Chapter 8

222 8 1
                                    

Aku terbangun seorang diri di gubuk. Tak ada Numa yang sedaritadi kujaga di pelukan. Sedangkan aku pun tak sadar telah ketiduran. Badanku masih lembab. Dan bau Numa masih tertinggal di dadaku. Aku lekas ke luar mencari gerangan kemana Numa.

Mulailah pencarian dilakukan di sungai beralur deras tersebut. Aku meniti bantaran dari ujung ke ujung, namun Numa tak ketemu. Lalu aku berupaya mengelilingi hutan di sekitarnya. Nihil.

Kemanakah dia?

Apa jangan-jangan ia kabur karena merasa kecewa?

Atau barangkali ia bersembunyi di suatu tempat untuk mempermainkanku?

Yang pasti aku berharap pilihan ketiga betul-betul terjadi. Jika ia kabur, aku tak tau lagi kemana mencarinya. Tanah seluas ini, dan menyimpan makhluk-mahluk yang sangat berbahaya membuat nyaliku sedikit mengkerut. Dan bila itu terjadi agaknya salah satu pilihan adalah menceritakan kejadian itu pada Balian. Walaupun dengan risiko harus dimarahi habis-habisan karena mencuri calon istri orang.

Huh…semua ini menjadi merumit, beginikah tanggungan sebagai manusia dewasa?

Kepalaku seakan ingat perjuangan Ayahku dalam membela habis-habisan saat peradilan istana. Di dalam praja-praja itu tidak ada namanya kawan atau lawan yang abadi. Semuanya saling gontok untuk mempertahankan kekuasaan. Dan pula mencari kuasa yang lebih tinggi lagi. Semakin tinggi jabatan mereka semakin tinggi penghormatan orang lain pada mereka. Selain itu, jika lengah sedikit saja, bisa-bisa jabatan lepas dari tangan. Berganti ke tangan orang lain. Untung yang hanya dilepas jabatannya. Ada yang dituduh berbuat yang tidak-tidak pada kerajaan. Hingga mereka di anggap seorang pemberontak. Ya misalnya pada masa ini ialah keponakan dan paman yang telah mati-matian membantu mendirikan Majapahit. Dan aku sangsi bahwa perebutan jabatan menjadi motif dibalik tuduhan pemberontakan itu.

Lalu kupikir lagi, tentang keringanan hukuman yang diputuskan oleh mendiang Raden wijaya selama berkuasa terhadap terpidananya. Di hari tuanya, ia seakan berhati-hati dalam mengambil suatu putusan. Takut salah langkah yang membuat beragam masalah baru. Yang pasti ia tidak akan membiarkan pemberontakan terjadi pada masa-masa awal kerajaan Majapahit.

Teringatlah aku kembali pada mahaguru-mahaguru pemuja syiwa atau budhha yang seakan lepas tangan ketika muridnya terlibat dalam masalah pidana kerajaan. Mereka sepertinya menyelamatkan diri dan tak berani melawan raja. Walaupun mereka kasta tertinggi di masyarakat. Tapi, mereka sebenarnya berada di bawah kerajaan. Di bawah telapak kaki kasta Ksatria. Mereka tidak bisa melawan. Karena para ksatrialah yang memastikan perlindungan para Brahmana-brahmani dan biksu-biksuni.

Maka makin ruwetlah tali-tali kusut di kepalaku. Betulkah apa yang kulakukan pada Numa. Dengan mengedepankan hak-hakku sebagai pribadi. Entahlah? Daripada terjerumus dalam keraguan. Ingat kembali perkataan Hyang Swarna yang menyebutku Prapanca. Dan dengan bangga saat berhadapan dengan Takau, aku memakai nama itu. Lalu aku ingat tentang perkataan Nenenda, tentang para raksasa. Ingin sekali aku mengatakan pada Nenenda jika ia masih hidup bahwa raksasa-raksasa itu benar-benar ada. Dan betul raksasa yang ada di dalam hati itu ada. Ya itu keragu-raguan.

Semakin lama pikiranku semakin melentur ke arah pokok-pokok lain. Segera kupusatkan untuk mencari keberadaan Numa yang tak tau rimbanya.

