Dalam temaram rembulan, bunyi gemerisik sayup-sayup terdengar di sekitar semak belukar. Seorang pria di sampingku memberi aba-aba untuk memelankan langkah kaki. Namun itu suatu kemusykilan bagiku. Karena kurang waspada, terinjak juga ranting kering dan menciptakan bunyi bergemeletak agak nyaring. Mendengar gemeletak yang sedikit keras itu, bunyi gemelisik di semak-semak tersenyap. Aku pun berhenti dan mematung. Sesuai dengan aba-aba pria di sampingku ini yang tak lain adalah Angkin. Sedangkan di sebelah kiri agak jauh ada Urung dan sebelah kanan ada Rakun yang sangat siaga dengan tombaknya.
Bunyi gemelisik dari semak muncul kembali, dan kami mulai menyeluduk lagi. Kali ini lebih awas daripada sebelumnya. Setindak demi setindak dimana kaki ini melangkah kucermati. Sedangkan Urung dan Rakun sangat jago sekali mengendap-endap. Tampak hal ini telah galib mereka lakukan setiap malamnya. Gigitan nyamuk dan serangga tak mampu menggoyahkan mereka. Dan dengan satu lembingan tombak yang membelah angin lekas rintihan seekor celeng terdengar di malam yang jauh dari hiruk-pikuk suara manusia.
Kami bergegas menghampiri mangsa yang telah tergeletak dan merengek tak berdaya. Angkin segera mencabut tombaknya dan seketika hewan itu terdiam tak bernyawa. Dengan tali pilinan mereka mengikat celeng itu. Angkin pun menyuruh Urung dan Rakun untuk membawanya ke desa. Sedangkan Aku dan Angkin tetap berdiam.
"Nadendra, pernahkah kau berburu?"
"Tidak pernah Tuan. Baru kali ini. Semenjak kecil aku hanya duduk di pemondokan"
"Biar ku ajarkan kau bagaimana laki-laki Maanyan berburu," ucapnya dengan tegas.
Ia mengajakku berjalan-jalan mencari hewan buruan. Sembari berjalan ia berbisik-bisik menerangkan perihal cara berburu. Jelasnya dalam berburu diperlukan kesabaran dan ketangkasan. Tombak atau sumpit sebagai senjata untuk melukai buruan tidak boleh di sia-siakan. Satu kali saja lepas dari bidikan maka gagallah perburuan tersebut. Dalam mengenali hewan buruan pun perlu ketelitian pendengaran. Hewan buruan akan membunyikan suara yang khas. Sampai situ, ia menahan laju jalanku. Bersikap siaga. Aku menurutinya.
"Dengarkan!" bisiknya. Aku pun turut menegangkan telinga. Menelisik bunyi samar-samar dari arah rerimbunan ilalang. Yang kudengar hanya gemelisik daun-daunan kering. Hampir sama dengan celeng yang baru ditangkap.
"Menjangan," ucapnya.
Ia pun menyiapkan sumpit panjang dan mengarahkan ke sumber bunyi berisik. Dengan tenang ia mulai mendekati sedikit demi sedikit buruannya. Aku hanya melihat dari kejauhan. Takut akan membuyarkan buruan Angkin. Tiba-tiba terdengar lenguhan dari semak-semak. Seekor menjangan segera kabur dari tempatnya. Kami pun mengejarnya. Angkin menyiapkan tombak. Aku pun juga. Sementara lari menjangan semakin terseok-seok. Racun mulai menjalari tubuhnya. Dan angkin dengan cepatnya melempar tombak dari kejauhan. Aku ikut juga. Hasilnya tombak Angkin mengenai sasaran lempar. Sedangkan punyaku tak tau rimbanya kemana.
Kami mengejar menjangan yang tewas seketika. Dan menjeratnya dengan pilinan serat-serat ijuk dari aren. Berhasilah kami malam itu mendapatkan dua buruan. Yang satu celeng dengan ukuran agak lumayan. Sedangkan yang satu lagi seekor menjangan besar.
