Aku tersentak menengok seorang gadis memergokiku masuk ke dalam keputrian. Detak jantung sontak berdegup kencang. Semua orang telah tahu, barangsiapa lelaki tanpa izin memasuki keputrian akan diadili oleh Raja. Hukuman pun tak sembarangan. Yang paling ringan ialah dikebiri. Membayangkan hal tersebut, sontak bagian bawahku terasa nyeri. Aku menutupinya. Tidak! Aku masih muda.
"Sahaya mohon jangan diwartakan kepada orang-orang, yang mulia Putri. Sahaya tahu sahaya lancang memasuki keputrian. Tapi ini bentuk keteledoran dan ketidaksengajahan sahaya, Hyang Putri. Jadi, sahaya sekali lagi memohon ampun dan pengasihanan Hyang Putri," mohonku. Namun yang diminta mohon malah tersenyum manis dan memintaku untuk bersembunyi di dekat tumpukan buli-buli.
"Terima kasih Hyang Putri, kebajikan Hyang putri berlaksa-laksa beratnya. Tak mampu hamba ini membalasnya. Sahaya hanya berdoa untuk kebajikan dan keberkahan Hyang Putri," ucapku sembari menjura. Sang tuan putri memberi isyarat agar diam. Dan aku menurutinya dengan patuh.
Sejurus kemudian, seorang wanita dengan pakaian kerajaan melewati tempat dimana aku dipergoki oleh Hyang putri. Sang Hyang putri memberi hormat kepada wanita yang terlihat masih cantik walaupun sekilas raut tua terpatri pada mukanya. Aku tercekat. Diakah Pramesywari? Kalau ketahuan, mungkin sekarang nyawaku telah lepas dari raga. Lantas, orang yang menurutku sebagai Pramesywari ini memasuki sebuah ruangan diikuti oleh Hyang Puteri di belakangnya.
Aku tetap berdiam di tumpukan buli-buli yang pengap dan sarang nyamuk. Aku menunggu sang Hyang Puteri memberi aba-aba untuk keluar. Namun Hyang Puteri belum juga keluar dari ruangan Pramesywari. Dalam persembunyian yang sangat aman namun tak nyaman ini, aku tetap tabah. Hingga panas kerontang menghajar kulit kepala, baru sang Putri menemuiku. Ia menarik lenganku dan membawaku menjauhi tempat itu. Aku dengan rela bersedia, selain karena tubuh yang telah capai juga ingin lama-lama merasakan lembutnya genggaman tangan Hyang Puteri.
Tuan putri menyeretku melalui jalan-jalan tersembunyi di Istana. Dengan lincah, ia menghindari papasan dengan praja-praja kerajaan. Ia selalu dapat memperkirakan posisi-posisi praja itu bergerak. Setelah melalui jalan-jalan tersembunyi dan lorong-lorong sempit. Akhirnya, bisa juga aku keluar dengan selamat dari keputrian. Ini tak lepas dari bantuan Hyang Putri. Aku pun menjura di hadapannya dengan sepenuh hati.
"Terima kasih Hyang putri"
"Ah! sahaya bukan Tuan Putri. Nama sahaya Dara Rengga. Sahaya hanya seorang pembantu bagi Hyang Indreswari"
Suara yang merdu membuat diriku sekejap terpana. Mana ada pesuruh yang sebening ini? Masih gadis dan sangat cantik. Apakah ia berbohong? Biar kutanyakan sekali lagi.
"Maaf, betulkah itu Hyang Putri?"
"Ah! kamu ini lucu, Jangan panggil lagi Tuan Putri! Panggil saja Rengga. Lagipula mana ada anak Tuan Kertarajasa Jayawardhana yang bergelar Dara. Hanya ada Dyah"
Dengan penjelasan itu, aku segera percaya.
"Wah, sahaya betul-betul tidak sadar, pelayan saja sedemikian cantiknya begini apalagi putrinya"
"Maka dari itu Tuan ini, tak diperbolehkan memasuki keputrian secara sembrono. Hanya raja dan para dayang yang diperbolehkan"
"Tapi, bolehkah sahaya menemui Hyang Putri?"
"Tidak boleh"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan di Malam Hari✔
Historická literatura[Lengkap] [Revisi] [SELESAI] Di tengah hujan, lelaki itu menjadi pahlawan menggerakkan semua pasukan. Darah dan erangan musuh menyatu menjadi kalimat yang sukar diceritakan. Layaknya lakon dari pewayangan, Ia menghancurkan kedurjanaan walaupun darah...