas kedewasaan tidak menghalangi kami untuk bermain sepuasnya. Maka saat itu hampir seharian kami menghabiskan waktu bersama di sungai tersebut. Terkadang bermain melempar batu, menangkap ikan, berenang, dan lain-lain. Hingga salah satu yang paling diingat ialah membangun sebuah persembunyian tersembunyi. Hanya kami yang tahu dimana itu berada.
Sekonyong-konyong pikiranku terasa melompong. Itu dia! Persembunyian itu! Tapi aku sangsi persembunyian yang aku dan Numa buat masih berdiri dengan baik. Atau telah lapuk dimakan usia dan serangga. Karena kami telah lama tidak berkunjung kesana.
Dengan bertambahnya umur, sebuah tanda-tanda kedewasaan akan muncul. Itulah yang diantisipasi oleh Balian. Tak mungkin ia menjerumuskan putrinya dalam kesalahan pergaulan. Putrinya itu lambat laun mulai dijauhkan dari diriku. Menurutku itu hal yang wajar. Sehingga bagiku baik-baik saja. Jadi mulai waktu itu hubungan kami mulai merenggang. Dan lama kelamaan pembicaraan bahkan tak pernah terucap dari kedua bibir kami lagi. Hanya sebuah tatapan yang mengisyaratkan kerinduan untuk bertemu, bermain, dan berbicara lagi seperti sedia kala.
Hujan mulai turun membasahi Mayapada. Tanah-tanah segera basah dan menjadi lumpur. Sehingga langkah kaki sedemikian berat. Maka perjalanan ke tempat yang dituju semakin telat.
Di kala Matari mulai tenggelam, aku tiba juga di persembunyian. Benar saja dari pantulan sinar jingga, wajah cantik itu terpampang di hadapan, Itu Numa. Ia meringkuk dengan mata sembab. Seperti sehabis menangis. Duka apa yang ia pendam hingga membuat gadis periang ini menjadi orang malang. Aku pun menghampirinya namun seketika ia menyergapku dan memelukku dengan erat.
“Jangan tinggalkan aku”
Banjarbaru, 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan di Malam Hari✔
Ficțiune istorică[Lengkap] [Revisi] [SELESAI] Di tengah hujan, lelaki itu menjadi pahlawan menggerakkan semua pasukan. Darah dan erangan musuh menyatu menjadi kalimat yang sukar diceritakan. Layaknya lakon dari pewayangan, Ia menghancurkan kedurjanaan walaupun darah...