Ketika hendak bersiap pulang, sebuah geraman datang dari kegelapan. Itu harimau. Tak mungkin hal ini aku tak bisa membedakan. Sekali aku telah di serang hewan penguasa hutan ini. Angkin tetap tenang. Ia mengambil pedang yang mereka sebut Mandau. Dengan sekali sayatan Angkin membelah kaki menjangan. Dan melemparkan pada harimau tersebut. Harimau berhenti marah dan segera berlari ke hutan. Aku pun lega.
"Dia sama-sama makhluk seperti kita, bahkan kami menuakannya dan mengormati," ucapnya.
"Tuan memang baik," pujiku. Ia hanya tertawa kecil.
"Tidak ini memang adat kami. Mari kita pulang. Nampaknya pagi akan tiba"
***
Sesampai di Maanyan, pagi telah menjelang. Orang-orang mulai bekerja mencari penghidupan hari ini. Para wanita-wanita akan menjarah buah-buahan di hutan. Anak-anak dengan sehelai cawat saja akan bersenang-senang di sungai sembari menombak ikan dan menyumpitnya. Aku pun tertarik. Dan mengikuti mereka.
Aku tak tau sudah berapa umurku. Yang kutau tinggiku bertambah lebih tinggi daripada Numa. Otot-otot pun sedikit kekar karena kehidupan disini lebih keras dari pemondokan. Rambut pun semakin panjang dan kugelung hingga menggimbal karena tak sering dicuci. Hanya saja aku tak berkumis semacam ayahku. Dan suaraku seperti anak-anak tak besar seperti halnya orang dewasa. Akibatnya wajahku sedikit ke perempuanan. Dan aku sadar itu akibat pengebirian yang dilakukan sebelum umur enam belas.
Bersama-sama kami bermain di sungai. Aku tahu nama-nama mereka dengan pasti. Karena bukan kali ini saja ikut bermain bersama mereka. Namun semenjak masih dalam buaian emaknya. Hingga saat ini mereka menganggap aku sebagai kakak.
Kami segera berenang-renang di sungai. Tak peduli ada buaya atau apapun. Kami tetap asyik. Sesudah puas berendam aku menjauhi mereka untuk menyumpit ikan. Dengan sampan aku menjelajahi sungai. Melihat ikan-ikan bergerak di genangan air yang bening itu. Dan juga sela-sela rumput dan bebatuan yang menjadi rumah ikan. Dengan cermat kutatap air yang mulai tenang. Benar saja! Ada seekor ikan yang bersembunyi di dekat bantaran sungai. Hanya kepalanya saja yang menongol. Dan aku arahkan sumpit dengan perlahan. Clap...Ikan tak mampu bergerak. Sumpit telah menembus badannya. Aku pun mengambil buruanku.
Setelah mendapat tangkapan ikan banyak, aku lekas mengarahkan sampan ke titik mengarah ke Desa. Saat perjalanan, aku berpapasan dengan perempuan-perempuan Maanyan tengah mandi. Aku pun izin permisi. Sedangkan mereka meluangkan jalan untukku walaupun dengan keributan khas wanita. Entah apa yang mereka rumpikan. Disana ada Numa juga. Akhir-akhir ini ia jarang berakrab-akrab denganku. Seperti ada jarak di antara kami. Aku pun tak tau mengapa? Ketika kusapa, ia memalingkan wajah. Aneh. Dan aku tak merundingkan hal itu di kepalaku. Terus mendayung sampan hingga ke berlabuh di tempat semestinya.
Banjarbaru, 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan di Malam Hari✔
Historical Fiction[Lengkap] [Revisi] [SELESAI] Di tengah hujan, lelaki itu menjadi pahlawan menggerakkan semua pasukan. Darah dan erangan musuh menyatu menjadi kalimat yang sukar diceritakan. Layaknya lakon dari pewayangan, Ia menghancurkan kedurjanaan walaupun darah...