Chapter 3

234 14 0
                                    

Beberapa hari ini, aku jarang bertemu dengan Rengga. Ia seakan melupakan perjanjian di bawah pohon asam malam itu. Saat siang waktu istirahat tiba, tak ada warta sekalipun, bahkan satu rontal pun nihil ia tinggalkan. Sesibuk apakah ia di keputrian? Padahal sesibuknya di keputrian, ia terus mengirimkan lontar jika mangkir. Hari-hari pun menjadi sunyi tanpanya. Aku menumpahkan segalanya pada lontar-lontar kering itu. beginilah bunyinya :

Sebuah hutan jika tak ada air maka akan menjadi gurun

Sebuah kerajaan jika tak ada raja yang adil maka akan hancur

Dan sebuah raga tanpa ada sukma maka tak akan ada kehidupan

Sama seperti hati bila tak ada yang mengisi maka lama-lama akan menghilang

Dalam kepingan malam kita dipertemukan

Layaknya Raja dan Pramesywari kita disatukan oleh kuasa

Kuasa yang dinamakan kama

Dan juga kesepian yang nyata

Bilamana hadir bencana yang tak diduga-duga

Hendaknya serahkan pada jagat dewa

Dan pada laki-laki kesayanganmu

Pujangga dari Kahuripan, Nadendra

Aku memutuskan untuk meninggalkan lontar dan kusisipkan di tempat dimana kami biasa bertukar. Lantas setelah selesai, aku pergi ke pemondokan. Melanjutkan pembelajaran di sore hari. Dan juga menyapu halaman-halaman candi.

Tiba di asrama, aku segera disambut oleh Dang Hyang Swarna. Ia segera memanggilku dan mengajakku berbicara empat mata. Dalam desir angin yang berhembus di kala sore hari, kami berdua mematung. Saling menunggu satu sama lain membuka percakapan. Dan aku mengharapkan Mahaguru Swarna dapat memulainya.

"Muridku, Nadendra. Anak dari Dhang Acarya Kanamakuni yang sangat setia pada Majapahit. Hendaknya kau berhati-hati dalam bertindak. Setiap tindakan akan ada akibat yang ditimbulkan. Tindakan laksana bibit tanaman. Jika bibit kebaikan ditabur maka akan berbuah kebaikan. Dan bilamana sebuah keburukan ditabur maka siap-siap memakan buah pembalasan," Tukas sang Mahaguru sembari membuka matanya lalu menutupnya kembali ketika selesai berucap.

"Ampun, Bapa. Bilamana sahaya melakukan kesalahan. Hukumlah sahaya saja, dan jujur beritahu, apa kesalahan sahaya?"

"Seorang manusia terpelajar mesti memahami perbuatannya. Dalam bertindak mesti dipikirkan dengan matang-matang. Muridku memang masih kecil. Namun bukan berarti, dapat mendobrak segala hal di Mayapada. Sahaya hanya melakukan kewajiban sebagai Gurumu. Semua tanggung jawab ada di tangan sahaya. Tingkah muridnya akan berdampak pada Gurunya. Sedangkan seorang anak yang bakti pada orangtuanya hendaknya menjaga perangai dan tingkahnya di depan umum. Maka dari itu jujurlah Nadendra, sebutkan kesalahanmu. Jangan dipendam dan dibiarkan terlalu lama. Bisa-bisa menjadi busuk dan akan meracuni kehidupanmu. Kalau Nadendra ingin memberitahunya. Niscaya, gurumu ini akan mengulurkan tangannya"

Ucapan Mahaguru Swarna membuatku terkejut bukan kepalang. Masalah yang telah disembunyikan dan dilupakan sedemikian rupa malah mengapung dan muncul kembali ke permukaan. Aku pun lama menjawab ucapan Hyang Swarna. Perlu pemikiran matang dan keberanian untuk mengungkapkannya. Lama-kelamaan keringat meluncur deras di dahiku. Rasa takut memenuhi kepalaku.

"Sahaya..Bapa...Yakin sahaya e... tak melakukan tindakan yang mencemarkan nama sahaya, nama Bapak sahaya, dan nama Bapa sendiri"

"Baiklah. Jikalau itu memang kemauanmu. Maka tak apalah. Sebagai Gurumu sahaya hanya menyelamatkan sang murid dari samsara. Sudah cukup! Silahkan tinggalkan sahaya sendiri!"

Sahaya pun menjura di depan mahaguru. Lalu beranjak, meninggalkan sebuah dosa yang kusesali hingga hari ini. Jika saja waktu dapat diputar maka sahaya akan gamblang mengucap kebenaran. Tapi nasi telah menjadi bubur. Yang lalu biarlah berlalu. Sudah menjadi ketetapan Jagat Dewa!

***

Siang itu, ketika istirahat. Sebuah keributan terjadi di halaman pemondokan. Semuanya berlari menghampiri sumber keributan tersebut. Lama-lama sudah berjubel orang menghambur di halaman asrama yang dikatakan tak terlalu luas itu. Aku tak ikut-ikutan. Penyataan Mahaguru Swarna kemarin masih melekat di dalam benak. Terngiang-ngiang di kepala. Sehingga ceramah-ceramah Mahaguru pagi tadi pun terlewati dengan lamunan. Melamuni tingkahku sendiri di masa-masa lewat.

Seorang murid datang memberitahuku untuk bersembunyi. Aku bertanya kepadanya namun tak ada balasnya. Rupa-rupanya ia adalah kakak dari pemuja Dewa Syiwa yang ku goda sewulan yang lalu. Aku pun mengikuti tanpa mempedulikan tingkah kurang ajar di masa lalu. Ia membawaku untuk kabur. Tiba-tiba aku menghentikan lariku dan menahan laju larinya.

"Nadendra, para perwira kerajaan ingin menangkapmu," katanya cemas. Aku pun terkejut. Dan sayup-sayup terdengar seruan untuk menangkapku. Sebuah keputusan jatuh padaku. Menghadapinya atau lari dari masalah ini? Jika lari, maka aku akan menjadi buronan kerajaan seperti Ranggalawe. Maka terngianglah kata-kata Hyang Swarna kemarin. Jika ini hal yang sahaya tanam maka harus jua sahaya siap untuk menuainya.

Aku memberhentikan langkahku. Dengan tangan gemetar, aku hadapi perwira-perwira itu yang membawa tombak dan segala senjata tajam. Sedangkan, sang Kakak yang belum pernah kuketahui namanya ini sangat mencemaskan sahaya. Pun Sampai saat ini, aku tak mengenalnya lebih dekat. Sedangkan dengan perkenalan yang sangat singkat itu telah membuat ia khawatir terhadapku sedemikian rupa. Secara lembut, kulepaskan dekapan tangannya yang halus itu dan memandangnya dengan isyarat bahwa aku siap menghadapi apapun. Terlihat di matanya sinar kekecewaan. Itulah percakapan yang sangat intim tanpa sepatah kata bahkan jarang orang paling dekat sekalipun mampu merasakan hal yang sama seperti kami.

Sejurus kemudian, sepasukan perwira istana telah tiba menangkapku. Tanpa kata pengantar, mereka segera dengan kasar menggiring ku dengan penghinaan. Kedua tangan diikat di belakang sehingga tidak mampu melawan. Dan aku harus diseret di tengah jalan! Betapa hinanya! Semua murid pemondokan memandangiku dengan beragam wajah. Kebanyakan tatapan merendahkan. Aku memandang ke segala arah, tak kutemukan satupun Mahaguru yang muncul. Mereka seperti lepas tangan. Dan aku sadar, itu adalah karmaku yang berdusta pada Mahaguru.

Banjarbaru, 2020

Hujan di Malam Hari✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang