Lagi-lagi terbaring di sebuah bilik yang tak pernah ku kunjungi. Moga-moga ini bukan ulah Takau kembali. Dan sudah ketiga kalinya aku kehilangan kesadaran di tanah utara. Beginikah nasib pendatang tanpa izin. Mungkin sebab keberangkatanku tanpa restu Ayah dan Nenenda.
Kali ini aku terbangun dengan keadaan lemas. Dan aku baru ingat belum makan hampir seminggu lamanya. Perut mengurus dan dahaga memanggil-manggil untuk diredakan. Hanya kepala yang mampu digoyangkan. Serta mata yang mampu berkeliling kesana kemari. Maka setelah memandang ke sisi bawah, didapati seorang pria tua dengan pakaian dengan corak sulur-sulur serta penutup kepala dengan jambul burung di atasnya. Pria tua ini kurus namun memiliki wajah yang teguh. Dengan mata tertutup, ia berkomat-kamit di hadapan segelas air di tangannya. Lalu merajang sebuah umbi-umbian yang mirip dengan bawang. Sedikit lebih merah daripada bawang biasa. Aku hanya memandang dengan pasrah terhadapnya. Rupanya ia juga membakar setanggi di kolong ambin tempatku berbaring.
Mulut pria tua itu berhenti, lalu lekas menghampiriku yang terlentang di sebuah ambin kayu. Ia menyuguhkan segelas air hangat yang mengepul asapnya ke hadapan mulutku. Aku pun menyambutnya tanpa curiga. Jika ia berbuat jahat terhadapku mungkin mataku tak pernah lagi melihat mayapada ini. Hanya setengah gelas yang dapat kuhabiskan. Rasanya getir. Namun ia menyodorkan kembali gelas yang belum habis itu. Aku pun menghabiskannya sesuai anjurannya. Barangkali itu merupakan jamu yang manjur bila ditandaskan.
Satu gelas ramuan rebusan tandas di perutku. Akibatnya badan mulai merasakan tenaga kembali. Dan badan memanas. Maka sejurus kemudian bulir-bulir peluh berjatuhan di dahi dan seluruh badan. Badanpun terasa nyaman. Pria tua itu pun berkomat-kamit lagi setelah melihat peluh-peluh di badanku. Mungkin bersyukur kepada tuhan. Kemudian, ia beranjak dari bilik tanpa permisi.
Jendela bilik terbuka mempersilahkan masuk cahaya surya. Yang menyirami raga sahaya dan menguapkan peluh-peluh badan. Membuatnyal terasa lebih baik dari sebelumnya. Tenaga mulai terkumpul. Namun seketika perut keroncongan. Memanggil-manggil tuannya agar lekas mengisinya. Lalu panggilan itu terdengar pada seorang gadis yang lalu di pintu kamar. Ia pun menghampiri dan mengutarakan suatu hal yang tak kupahami. Karena ia melihat yang ditanya tak berbalas. Ia menggunakan gerak tubuh. Mula-mula ia memeragakan tangannya dimasukkan mulut dan aku memahaminya. Kepalaku lekas mengangguk mengkokohkan. Ia pun tersenyum dengan riang dan lekas keluar dari bilik.
Perempuan itu sejurus kemudian masuk kembali dengan membawa daging panggang. Lalu menjumput sebagian kecil dagingnya. Lekas ia menyerahkan daging di tangan putihnya itu padaku. Lekas juga aku memakannya. Dan rasanya enak sekali. Bagai tak tahu diri, perut ingin lagi. Dan sang perempuan menjumput lagi pada daging dan menyuguhkan padaku. Tanpa ampun aku memakannya lagi. Saking laparnya sampai jari-jari kecilnya itu ikut tergigit juga. Aku pun tercekat. Dan ia malah tertawa. Aku pun nyengir tanpa rasa bersalah. Teruslah ia menyuapiku laksana induk burung memakani anaknya hingga daging ayam di tangannya habis tak bersisa.
***
Setiap pagi dan sore, pria tua seperti tabib ini merawatku dengan air rebusan bawang tersebut. Tak lupa juga, perempuan manis itu mengunjungi bilik kayu itu rutin setiap siang dan malam. Menyuapiku tanpa mengeluh. Seperti istri saja. Kalau ia istriku pun aku mau. Tapi mengingat tentang pengebirian, rasa-rasanya aku malu jika menikah. Seperti hal sia-sia. Tak berketurunan.
Lama-lama badan mulai pulih. Dan mampu berdiri kembali. Pria itu pun menyuruhku untuk sekadar berjalan-jalan di luar rumah dengan bahasa geraknya. Merasakan cahaya mentari secara langsung. Ditemani oleh seorang gadis dermawan yang kemungkinan merupakan putrinya karena dari segi umur sangat berjauhan. Dalam perjalanan itu tak mampu aku mengimbangi jalan cepat si perempuan yang memakaniku selama ini. Ia lebih lincah dan sangat periang. Berwajah manis dengan rambut tergerai sebahu. Matanya agak sipit seperti orang-orang Champa. Kulitnya pun sangat terang sehingga urat-urat hijaunya dapat diterawang. Ah seperti sepasang kekasih kami pun berjalan dengan dilihat beberapa penduduk sekitar. Mereka seperti heran melihat mahkluk baru sepertiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan di Malam Hari✔
Historical Fiction[Lengkap] [Revisi] [SELESAI] Di tengah hujan, lelaki itu menjadi pahlawan menggerakkan semua pasukan. Darah dan erangan musuh menyatu menjadi kalimat yang sukar diceritakan. Layaknya lakon dari pewayangan, Ia menghancurkan kedurjanaan walaupun darah...