Chapter 5

342 21 4
                                    

Bangun-bangun, aku telah hadir di ruang sebuah gubuk bambu dalam keadaan terbaring di atas dipan. Semua tulang terasa remuk dengan panas badan meradang membakar kulit. Pandangan terasa berputar dan kepala memberat. Aku terus memegangi kepalaku yang rasanya telah berubah menjadi tak keruan itu. Entah dimana aku berada sekarang?

Pintu gubuk terbuka, seorang wanita berkemban masuk dengan menggendong anak kecil. Ketika terpandang diriku yang terlentang tak berdaya, ia bergegas menghampiriku. Tangannya yang halus dan putih secara gesit mengganti lumatan dedaunan yang tak kuketahui dengan yang baru. Sementara bayi lucu dalam gendongannya tak rewel malah tertawa padaku dengan gemas.

"Tuan, jangan khawatir. Beristirahatlah. Anggap saja sebagai rumah sendiri!" ujar wanita yang bermata sayu itu. Alisnya tebal dan hidungnya bangir. Logat bicara yang kental itu sangat mencirikan sekali dengan orang-orang Jawa semacamku. Pertanyaan muncul dalam benak, betulkah aku telah di Jawa?

"Dimana ini?," tanyaku dengan suara parau.

"Di Jawa tuan, masa tuan tidak tau. Saya temukan tuan terdampar di bantaran sungai kemarin"

"Jawa? Maaf, sahaya kurang ingat. Kalau begitu sahaya haturkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada mbakyu"

Ia hanya tersenyum. Sangat indah dan manis. Tak pernah rasanya aku bertemu wanita secantiknya. Bahkan mungkin di keputrian tak ada yang sebagus ini. Kulitnya yang sedikit putih daripada wanita-wanita jawa lainnya. Matanya yang sayu. Dan lesung di pipinya. Ah bagai ukiran seniman-seniman jepara. Dan arca-arca di prambanan. Secantik Sinta pada cerita Ramayana dan secantik Drupadi pada cerita Bharatayuda.

Ia menyosorkan sebuah gelas bambu yang telah terisi air. Layaknya raja aku diberi minum dengan baik. Setelah itu ia mengelus-elus kepalaku dengan halus. Rasa halus itu teraba sehingga sedikit membuatku hatiku tergetar. Ia seperti ibu yang sedang mengemong anaknya.

"Makanlah Tuan!" perintahnya. Aku hanya mengangguk saja dan menyambut pisang yang telah dikupas. Bermimpi apa aku semalam dilayani sedemikian rupa. Seingatku aku berada di batas kehidupan dan kematian. Diseret oleh hantu dan tiba-tiba semuanya memutih.

Sembari duduk, ia juga makan pisang itu dengan lahapnya. Tapi sayangnya saat makan, ia tak anggun seperti bayangan dalam khayalan. Cenderung ganas. Tapi tak apalah, mana ada manusia yang sesempurna dewa-dewi. Mungkin ia puasa makan beberapa hari.

Kemudian, ia pamit untuk keluar dengan membawa anaknya. Aku tertinggal di gubuk yang terbuat dari jalinan bilah-bilah bambu sendirian. Berusahalah aku mengingat samar-samar keadaan sebelum tak sadarkan diri. Ya! aku yakin bahwa aku tenggelam di sungai namun bukan di Jawa tapi di Kala Mantana. Aneh. Jadi selama ini, semua petualangan yang kulalui hanya mimpi yang tak berarti. Tidak mungkin! Sampai sore, aku tak menemukan jawaban juga tentang keadaan ini.

Malam datang, dan sang wanita dermawan itu tak pulang lagi ke gubuk. Keberadaannya yang ganjil membuat sedikit janggal. Tak ada wanita yang berani berjalan sendirian saat malam di hutan. Apalagi banyak binatang buas yang berkeliaran. Aku pun tak sempat menengok sedikitpun keadaan luar. Jadi aku tidak tau dimanakah gubuk ini berada. Di desa atau di pelosok menjauhi keramaian orang-orang. Sampai saat ini tak satupun aku mendengar keributan anak-anak, perkelahian, hingga ibu-ibu yang bergunjing.

Sampai pagi aku tak mampu tidur. Kepalaku terasa berputar memikirkan hal-hal yang tak genah di kepala. Aneh saja. Dan pikiranku mengarah ke reinkarnasi. Tapi bukan! Seharusnya ia dilahirkan kembali. Dibuai lagi dari bayi. Dan keanehan muncul kembali, saat cahaya telah menyusup ke dalam yang menandakan pagi, ayam juga tak mau berkokok membangunkan. Sejauh manakah tempat ini terasing dari peradaban manusia?

Kupaksakan menggerakkan badan. Walaupun sedikit sukar tapi ini jalan satu-satunya untuk menyakinkan dan melihat kebenaran dimana gerangan sebenarnya diriku berada. Dengan tertatih-tatih dan napas yang megap-megap aku berjalan membuka pintu. Namun terlambat, sang wanita datang dan menyuruhku untuk beristirahat.

"Tuan, anda masih sakit," katanya masygul.

"Tak apa. Seorang lelaki harus mempunyai kekuatan. Tak menye-menye menghadapi apapun. Hanya demam sebegini, kecil bagi sahaya," tukasku seraya menjentikkan jempol.

"Tuan! kumohon berbaringlah sebentar. Beristirahatlah"

Aku menolak dengan halus. Tiba-tiba sang bayi menangis. Dan sang wanita penyelamat menampakkan wajah yang tak mampu dibendung oleh rasa kasihan di hatiku. Urunglah aku membuka pintu. Duduk kembali di dipan sambil bersandar di pancang kayu. Seketika wajah sendu keduanya berubah cerah kembali.

"Tuan janganlah pergi. Disini tempat sangat terpencil. Wilayah ini hanya sahaya dan anak sahaya dan Tuan yang tinggal. Jadi, tuan jika anda bergegas pergi dari sini, tegakah Tuan meninggalkan wanita dan anaknya yang lemah ini? Dan ini sebenarnya bukan Jawa. Ini di Kala Mantana Tuan. Maaf jika saya berbohong. Tapi ini semua demi Tuan betah tinggal hidup di tempat baru ini," ucap wanita itu sembari kembali sesengguk menangis dan bayi itu juga memasang tatapan nanar. Hilanglah semua kegundahan gulana mengenai dimana sebenarnya tempat ini. Ini masih di Kala Mantana ternyata!

Wanita itu pun menceritakan tentang dirinya dengan gamblang. Wanita yang cantik ini menyebut namanya ialah Sri Ayu dan anaknya bernama Sima. Mereka berdua merupakan bekas-bekas pelarian dari keruntuhan Sriwijaya. Setelah berhasil mencapai tanah Kala Mantana dengan selamat, ia dan anaknya diserang oleh orang-orang berjambul bulu burung. Tanpa pikir lagi ia menyelamatkan diri dan anaknya, terpisah dengan kelompok besar. Untuk bertahan hidup, ia membangun sebuah gubuk yang tersembunyi di bawah kaki gunung. Jadi dia tak khawatir akan adanya musuh yang menyerang. Ujarnya, ketika ia bertemu dengan diriku, ia merasa diberkati oleh Buddha. Bisa dibilang harapan hidupnya terikat oleh diriku.

Semenjak saat itu, aku selalu tinggal di gubuk hingga tubuhku pulih. Tiga hari berlalu, aku diperbolehkan untuk berjalan-jalan keluar. Bersama dengan Sima yang dengan asyiknya bermain bersamaku. Sedangkan Sri memandangku dengan pandangan tersenyum. Ia bahagia. Gambaran kebahagiaan seperti sedang menemukan keluarga kecilnya kembali utuh.

Siang hari, aku mencarikan mereka buah-buahan untuk makan. Menombak ikan di sungai dan mengambil air untuk diminum. Sesudah itu Sri menyambutnya dan membuatkan masakan untuk kami. Kami makan dengan lahap. Hari itu pokoknya menjadi hari yang sangat bahagia bagi aku, Sri, dan anaknya.

Waktu cepat sekali berlalu. Dan matari kembali ke peraduannya. Tak ada bulan yang datang. Malam itu sunyi tanpa ada suara jangkrik sekalipun. Sima cepat sekali tertidur setelah disusui induknya. Tinggal aku dan Sri yang masih terjaga. Suasana menjadi canggung. Entah kenapa? Aku pun bingung. Rasanya jejaka sepertiku berhadapan dengan seorang wanita dewasa tak bersuami terasa aneh. Yang seharusnya hubungan antara ibu dan anak seketika menjadi hubungan antara pria dan wanita. Apalagi ini tempat terpencil. Tak ada yang akan mengganggu. Bahkan hewan-hewan pun seakan berdiam menunggu kami untuk bergelut dalam sebuah gelora.

"Mas Panca," ucap Sri memecah kesunyian.

"iya"

"Katanya Mas adalah seorang pujangga dari Jawa. Bisakah Mas mengucapkan sebuah syair untuk sahaya," kata Sri sembari mengerlingkan matanya yang indah dan alisnya yang lentik itu.

"Malam-malam seakan bisu. Bahkan jangkrik pun malu bersuara. Ternyata, rembulan tak kunjung datang. Sahaya pun bimbang dan takut jikalau besok Dewa Yama mencabut raga. Lalu sahaya pandang ke hadapan. Lalu sahaya tahu bahwa rembulan berpindah ke bola mata dinda"

Ia tersenyum. Lalu sekonyong-konyong tangan halus dan putih itu meluncur ke pahaku. Aku kejang. Darah berdesir dan tegangan tubuh semakin tinggi. Tubuh semakin panas dan keringat berjatuhan dari alis mata. Aku menatap Sri. Batara Kala telah menguasai matanya.

  "Eh?"

"Mas, saya sendiri disini. Tak ada seorang laki-laki melindungi dan mengasihi," bisiknya di telinga sembari masih menggerayangi badanku. Aku tak kuat. Dan segera melepas jangkauan-jangkauan menggelikan itu. Segera beranjak dari dipan.

"Mau kemana mas?" tanyanya kecewa.

"Kencing!" Ia tertawa sembari menutupi mulutnya. Betapa anggunnya. Lalu aku keluar dari gubuk. Yang awalnya berjalan, lama-lama setengah berlari, lalu setelah nampak jauh lekas berlari sekencang-kencangnya. Aku melupakan semua kasih sayang dan bantuan yang Sri berikan. Karena aku tau, Bahwa tak ada satupun manusia yang tau nama Kala Mantana selain aku!

Banjarbaru, 2019

Hujan di Malam Hari✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang