Suasana ramai sekali di kutaraja Tanjungpuri, lebih ramai daripada desa Maanyan. Orang-orang tidak hanya melakukan perburuan untuk mengisi kantong perut mereka namun ada beberapa pekerjaan lain seperti bertani, membuat senjata, membuat gerabah, dan juga berdagang.
Aku memasuki Tanjungpuri melalui jalur darat yang berbukit. Saat perjalanan, aku bertemu dengan seorang pedagang dari desa yang menjualkan dagangannya berupa hasil tani. Hasil tani yang ia jual ialah ubi yang sangat besar sekali. Aku saja sampai tercengang. Belum pernah aku menemuinya di daratan Jawa. Melihat ia sedikit kewalahan mengangkut keranjang di punggungnya, segera aku membantunya. Dan ia menawarkan untuk mempekerjakanku sebagai budak pengangkut barang dagangannya. Aku pun iya-iya saja. Aji mumpung sembari menyusup ke Tanjungpuri. Mulai hari itulah aku menjalani lakon sebagai pedagang untuk memuluskan jalanku menyelidiki pembunuh Numa sesuai dengan petunjuk Takau.
Beberapa hari ini, lapak yang kami gelar di pasar Tanjungpuri terbilang sepi. Maka aku minta izin pada majikanku untuk berkeliling kutaraja sembari menawarkan dagangan. Majikanku yang bernama Nirwan itu memperbolehkan.
Nirwan memang majikan yang sangat ramah. Bahkan ia mempersilahkan budaknya ini, serumah dengannya. Makan juga aku disuguhkan setiap harinya. Sebenarnya, bagiku tak perlu, namun kebajikan hendaknya tidak ditolak sesuai dengan ajaran Mahaguru Swarna. Maka untuk membalasnya, aku pun lebih giat berbakti pada majikanku. Bahkan sekalipun mengurus huma.
Hingga suatu pagi, ia memanggilku untuk berbicara empat mata di dangau.
"Prapanca, sebenarnya kau ini bukan orang Tanjungpuri kan?" tanyanya.
"Iya tuan, sahaya merupakan pendatang dari desa terpelosok di kaki gunung. Sahaya hanya sebatang kara di sana. Jadi sahaya putuskan untuk merantau ke kutaraja. Mencari penghidupan yang lebih layak"
"Sahaya ini telah tua Prapanca. Dulu, hendak sekali sahaya mempunyai seorang putera. Namun yang dikarunia oleh Hyang Dewa hanya tiga anak perempuan. Dan ketiga-tiganya telah kawin dengan orang kutaraja. Mereka meninggalkan Sahaya sendiri di sini. Istri sahaya telah wafat beberapa tahun yang lalu. Maka dari itu, keberadaanmu di desa ini sedikit mengobati rasa sepi sahaya. Dan membantu sahaya dalam mengelola huma ini"
"Sahaya yang harusnya berterima kasih Tuan. Dengan Tuan memperkerjakan sahaya. Sahaya dapat hidup dengan layak di Tanjungpuri"
"Prapanca, sahaya hendak mengangkatmu sebagai anak, bisakan?"
"Tuan, sahaya ini hanya seorang budak. Tidak mungkin, Tuan"
"Tidak, tidak, sahaya tidak pernah menganggapmu sebagai budak atau orang lain. Namun sebagai anak yang sahaya impikan. Seorang putera. Maka dari itu hendaknya sahaya ingin kau mewarisi tanah ini," ucapnya dengan sungguh-sungguh. Aku terperanjat. Lalu aku memikirkan dengan matang-matang. Masih ada yang lebih berhak akan tanah tersebut.
"Tuan, sahaya tidak berani. Berikan saja tanah Tuan pada ketiga anak perempuan Tuan. Sahaya tidak berani Tuan. Dianggap anak saja sahaya sudah merasa terhormat. Tidak lebih tuan"
"Baiklah. Sahaya tidak mampu memaksa kehendakmu. Tapi mulai sekarang jangan kau panggil aku tuanmu. Panggil saja Bapa!"
"Baik Tuan. Maksud saya Bapak"
Dengan izin Bapak, aku melenggang dengan bebas menuju tempat-tempat yang sekiranya dapat memberikan informasi. Aku pun mengingat tentang keris lantang. Dan lekas aku menuju tempat pandai besi. Disanalah aku ingin memastikan adakah keris yang sama dengan keris lantang. Aku pun memasuki gubuk pandai besi satu-satunya di pasar.
"Tuan, maaf menganggu pekerjaan Anda. Kedatangan sahaya disini, ingin melihat-lihat hasil yang Tuan buat," ucapku.
"Barang ini dijual, bukan hiasan untuk diliat," ketus sang pandai besi.
"Bolehkah sahaya tahu, berapa harga satu senjata?"
"20 kepeng. Bisa kau tukar dengan beras 1 belek," ia masih menjawab dengan ketus.
"Baik, sahaya ingin membelinya. Maka dari itu sahaya ingin melihat-lihatnya dulu. Bolehkan?" ucapku dengan ramah. Ia hanya mengangguk. Orang ini, ada apa dengan masalah hidupnya? Tersenyum tidak. Marah-marah terus. Sumbu pendek!
Aku pun lekas menelisik setiap senjata yang pandai besi ini buat. Kualitasnya hampir setara dengan buatan empu-empu dari tanah Jawa. Lumayan untuk kerajaan kecil seperti Tanjungpuri. Setelah beberapa lama, memang benar tidak ada yang persis dengan keris lantang. Keris lantang memiliki ciri-ciri yang berulir tujuh dengan gagang dari kayu jati.
"Tuan!" panggilku yang membuat kepalanya mendongak, "Adakah Tuan pernah membuat keris ini dengan uliran tujuh dan bergagang kayu jati?"
"Tidak pernah," ucapnya dengan wajah datar.
"Betul Tuan?"
"Kau ini jadi beli atau tidak?" bentaknya naik pitam.
"Jadi Tuan" aku bersandiwara mengecek tas kecilku seperti orang kehilangan uang.
"Maaf Tuan. Sepertinya uang sahaya telah dicuri, hehe"
Sang pandai besi tiba-tiba menghempaskan senjata yang baru saja ia buat ke tanah. Aku terkejut. Dan lekas kabur dari gubuk pandai besi tersebut dengan terbirit-birit. Terlihat dari belakang, sang pandai besi mengacungkan senjatanya dengan gaya mengancam. Untung saja ia tidak meneruskan pengejaran. Kalau terjadi kan bisa gawat.
Lalu, penyelidikanku ku lanjutkan menuju pelosok-pelosok pasar. Aku memerhatikan penjual-penjual ikan. Tidak ada hubungannya. Jadi aku menawarkan ubiku kepadanya. Ia pun menyetujui, dan aku memberitahunya agar nanti mampir ke lapak Bapa. Maka penyelidikan kuteruskan ke arah penjual sayur-sayuran. Seorang perempuan menjajakan beberapa ikat sulur-sulur berwarna merah. Dan aku tawarkan ia dengan ubi. Dia menolaknya karena jualannya pun saat ini tidak terlalu laku. Lalu ku ajak untuk barter. Ia menyetujui asalkan dua ikat saja sama dengan satu ubi. Aku menyetujuinya hanya untuk satu ikat saja. Aku pun menyuruhnya untuk mampir juga ke lapak.
Setelah berkeliling pasar, tak ada satupun petunjuk untuk membongkar pembunuhan itu. Maka aku menuju, ke arah istana. Istana yang berupa rumah panggung. Khas sekali dengan orang-orang Malayu. Istana itu dipagari dengan kayu-kayu besi. Ulin kata orang Maanyan menyebutnya. Aku pun memasuki lingkungan istana namun seorang penjaga menghentikan langkahku.
"Hendak kemana kau? Tanah ini hanya boleh diinjak oleh bangsawan-bangsawan Tanjungpuri dan praja-prajanya"
"Sahaya tidak masuk Tuan, Cuma mau izin melihat dari dekat saja"
"Baik," Aku pun memasukinya dengan santai namun sebuah tombak segera menghentikan langkahku.
"Kan tadi boleh?" tanyaku dengan muka kesal.
"Kau mau menipuku ya! Memasuki dan melihat lebih dekat sama saja!"
Sekonyong-konyong sekompi pasukan Tanjungpuri menuju istana. Sang penjaga itu pun segera menjauhkanku dari jalan masuk dengan kasar. Maka sejurus kemudian, pasukan besar itu memenuhi jalur masuk. Aku pun menatap betapa gagahnya pasukan Tanjungpuri ini. Pasukan ini dipimpin oleh seorang pria besar hitam. Ia membawa perisai dan pedang. Aku melihat wajahnya ketika berpapasan. Kami saling menatap sekilas. Lalu berlalulah pasukan ke dalam lingkungan istana yang luas. Hingga menghilang dari pandangan.
Aku menyadari satu hal bahwa pemimpin pasukan itu....sangat kukenali wajahnya. Tapi siapa ya?
Banjarbaru, 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan di Malam Hari✔
Historical Fiction[Lengkap] [Revisi] [SELESAI] Di tengah hujan, lelaki itu menjadi pahlawan menggerakkan semua pasukan. Darah dan erangan musuh menyatu menjadi kalimat yang sukar diceritakan. Layaknya lakon dari pewayangan, Ia menghancurkan kedurjanaan walaupun darah...