Langit seakan sendu hari ini. Sehabis bersedih malam tadi. Matahari rupanya tak mampu membangunkan keceriaan siang-siang pada galibnya. Hati pun menggelisah. Entah kenapa? Yang pasti hari ini seakan ada sesuatu hal yang buruk terjadi. Semoga tidak!

Aku melanjutkan pencarian, menelisik setiap sudut hutan tempat biasanya bermain. Lagi-lagi tak ada tanda keberadaannya. Lama-lama benak dihajar oleh rasa khawatir. Dan perasaan serasa tak keruan dibuatnya.

Kemana kau Numa?

Yang dicari tak muncul-muncul, malah gerimis datang. Aku pun masih bertekad bulat untuk menemuinya.

Sayangnya hingga cahaya semakin menerang, tak ada juga kehadirannya. Dan pilihan terakhir mengemuka dalam benak. Sebuah batu halangan menghadang dalam hati untuk mengiyakan. Ah, aku berkeras. Dan teguh untuk memberitahukan kepada Balian. Karena itu satu-satunya jalan. Di tengah perjalanan, sekonyong-konyong prasangka baik timbul. Bisa saja Numa telah balik ke kampung tanpa memberitahu. Dan itu membuatku bersemangat kembali.

Mendadak, seseorang menyergapku dari belakang. Mengunci pergerakan tangan. Menjatuhkan badanku hingga aku tak berdaya di tanah. Kulihat sekilas siapa gerangan musuh yang membuat diriku sedemikian.

“Kau Urung?”

“…” ia tidak menjawab hanya memandangku dengan dua bola mata merahnya.

Lalu aku diseret-seret di tanah. Dan ia membawa Mandau di tangan. Seakan sangat marah. Ada apa ini? Aku pun bertanya berkali-kali tapi tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Bibirnya sedaritadi mengatup dan matanya melotot. Garang betul.

Setibanya, di kampung. Sebuah pemandangan mengenaskan harus kulihat yang membuat luka yang tidak sembuh hingga hari ini. Seorang wanita terbaring dengan tenang tanpa sehelai pun kain menutupinya dengan sebuah tikaman keris bercokol di atas perut. Itu keris lantang yang hilang! Kenapa? Kenapa harus ditemukan dalam keadaan yang serba salah seperti ini?

Perasaanku pun mulai jatuh sejatuhnya, air mata pun bahkan tak sanggup keluar. Hanya tercenung dan terpaku melihat sosok wanita yang telah menjadi mayat itu diangkat ke rumah Balian. Orang yang paling kukasihi dan kusayangi itu terbaring kaku di halaman rumah Balian. Dan Angkin berdiri menghadapku. Matanya merah membara. Tanpa kata-kata, ia lekas menempelengku beberapa kali. Sebuah siksaan yang benar-benar berlipat ganda. Bukan hanya raga yang sakit tapi juga sukma. Mata-mata itu menatap persis dengan tatapan ketika mereka menemukanku pertama kali. Hingga saat itulah aku berada di titik serendah-rendah dalam hidupku. Tak peduli lagi akan kematian.

“Sesuai hukum adat, barangsiapa yang membunuh, maka dihukum dibunuh juga. Darah dibalas darah,” ucap Angkin.

Beberapa perkiraan segera terlintas dalam kepalaku bahwasanya kepalaku akan terpisah dari badannya. Itulah hukuman hormat bagi musuh. Lalu diletakkan di rumah mereka sebagai pajangan. Sebagai penghormatan. Namun kali ini rasanya tidak. Aku bukan musuh saat berperang sehingga mendapat perlakuan terhormat seperti itu.

Satu persatu orang mulai memapahku menuju sungai. Bukan sungai seperti biasanya. Dengan kaki tangan terikat, jelas dapat dipastikan mereka hendak menenggelamkanku dalam sungai. Sungai yang dihuni oleh buaya-buaya. Dan juga ikan pemakan daging.

Malang nian nasibku! Berhasilah kau Jayanegara! Sungguh kali ini benar-benar berhasil membunuhku!!

Dan dengan satu lemparan ragaku telah tenggelam ke dasar sungai yang dalam. Air mulai menggenangi tenggorokan. Dan dada terasa panas. Aku menutup mata dengan damai…

Sastraloka mengantarkanku ke Swargaloka yang diimpikan oleh Mahasiddha.

Banjarbaru, 2020

Hujan di Malam Hari✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang