Dari kabut raksasa utara yang menghancurkan kapal majapahit tak bersisa, raksasa bertubuh merah yang menghancurkan segalanya, dan hantu air yang berusaha menenggelamkan apapun di atas air, serta kini sepasang indung dan anak bukan manusia berusaha menggoda dan membunuhku perlahan-lahan menjadi sebuah rangkaian-rangkaian kemalangan setelah berada di tanah Kala Mantana. Atas angin betul-betul menolak keberadaanku. Salah apakah aku?
Sejurus berlalu, aku tiba di tempat sama jua. Usahaku menjauh dari gubuk terkutuk itu sia-sia. Seperti menegakkan benang yang basah. Akhirnya aku putuskan untuk berhenti di wilayah yang kiranya dari pandangan tak terlihat lagi penampakan gubuk tersebut. Berdiam di sana hingga pagi menjelang.
Belum juga pagi tiba, suara tangisan menggema di belantara. Suara yang sangat dikenal oleh telingaku. Sima. Sehabis itu suara anjing-anjing hutan menggonggong sangat keras seperti sangkakala dibunyikan di telinga namun wujudnya nihil. Hatiku semakin menciut. Udara berubah-ubah kadang dingin lalu nanti menjadi panas. Hal itu makin membuat badan tak karuan.
Aku berkeras untuk bertahan. Di tempat yang tak ada ujungnya ini, aku layaknya burung kecil yang terkurung dalam sangkar. Yang awalnya liar lama kelamaan menjadi burung yang jinak. Begitulah demikian, raga dan hati penat. Seakan timbul sebuah kepasrahan. Nyala keberanian mati ditekan oleh rasa takut dan ketidakpastian.
Seekor kucing berwarna merah mendekatiku dari kejauhan. Matanya menyala dalam kegelapan. Layaknya mencari mangsa ia memperhatikanku dengan seksama. Ketika pandangan menghindar, sekonyong-konyong kucing itu hadir di depan mata. Beralih secepat kilat hanya dalam satu kedipan.
Dan dalam ketakutan semakin luar biasa. Sebuah rabaan tersentuh di punggung. Terasa dingin dan tajam. Aku berharap itu hanya duri-duri rotan. Tapi tidak! Itu adalah sesosok gadis kecil yang kukenal baru-baru ini. Sima. Ia telah menggelayut di punggung.
"Mama," panggilnya.
"Aku bukan Emakmu, Sona! Tak pernah aku melahirkanmu," teriakku.
"Mama!" ucapnya semakin keras.
Aku berusaha melepaskan dari jeratan Sima namun ragapan-nya lebih merekat daripada getah-getah pohon manapun. Hingga aku sadar, giginya telah menancap di belikat. Pantas saja! segera aku menjerit dan lekas melepas bocah setan itu dengan sekuat tenaga hingga lepas.
"Sudah kubilang aku bukan Emakmu! Lagipula itu bukan tetek! Sana nyusu sama Emakmu"
"Mama...," ucapnya dengan sedih. Yang membuat hati seakan dicekik rasa kasihan. Tapi untuk hari ini biarkanlah aku menghilangkan rasa itu dalam diriku. Untuk menyelamatkan seberkas jiwaku yang berharga ini.
Aku berlari sekencang-kencangnya tak peduli dengan tenaga tersisa ataupun keringat yang telah mengucur dengan derasnya. Yang terpenting tak menemui sosok-sosok bukan manusia itu sudah menjadi berkat keberuntungan yang tak terkira. Sayangnya di depan, gerombolan raksasa merah telah menghadang. Tak terperikan hati ketika melihatnya. Semua perasaan bercampur aduk, menjadi satu suara berbunyi. Lari!!!!
Entah datang darimana sepasukan batara kala ini. Yang jelas tak ada jalan untuk kabur. Hanya bisa terpaku di bawah pohon besar. Lalu menunggu mereka menginjak tubuh kecil ini menjadi sebuah onggokan daging yang tercerai-berai.
Kemudian, sebuah bola api berkeliaran di langit. Apa lagi ini? Bola api itu menjamah tubuh-tubuh raksasa itu. Semua menjerit dengan keras menggema dalam sunyinya hutan belantara. Seketika satu persatu kepala-kepala berjatuhan dari badannya. Darah menyemburat dari atas batang leher. Wilayah itu segera dihujani darah. Benar-benar hujan darah yang amis. Aku bahkan harus memuntahkan isi perutku karena tak tahan. Segera setelah selesai dengan mual, tanpa memerhatikan kejadian yang baru saja terjadi, aku lekas kabur.
Bagai seorang tua yang pikun, ketika memandang gubuk yang telah tak terhitung berapa kali kulalui. Aku linlung. Dan hal yang paling tidak kuinginkan datang. Sri keluar dari gubuknya sembari membawa Sima dengan mulutnya yang kotor dengan warna merah. Darah milikku.
"Mas, mau lari kemana? Bukankah Mas telah berjanji," tukasnya.
"Kau bukan manusia!"
"Aku....Mas....sebenarnya jujur aku adalah..." dengan terputus-putus ia menjawab.
"Takau....," Sebuah suara nyaring dari balik kegelapan menyahut dan menjawab Sri.
Kegelapan menjadi sebuah pagi yang terang ketika sebuah gumpalan api membelah langit. Sangat cepat dan tanpa ampun menghambur sepasang ibu dan anak di depanku. Sri.... Lirihku. Tak tau kenapa masih saja aku mempunyai perasaan iba terhadapnya.
"Takau, Takau, Takau..," ucap gumpalan api mendendam.
Hantaman itu tak mengenai sasaran dengan tepat. Tapi melukai sang anak Sima. Sedangkan Sri yang disebut gumpalan api itu sebagai Takau masih bebas. Lalu Sri segera melarikan diri dan berubah menjadi kucing merah. Sang gumpalan api itu tak mungkin melepaskan musuhnya dengan mudah. Ia melempar benda berbentuk tombak. Sebuah tombak api dengan deras meluncur dan menusuk sang kucing merah. Kucing merah mengerang. Sebuah pertempuran yang menakjubkan. Layaknya pertarungan di Kurusetra.
Gumpalan api padam menampakkan pria yang kekar dengan ciri yang sangat kukenal, berjambul bulu burung yang khas. Dialah sang ksatria dari utara. Aku hanya keheranan dan menatap kagum dari belakang. Sang ksatria menghampiri kucing merah dengan sebuah pedang yang tergenggam erat di tangan. Sesudahnya tiba di hadapan, kucing merah sekonyong-konyong berubah menjadi seorang pria tampan berdaun telinga kucing. Sang ksatria menghunus pedangnya mengarah ke langit. Pria yang tertusuk tombak itu diam tak berdaya dan hanya bisa melenguh layaknya kucing kesakitan.
"Aku kalah...., lakukanlah! Ambil jiwaku...," ucap sang Takau.
Tanpa ada halangan berarti dan diperbolehkan sang empunya nyawa, pedang tebal dan besar itu bergerak tanpa halangan ke bawah...
Banjarbaru, 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan di Malam Hari✔
Historical Fiction[Lengkap] [Revisi] [SELESAI] Di tengah hujan, lelaki itu menjadi pahlawan menggerakkan semua pasukan. Darah dan erangan musuh menyatu menjadi kalimat yang sukar diceritakan. Layaknya lakon dari pewayangan, Ia menghancurkan kedurjanaan walaupun darah...