Suatu pagi menjadi ramai seketika, banyak orang-orang mulai berkumpul di halaman rumah Angkin. Mereka telah merubung halaman tersebut dengan membawa peralatan-peralatan bertani dan perkakas menangkap ikan. Kaum lelaki selalu hadir dengan petantang-petenteng mandau di samping pinggangnya. Aku pun penasaran dan lantas menggabungkan diri dalam kelompok besar itu.
“Ada apa ribut-ribut pagi ini?” tanyaku kepada salah satu warga.
“Ada aruh besar, salah satu pangkalima telah mangkat,” jawabnya. Aku hanya mengkokohkan saja. Dan Angkin telah berdiri di hadapan para warga. Ia mengatur warganya agar membagi tugas untuk memperñsiapkan aruh pada malam ini. Yang perempuan akan membantu dalam mempersiapkan panganan, sedangkan yang lelaki akan mempersiapkan hiasan-hiasan serta alat-alat persembahan yang dibutuhkan oleh Balian. Setelah mereka paham dengan tugas mereka. Gerombolan di depan berpencar menjadi kelompok-kelompok kecil. Dan mereka membagi tugas lagi. Aku pun masuk ke dalam rumah Angkin untuk membantunya.
Di dalam, aku bertemu dengan pamakal (kepala desa) di desa Maanyan ini. Ia telah berumur. Badannya agak kurus dan ringkih. Namun senyumannya tak pernah luntur untuk menyambut tamu yang akan merubah rumahnya ini menjadi tempat penghormatan ruh-ruh orang yang telah mendahului mereka.
Tak disangka, ia memanggilku. Aku pun menghampirinya. Dia hanya berucap :
“Bagaimana tinggal disini? Merasa nyaman?”
“Tuan, sangat senang sahaya tinggal di tengah-tengah rakyat Maanyan. Sahaya berterima kasih telah diterima di tempat ini”
“Jangan sungkan. Kami telah menganggap kau sebagai saudara. Aku hanya berpesan untuk menjaga tanah ini”
“Saya selalu sedia Tuan”
“Bantulah saudara-saudaramu itu,” ucapnya dengan diakhiri oleh batuk. Nampaknya pamakal menderita sakit berkepanjangan. Aku hanya mengangguk menuruti semua permintaannya. Melihat Angkin mengikat janur di tiang-tiang. Aku pun mengikutinya. Baru pertama kali ini aku ikut dalam perayaan besar Maanyan ini.
***
Malam pun tiba, semarak prosesi Aruh itu sudah meninggi. Orang-orang telah menyiapkan semua peralatan adat untuk menghantarkan pria yang dianggap sebagai pelindung maanyan ini. Tubuhnya telah ditimbun mayat sebuah tumpukan kayu. Dan salah seorang menyulut api. Dengan cekatan api menjalar ke segala sisi. Membakar semua tumpukan kayu merubahnya menjadi kelap-kelip terang yang menyiram semua muka penuh hormat malam itu. Inilah prosesi yang disebut Ijambe. Hampir sama dengan prosesi pemakaman orang-orang hindu Syiwa di Jawa.
Dalam kelamnya malam, api berkobar menerangi seluruh desa. Tak ada satupun yang mengurung diri di rumah. Semuanya antusias menengok semaraknya prosesi pemakaman yang jarang dilakukan. Aku pun menengok ke arah api yang berkobar. Ini merupakan pengalaman keduaku menyaksikan secara langsung bagaimana prosesi pemakaman orang-orang hindu. Yang pertama ialah pemakaman Kertarajasa. Sang pembangun dinasti di hutan tarik itu. Dimana kelak berdiri sebuah kerajaan besar bernama Majapahit.
Setelah api mulai menyurut, Balian mulai berkomat-kamit membaca mantra. Semua orang khidmat mendengarkannya. Suaranya yang agak serak itu meliputi seluruh pasang telinga yang merubungi lapangan luas ini. Aku pun menghormati dan mengucapkan doa-doa bagi yang telah mangkat berganti alam dengan caraku sendiri.
Seketika mantra berhenti, acara dilanjutkan dengan bernyanyi-nyanyi. Semua orang dengan riang menyanyikan lagu-lagu rohani. Aku hanya menyaksikan. Dan sesekali aku mengikuti bait-bait yang mereka ucapkan. Lalu nyanyian berubah menjadi tarian. Kalau yang ini aku tidak dapat menolak untuk diam. Dengan iringan tabuhan dan tiupan serunai, kami menari menggoyangkan badan. Suasana menjadi riang. Tak ada raut kesedihan. Mereka mengantarkan ruh-ruh itu dengan gembira. Bahwa menganggap setelah kematian hanya berganti alam. Tak ada samsara. Hanya ada nirwana yang ada di baliknya.
Keesokan hari, Aruh masih berlanjut. Orang mulai mengadakan sebuah tarian yang dinamakan giring-giring. Secara silih berganti mereka menggerakkan badan. Aku pun coba memahami gerakannya dan sedikit demi sedikit mengingat di kepala. Hingga jatuh pada giliranku untuk menari. Aku pun ikut menari walaupun dengan gerakan yang tidak seluwes mereka. Tapi lumayan untuk pemula sepertiku. Lama kelamaan, pandai juga aku melakukan tarian tersebut.
Riuh perayaan hingga malam belum juga surut. Semua orang kini duduk berkumpul di lapangan. Memandang Pamakal bertutur. Dalam keheningan itu, ia berucap :
“Saudara-saudara, kita telah sampai pada acara bertutur cerita, semua orang boleh bercerita sesuka hatinya,” tuturnya. Beliau pun mengawali acara tutur cerita itu dengan menceritakan mengenai leluhur Maanyan. Beginilah ceritanya :
Leluhur Maanyan dulunya ialah pendatang dari negeri yang nun jauh. Dengan perahu bercadik mereka mengembara ke seantero dunia. Mencari daratan yang cocok untuk bermukim. Dalam pencarian itu, mereka telah singgah ke daratan-daratan yang beraneka rupa. Dan akhirnya dipilihlah tanah Kala Mantana ini sebagai tanah untuk mendirikan dan melahirkan keturunan. Mereka menyebut wilayah ini dengan nama Tanah Hujung. Para pendahulunya juga bekerjasama dengan orang-orang dari Sriwijaya. Seorang leluhur menyebutkan nama Lua. Ia adalah leluhur yang berhasil membawa orang-orang Maanyan mencapai kemakmuran dengan perdagangannya.
Semua cerita pamakal membuat orang-orang diam menekur. Memahami setiap cerita dan pengajaran yang diberikan. Sama seperti aku, yang berupaya memahami perangai, tingkah, budaya, adat, dan serta apapun yang ada di desa Maanyan. Semuanya menurutku telah teratur dengan baik. Kukira negeri yang kujejak ini tak memiliki agama yang kuat. Sehingga dapat dengan mudah dimasuki oleh agama baru seperti Buddha. Tapi jika dilihat dari ritual keagamaan yang ada. Rupanya Kaharingan susah dilepaskan dari nilai-nilai masyarakat sendiri. Sehingga kuputuskan untuk tidak menyebarkan Budhha. Toh, di Tanjung sana, telah banyak orang menganutnya.
Setelah pamakal menyelesaikan ceritanya, tak ada yang berniat untuk maju membacakan cerita. Hatiku tergerak. Dengan berani aku mengangkat tangan. Semua orang berseru ketika aku maju ke tengah lapangan. Dengan tatapan serius, mereka seperti penasaran, cerita yang dibawakan oleh pemuda asing satu-satunya di kelompok ini.
Aku pun mengisahkan dengan fasih bagaimana keadaan warga jawa. Budayanya, perangainya, serta kerajaan yang ada di tanah kelahiranku. Yang bernama Majapahit. Dan tidak lupa juga menceritakan keindahan pulau jawa.
Setiap kata-kataku sepertinya diresapi para warga dengan khidmat. Ada yang kulihat kagum. Dan ada juga yang tertarik. Termasuk anak-anak. Dan kulihat seorang perempuan yang kukenal duduk paling depan mendengarkan ceritaku. Siapa lagi kalau bukan Numa. Kuingat ia sangat ingin melihat rupa pantai dan bermain disana. Ia selalu mengutarakan itu dengan sungguh-sungguh. Namun ciut ketika terdengar oleh ayahnya. Aku hanya berjanji nantinya dapat membawanya ke tempat tersebut. Tempat yang menyimpan sedikit kenangan duka. Kemalangan yang tak henti-hentinya bagiku.
Aku pun gembira bila ceritaku diterima. Orang-orang yang sangat menghargai sastra. Hingga aku berpikir lebih baik tinggal di tempat ini. Daripada tanah kelahiran yang tidak nyaman untuk dihidupi. Disini orang-orang lebih menghargaiku. Bahkan pujangga sepertiku disini berharga. Bukan hanya cerita tapi tari-tarian semua orang boleh melakukannya. Nyanyian pun. Indahnya Maanyan, sastraloka dari seberang utara.
Banjarbaru, 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan di Malam Hari✔
Historische Romane[Lengkap] [Revisi] [SELESAI] Di tengah hujan, lelaki itu menjadi pahlawan menggerakkan semua pasukan. Darah dan erangan musuh menyatu menjadi kalimat yang sukar diceritakan. Layaknya lakon dari pewayangan, Ia menghancurkan kedurjanaan walaupun darah...