Chapter 1

164 9 0
                                    

Pelayaran perdana Nan Serunai ke mancanegara terlaksana dengan lancar tanpa halangan apapun. Orang Jawa seakan heran melihat kedatangan kapal-kapal Jung punya Majapahit. Mereka kira, kapal-kapal tersebut milik pelaut Jawa yang mancal mengelilingi Nusantara. Tapi, setelah penghuni kapal turun menginjak pasir putih itu, mereka terperanjat karena bukan sebangsanya yang mendarat di tanah mereka.

Ribut dan meriaklah orang-orang di pesisir utara mengerubuni kapal yang baru datang. Orang-orang menanyakan darimana kapal ini berasal? Orang yang berasal Tanjungpuri dengan gagah dan lantang menyebut nama besar kerajaannya.

“Tanjungpuri!!” tapi karena suasana ramai, alhasil orang Jawa malah menyebutnya sebagai Tanjungpura.

Rombongan pendatang dari utara ini segera diketahui oleh pihak kerajaan Majapahit. Dan membuat Bhre disana mengundangnya untuk dijamu di rumahnya. Maka dengan iringan orang Jawa yang penasaran mereka berangkat sesuai dengan perintah Bhre.

Dalam perjamuan tersebut, Maharaja Angkin diberikan jamuan yang terhormat seperti bangsawan Majapahit. Tak lupa sekapur sirih untuk pembuka percakapan itu. Maharaja Angkin pun bercakap-cakap mengenai keagungan kerajaan di utara. Bhre di wilayah tersebut merasa terkagum-kagum dan akan mewartakan ini pada istana. Dan Bhre ini berniat untuk mengantar rombongan mengunjungi istana di Trowulan. Namun, aku berkeras untuk menolak berkunjung ke istana melainkan hanya memerintahkan agar Bhre tersebut mengizinkan kapal Majapahit berlabuh di kerajaan Nan Serunai. Sang Bhre mengiyakan dan akan mengirim utusan ke istana di Trowulan untuk mengabarkan hal itu.

Maka berhari-hari kami dijamu di rumah Bhre dengan pelayanan yang memuaskan. Aku saja baru kali ini merasakannya. Bhre ini pun menanyakan gelar Raja, namun Raja menjawab ia tidak bergelar. Dan Bhre sangat menyayangkan itu.

“Baginda, Raja yang agung dari utara setidaknya Tuan mempunyai gelar untuk baginda dan anak cucunya. Raja pertama kami diberi gelar raden dengan nama termasyhur Raden Wijaya. Baginda, jikalau sahaya berkenan bolehkah sahaya menyebut baginda sebagai Raden Japutra Layar. Sebab musababnya tentu karena baginda betul-betul raja utara yang berani menginjak tanah Jawa. Putra pelaut dan pelayar. Bahkan kami sekalipun, merasa takut untuk menginjak tanah tuan yang diliputi kabut itu”

“Sahaya merasa terhormat, Tuan”

“Maaf apabila sahaya yang bukan Raja ini, memberi gelar pada Raja. Jika Baginda tidak berkenan bolehlah baginda mentahkan gelar tersebut"

“Hahahaha, Tuan, menurut sahaya gelar tersebut sangat bagus, apalah arti nama Tuan”

***

Hari berlalu secepat angin, akhirnya Angkin yang dikenal oleh rakyat Majapahit dengan nama Raden Japutra Layar kembali ke tanahnya. Sedangkan dengar-dengar, kapal yang dinaiki Tanjungpuri masih meneruskan perjalanan ke Dharmasraya dan Tumasik. Menemui orang-orang Malayu. Maka dengan berat hati sebelum mereka berangkat, aku berpisah dengan mereka. Angkin sekali lagi membujukku untuk kembali ke tanah Kala Mantana. Namun ketetapanku sudah bulat. Aku tidak akan menjadi peragu lagi. Dengan tegas aku ucapkan tidak pada kakaku itu. Ia hanya mengangguk memahami dan dengan mata mengembang ia pegang bahuku dan mengucapkan terima kasih!

Tak hanya ucapan terima kasih banyak kepeng logam hasil perdagangan ia berikan kepadaku. Lalu aku diberikannya sebuah mandau sebagai cenderamata. Aku juga memberikan buah tangan untuknya. Sebuah buntalan yang berisikan pasir putih bercampur kelomang dan kepiting.

“Berikan ini pada Numa!” kataku, ia hanya mengangguk dan ketika ayam berkokok mereka berangkat ke tanah mereka kembali. Aku menatap ketika kapal itu menghilang di garis cakrawala.

Selamat tinggal saudara dari utara!

***

Kerinduan yang menggebu-gebu berjumpa dengan belahan hati membuatku nekat pergi ke Trowulan. Namun, penjagaan di istana lebih ketat daripada beberapa tahun lalu.

Sekarang, merupakan tahun  1241 saka sementara aku berangkat pada umur sebelas sekitar tahun 1233 saka. Maka umurku sekarang adalah 19 tahun. Aku pun tak menyangka bahwa diriku ternyata masih sangat muda. Kabar menggembirakan itu membuatku tambah bersemangat untuk menyongsong hari depan.

Entah beberapa pemberontakan yang terjadi pada masa kepimpinan Sri Jayanegara hingga membuat istana penjagaannya semakin rapat. Pengap, tak ada napas sekalipun untuk berkeliaran seperti masa lalu. Dan aku melihat diriku. Sudah sebesar ini sangat mudah untuk ketahuan bila menyusup ke keputrian. Maka jalan terbaik adalah memanfaatkan jasa telik sandi.

Dapatlah aku bertemu dengan seorang pelayan kerajaan yang kerjaannya membersihkan istana kerajaan. Aku menariknya ke tempat yang aman untuk berbicara.

   “Maaf, Tuan, jangan bunuh sahaya!” teriaknya namun segera kubekap mulutnya.

   “Aku akan membunuhmu!” bisikku.

   “mmm,” ia hanya menggeleng.

“Ikuti aku!”

Aku pun membawanya ke gubukku di kuta Hujung Galuh. Setelah dirasa aman, bekapan lekas kulepaskan. Ia pun megap-megap bagai ikan ditaruh di darat. Lalu aku menghunuskan Mandau ke lehernya.

“Jangan berteriak, mata pedang ini tajam!”

“hhh,” ia menggeleng.

“Siapa namamu?”

“Urang”

“Pekerjaanmu di istana?”

“Hanya pembersih halaman”

“Bagus,” ucapku sembari menurunkan Mandau, “Kenapa kau bekerja pada istana? Karena tak ada uang?” tanyaku.

“Betul Tuan, ibu sahaya sakit-sakitan. Seorang Tabib tak mau menyembuhkan karena kami tak dapat membayar”

“Hendakkah kau uang?”

“Iya, iya, iya Tuan,” ucapnya berulang kali.

“Banyak kali kau iyanya, hahaha. Kau akan dapat uang bilamana dapat mencari warta di keputrian tentang Dara Rengga”

“Dara Rengga? Sahaya tidak kenal nama itu”

“Makanya aku suruh kau cari warta tentang keadaanya di keputrian, dasar kepala urang!”

“Baik Tuan!”

“Kenapa masih disini? Jalankan tugasmu. Jadi telik sandiku”

“Baik Tuan!!” tukasnya seraya keluar dengan membanting pintu. Baru kali ini majikan dibentak. Aku pun menertawakan kejadian itu. Dan aku menatap ke jendela. Pagi masih terang, aku akan pergi ke laut untuk berenang!

Banjarbaru, 2020

Hujan di Malam Hari✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang