Chapter 2

190 9 0
                                    

Orang yang bernama Bambang Basiwara ini rupanya telah dihinggapi oleh angkara murka. Dengan pakaian lengkap layaknya orang yang ingin terjun berperang, ia mengumpati orang-orang Maanyan. Dan lekas menerjang barisan orang Maanyan yang hanya melongo melihat orang tak dikenal ini tiba-tiba membuat kegaduhan di kampung mereka.

Sandayuhan dengan tenang menghadang kakaknya, sebilah Mandau besar ia siagakan di tangannya yang kekar. Ketika kakanya mendekat menebas dengan cepat ia menangkisnya dengan mudah. Namun tiba-tiba Mandau di tangan intingan berubah arah dengan sekejap sehingga menebas pinggang sang adik. Sandayuhan tercekat ia segeral berkelit namun walaupun telah berusaha menghindar, tetap saja robek bagian pinggangnya--mengucurkan darah segar yang menitik deras.

Sandayuhan pun marah dengan lekas ia memukul dada sang kakak dengan keras hingga gedebuk suaranya terdengar di telingaku. Aku yang melihat kejadian itu mengernyitkan dahi. Betapa sakitnya jika terkena pukulan itu. Bahkan Intingan sampai menyemburkan darah segar dari mulutnya.

“Kenapa kau membantu Maanyan yang telah membunuh iparmu, istriku?” Tanya Intingan seraya batuk.

“Hah? Istrimu terbunuh?” tanya Dayuhan dengan terkejut.

“Benar! Dan yang membunuh sudah pasti orang-orang Maanyan, mereka melakukan kayau! pada sanak saudara kita! Sandayuhan ini tidak dapat dibiarkan! Mereka telah mengobarkan permusuhan perang dengan orang bukit”

“Mungkur, bungul!!!”

“Ini tidak ada hubungannya dengan Patih Mungkur, ini salah orang Maanyan!!” teriaknya sembari menyerang ke arah orang Maanyan. Namun Dayuhan tidak memberikan kesempatan sejengkal pun Intingan untuk merangsek ke dalam. Ia melintangkan tombaknya hingga menghalangi jalan Intingan.

“Kau telah terhasut oleh Mungkur!” bentak Dayuhan.

“Oh rupanya Sandayuhan kakaku yang bodoh ini telah terhasut oleh orang Maanyan!!” balas Intingan.

Orang-orang Maanyan sekalipun tak berani untuk melerai keduanya. Mereka berdua ialah pendekar-pendekar sakti di tanah Kala Mantana. Tidak ada tandingannya. Mungkin ada. Tapi untuk di wilayah Tanah Hujung sepertinya belum ada yang mampu menandingi kedigdayaan keduanya.

Sementara aku hanya terpaku di ambang pintu, kata-kata yang seharusnya untuk memanas-manasi dan merayu Sandayuhan agar mau bertempur membantu Maanyan menjadi sebuah kenyataan yang benar-benar terjadi. Apakah ini sebuah kebetulan? Atau….aku pun mengaburkan hal itu sebelum ada bukti yang tepat.

Sandayuhan dan Intingan bertarung dengan sengit bahkan sampai merobohkan pepohonan yang tidak salah apa-apa. Para penonton hanya melongo melihat kedua beradik ini bergulat dalam kesalahpahaman. Aku pun menggeram, Mungkur telah bertindak dengan jauh sekali. Jika salah satu mati maka akan menjadi bencana bagi kedua pihak. Bagi Tanjungpuri maupun Maanyan.

Aku melihat ke langit, bintang-bintang nampaknya sedang bersembunyi. Langit sekejap-kejap memperlihatkan warna-warni. Sebuah kilat nampaknya berkejar-kejaran di kerajaan awan. Sepertinya hujan akan turun malam ini mengiringi sebuah kejadian yang yang sangat disayangkan. Dan keduanya tidak dapat menyelesaikan masalahnya dengan kepala dingin. Ujung-ujungnya salah satu orang akan tewas. Maka orang Maanyan akan berharap Dayuhan yang akan menang dan Mungkur berharap Intingan dapat membunuh batu sandungannya dalam menaklukkan Maanyan yakni Dayuhan. Aku pun menyesalinya. Perang saudara ini seperti tidak mampu dibendung oleh siapapun. Apakah ini merupakan ketetapan dari Hyang Batara?

Deru angin menyusul menghempaskan dedaunan pepohonan, dan kini guntur menggelegar di Maanyan. Anak-anak ketakutan dan bersembunyi di dalam rumah Angkin. Para perempuan pun setelah mendengar guntur mengikuti pula. Maka hanya aku dan kaum lelaki yang tak gentar menghadapi kematian menunggu dan menonton pertarungan yang kini kelebatannya tidak dapat dilihat oleh mata biasa. Aku sampai mengucek mataku beberapa kali untuk melihatnya. Namun nihil juga untuk dilihat. Hanya kilasan putih yang terpantul oleh cahaya kilat.

Sekonyong-konyong, sebuah guntur menghantam ke tanah hingga merobohkan salah satu pohon dan membakarnya. Maanyan seketika terang benderang, dan terlihatlah bahwa keduanya telah menderita luka yang banyak. Beberapa kulit mereka telah bersimbah darah.

Dari kejauhan, aku melihat sepertinya Intingan mengomat-amitkan sesuatu. Entah apa? Kemungkinan mantra. Setelah selesai, sebuah kilat menerjang tubuh Dayuhan yang telah lemah itu. Hingga tubuh Dayuhan kejang-kejang lalu menghitam. Semuanya tercekat melihatnya. Apalagi orang Maanyan. Jika Dayuhan kalah maka bisa tamat riwayat seluruh orang Maanyan di Tanah Hujung.

Dayuhan yang kejang-kejang itu mematung, tenyata ia masih dapat bergerak.

“Ia masih hidup…,” desah Angkin “luar biasa…,” tidak hanya angkin semuanya hanya bisa melongo melihat kedigdayaan ksatria dari utara.

Dayuhan dengan tergopoh-gopoh, ia menghampiri sebuah pohon yang terbakar itu. Dengan sekali pukulan terbanglah pohon itu menghantam Intingan yang telah lemah. Maka api menyambar tubuhnya hingga seluruh badannya terbakar. Intingan menggelepar-gelepar merasakan panasnya api. Dayuhan sedikit demi sedikit menghampiri kakanya itu.

Api yang membakar tubuh Intingan lamat-lamat padam memperlihatkan  tubuh intingan yang menghitam dan putih akibat luka bakar. Dan ia pun terjatuh terlentang menghadap air hujan yang mulai turun. Dipastikan bahwa dia akan menjemput ajalnya. Dan Dayuhan sebentar lagi dekat dengannya. Terlihat Dayuhan yang sehabis tersambar petir itu memegang Mandaunya di tangan. Sepertinya ancang-ancang ingin mengakhiri penderitaan sang kakak.

Namun Dayuhan menjatuhkan mandaunya sehabis itu merebahkan diri mengikuti kakanya yang sekarat itu. Kami pun menghampiri untuk menyelamatkan keduanya. Mereka bukanlah musuh, tapi orang bumiputera yang terkena kejamnya adu domba yang dijalankan oleh Mungkur.

Berkelilinglah kami, membopong keduanya untuk meneduhkan ke rumah Angkin. Namun satu tangan Dayuhan terangkat ke atas yang dimaksudkan menolak bantuan kami.

“Kau masih hidup?” Tanya Dayuhan.

“Iya, aku mendengarkanmu,” jawab Intingan.

“Akhirnya..kakak mau mendengarkanku juga”

“Maaf, tidak mendengarkan penjelasanmu saat aku meninggalkan kampung halaman”

“Aku maafkan, asalkan kau mau pulang ke Meratus”

“Aku akan pulang, Apa kau sudah tahu Sandayuhan telah menjadi seorang paman! Ada lima keponakan untukmu. Namanya Tabalong, Balangan, Amandit, Tapin, dan Alai”

“Terimakasih, aku juga mempunyai anak. Tapi aku lupa namanya…”

“Haha, kau masih bodoh seperti dahulu”

“Kau juga keras kepala seperti dulu”

“Maukah kau mendengarkan ceritaku? tanya Dayuhan.

“…”

“Ternyata kau telah tidur duluan, Baiklah aku akan tidur juga, kuharap kita bermimpi indah bertemu dengan emak…”

Banjarbaru, 2020

Hujan di Malam Hari✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang