Chapter 5

200 9 0
                                    

Malam! itulah pandanganku selama ini. Setiap harinya hanya malam saja dan tidak pernah pagi muncul. Entah berapa lama malam ini telah menggantung di langit-langit? Dan aku terus berjalan di suatu tempat yang sunyi. Di padang sabana yang rumputnya hitam dan semuanya hitam. Tak ada sama sekali pelita. Yang hanya ada gulita di hadapan.

Tidur pun menjadi hal yang percuma karena bangun-bangun disuguhi oleh malam lagi. Sampai kapan ini akan terjadi?

Sekonyong-konyong, hujan datang dari belakang, aku tertegun dan beranjak dari tempat berpaku. Aku kejar hujan itu. Namun hujan lari. Kami saling kejar-kejaran. Tapi saking bahagianya ada hujan di malam ini aku mengejarnya walaupun peluh merembes--membasahi seluruh badan.

Dan menyerahlah sang hujan, aku bersorak menang. Aku lekas berdiri di bawahnya. Merasakan air-air itu memukul ubun-ubunku. Rasa segar menjalar hingga kaki. Lamat-lamat entah kenapa pandanganku terasa jelas. Malam mulai luntur. Dan cahaya timbul di cakrawala. Itu pagi!!

Aku kejar pagi, berapapun jaraknya aku akan ladeni. Karena aku telah bosan dengan malam ini. Malam yang tanpa bintang dan harapan. Bukan malam seperti di Kala Mantana atau Jawa. Malam ini hanya ada kepasrahan dan juga rasa menyerah.

Sayup-sayup dari pagi terdengar sebuah nyanyian demburan ombak. Ombak yang merdu. Lalu camar berseru. Hingga suara wanita dari balik tabir pagi itu. Aku semakin bersemangat untuk mengejar pagi. Meninggalkan malam yang itu-itu saja. Pagi datanglah! buatlah aku menjadi manusia baru!

Mataku terpicing menatap laut dan langit yang biru. Malam telah sirna hanya ada pelita yang hadir. Aku terperanjat dan tertawa terbahak-bahak untuk merayakan kebebasanku dari malam.

“Aku bebas!” teriakku keras-keras.

Berlarilah aku mengitari pantai putih. Seputih awan di atas kepala. Dan juga buih-buih air laut. Maka ikutlah camar menyoraki dari atas sana. Ikut bersuka cita menyambut manusia baru ini.

Tercium bau busuk dari badanku. Bau sekali! Dan aku gosok wajahku. Debu terceplak di tangan. Sudah berapa lama aku tak mandi? Maka dengan tegas aku menceburkan tubuhku di laut. Melarutkan semua kekotoran raga dan sukma.

Segar!!!

“Nadendra! Ayuh kita makan!” teriak suara gadis dari kejauhan.

Aku tak menghiraukannya, karena kesegaran ini tak pernah kulewatkan. Aku pun semakin dalam menyelam melihat ribuan karang yang indah dan ikan-ikan melayang. Semuanya serba indah di sini. Bertanya-tanya aku, dimanakah ini? Swargaloka?

“Nadendra!!” teriakan ini berubah menjadi nada khawatir. Aku pernah mengenali suara ini. Lalu karena penasaran aku terbang ke atas permukaan. Melihat gerangan siapa yang memanggilku!!

Ternyata, aku melihat seorang wanita berpakaian brahmani sedang terduduk menangisiku. Ratapannya membuatku sakit hati. Lalu aku bergegas menghampirinya dan membujuknya.

“Eh,,jangan menangis! Ini ada aku, Nadendra”

“Kau?” kejutnya, lalu ia menangis lagi. Lalu memelukku dengan erat.

“Kau sembuh!” ucapnya sesenggukan.

Aku menunggu ia tenang lalu aku membawanya dan mendudukannya di tepi pantai.

“Sembuh dari apa?” tanyaku. Ia mengalih pandangannya padaku. Dengan tatapan nanar ia membuka bibir yang tipis itu.

“Sudah dua tahun, kau gila”

“Aku gila?”

“Betul, aku mendapatkanmu di sebuah perkampungan sedang dipukuli oleh orang karena mencuri makanan. Aku mengenalimu, ternyata kau Nadendra. Anak dari Dhang Acarya Kanamakuni. Menurut warta kau dinyatakan telah tewas diterkam harimau. Tapi ternyata kau masih hidup! Jadi aku putuskan untuk membawamu ke rumahku. Sayang kau kutemukan dalam penyakit gila! Aku pun merawatmu di rumah namun warga menolak. Dengan berat hati, aku bawa kau ke tempat yang sunyi dan indah. Barangkali mampu membuatmu sembuh. Dan buah upayaku selama dua tahun ternyata berhasil,” ucapnya dengan riang.

Aku yang malah berurai air mata. Terharu. Aku cepat memeluknya. Membisikkan kalimat terimakasih.

“Kenapa kau baik sekali padaku?”

“Apa kau lupa padaku?” tanyanya balik. Aku pun melepaskan pelukannya dan meneliti dengan cermat. Tapi ingatanku seakan sirna tentangnya. Siapa dia?

Tiba-tiba ia mencium pipiku dengan lembut. Aku linlung dan terpaku. Baru kali ini aku dicium oleh seorang wanita. Wanita dewasa, selain nenenda. Sebuah tepukan angin mengingatkan kejadian bertahun-tahun lalu. Saat aku dengan jahil menggoda seorang kakak waniita cantik pemuja syiwa.

“Kau? Kakak di pemondokan!” teriakku. Ia hanya tersenyum dengan manis.

“Benar! Dan aku punya nama adik bengal!” ejeknya.

“Perkenalkan namaku Kamalasana”

“Aku Nadendra,” jawabku.

Kami pun tertawa bersama. Lalu ia pun bercerita tentang dirinya selama ini dengan lancar. Asal-usulnya dan perjalanannya hingga ia menemukanku. Aku pun selalu memerhatikannya. Wajahnya yang bagus dan manis, matanya yang seindah rembulan, dan juga rambutnya yang harum melati berkibar ditiup angin pesisir. Hidungnya yang bangir dan bibirnya yang tipis selalu menjadi titik perhatian mataku.

“Apa kau tau dimana Mahaguru Swarna?”

“Mahaguru, ada di pulau ini, setiap minggunya ia selalu mengunjungimu”

“Pulau apa namanya ini?”

“Pulau Dewata, tepat di seberang timir Jawa”

“Pantas saja sangat indah seperti kayangan,” ucapku dengan lembut, “Dan juga dihuni oleh dewi secantik ini”

Ia menatapku dengan lembut. Matanya yang indah menatapku. Sebuah gejolak yang tidak kurasakan lagi membuncah kembali dari lubuk yang paling dalam. Aku tak bisa menahannya. Dan tanpa perintah, wajahku telah menyusup mencium lehernya itu. Suara merdu bergaung di telingaku.

“Nadendra!” jeritan itu menyadarkanku dari nafsu setan. Dan gejolak itu sirna. Apa-apaan tadi?

“Kau?”

“Maaf, aku terbawa suasana,” ucapku dengan lembut.

“Maaf, aku tak bisa dilanggar oleh pria yang tidak se-agama dan se-kasta denganku”

“Hahaha, tak mungkin bagiku melanggarmu. Aku pria yang kasim”

“Aku tau itu, tapi…yang tadi serasa”

“Aku juga tak tau. Tiba-tiba rasa itu terbangun kembali dan sekarang menghilang lagi”

Ia pun berdiam dan aku juga. Lama kami membisu hanya menatap laut. Hingga aku memecah kesunyian yang menyiksa itu.

“Sudah berapa hari Mahaguru Swarna meninggalkanku?”

“Sudah lima hari”

“Waktu yang cukup”

“Waktu yang cukup untukmu melancarkan serangan nakalmu pada gadis suci di hadapanmu?” sergapnya.

“Haha. Jangan takut! aku hanya ingin bercerita”

“Cerita tentang apa?”

“Hujan di Malam Hari”

Banjarbaru, 2020

Hujan di Malam Hari✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang