Chapter 6

257 13 0
                                    

Rasa sakit masih tak lekang dari kemaluan. Membayangkan bagian tersebut telah sirna membuatku seolah-olah merasa bukan seorang pria lagi. Bahkan manusia sekalipun. Pemotongan yang dilakukan secara kasar itu sangat perih dan tak bisa dilukiskan betapa sakitnya. Hanya aku dan orang-orang yang mengalaminya dapat memahaminya.

Setelah seminggu algojo menghilangkan kedua telur di selangkangan itu, rasanya lebih ringan untuk mengangkang. Namun nafsu seakan pupus. Gairah sebagaimana perjaka telah sirna. Tak ada gejolak sebagaimana remaja-remaja desa dan remaja pemondokan. Dulu ketika berhadapan perempuan sekalipun maka ada rasa aneh di dalam dada. Sekarang tidak! Mereka hanya angin lalu. Seperti hal yang tak penting di muka mayapada ini.

Seminggu setelahnya jua aku telah duduk di pemondokan. Tak ada teman yang mendekatiku. Takut akan tertular penyakit berandal. Namun ada juga baiknya, hubungan dengan Mahaguru Swarna semakin dekat. Bahkan aku semakin semangat untuk mendengarkan ceramah-ceramahnya. Mahaguru menyambutnya dengan limpahan ilmu-ilmu yang bermanfaat. Dan kami selalu melebih-lebihkan waktu untuk bercakap-cakap mengenai kebuddhaan.

Tentang Dara Rengga, nama itu seakan tenggelam dalam jurang. Tak muncul lagi dalam benak. Di tambah gejolak berahi menghilang dari jiwa. Hari-hari pun menjadi sangat sepi. Dipenuhi oleh samadhi-samadhi untuk lebih msendekatkan diri pada Hyang Batara.

***

Suatu hari datanglah warta dari istana. Yang membuat orang gempar dimana saja. Yang paling mencuri perhatian adalah keributan di pasar. Mereka menangisi kepergian pengusir bangsa Tartar dari Atas Angin. Dan juga pemunah gerombolan pemberontakan kerajaan Singhasari yang didalangi oleh Jayakatwang.

Semua orang melepaskan kepergian Raja pertama sekaligus pendiri kerajaan Majapahit. Banyak orang yang mengerubunginya untuk melihat sang raja dikebumikan. Dan praja-praja telah mempersiapkan candi-candi dan pura untuk pekuburannya. Untuk mendoakannya agar jauh dari samsara dan lekas masuk nirwana.

Dengan kepergian itu maka dengan hati berat aku harus menyebutkan musuh yang membuatku kasim ini akan menduduki singgasana wilwatikta. Meskipun Kalagemet terlahir bukan dari rahim Prameswari, ia diangkat sebagai anak oleh Prameswari Tribhuanawaneswari. Sehingga muluslah Kalagemet menduduki singgasana raja Majapahit dengan gelar Sri Jayanegara. Menyingkirkan adik-adik perempuannya, Dyah Gitarja dan Dyah Wiyat yang diangkat menjadi Bhre nantinya.

Pengangkatan Jayanegara tak serta merta membuat Majapahit yang telah mengalami dua pemberontakan menjadi tenteram. Malah kini banyak praja-praja meragukan kepemimpinannya. Kalagemet dikatakan tak layak meneruskan tahta karena Majapahit dibangun oleh Kertaradjasa untuk meneruskan kejayaan Singasari. Adapun ibu Kalagemet, Dara Petak bukan merupakan orang Singasari sehingga anaknya bukan keturunan bumiputera Jawa asli melainkan separuh berdarah Jawa dan Malayu. Bau-bau kudeta pun semakin santer tercium aromanya.

***

Dua tahun telah berlalu, umurku bertambah. Telah tiba di pucuk remaja. Dimana seharusnya tanda kedewasaan timbul. Namun, aku seakan menjadi manusia ganjil. Tak ada tanda-tanda itu muncul. Sedangkan anak seumuranku telah tumbuh kumis tipisnya. Ada yang bersuara besar. Dan pula telah tertarik dengan lawan jenisnya. Maka semakin ketatlah Mahaguru mengenalkan tentang kama dan nafsu berahi. Agar muridnya mengerti, pentingnya menjaga dari perbuatan dilarang oleh agama.

Sementara selama dua tahun ini namaku seakan terangkat dari lubuk. Terdengar sampai ke istana tentang kecerdasannya. Mengubur semua keburukan yang terjadi dua tahun yang lalu. Hingga orang-orang berangan-angan yang tidak-tidak. Bahwasanya aku akan menjadi pamatti Dharmadyaksa Kasogatan di umur yang dini sekali. Sebenarnya pembicaraan tersebut hanya pembicaraan sepele dari anak-anak Asrama. Namun semakin menyebar tak terkendali. Dari asrama ke pasar-pasar, lalu sampai ke telinga praja-praja. Dan sampai ke raja dengki itu Kalagemet.

Muncullah petaka kedua. Sri Jayanegara mengutus salah satu prajurit untuk menyeretku ke depan istana. Saat tak ada para Rakryan ataupun para Dhang Acarya di Istana. Ia mempermalukanku di depan pelayan raja-raja. Ia mengatakan :

"Inilah sang kasim itu! Orang yang seharusnya dihukum diusir dari Jawadwipa"

Entah diperintahkan oleh siapa, beberapa orang meludahiku dengan hina. Aku tak bisa kabur dari jeratannya. Sehingga hanya pasrah menelan penghinaan ini.

"Apakah Nadendra Marah! Seorang pengganti Dharmadyaksa Kasogatan Kanamakuni. Jika itu terjadi.....sahaya tak sudi"

"Aku tidak akan berdampingan dengan bocah ini!" lanjutnya. Lalu memberi aba-aba untuk para pelayan yang berkasta Sudra itu meludahiku. Lalu ada pula yang mengencingiku. Dan tertawalah mereka dengan puas.

Seorang pria dengan wajah manis dan kumis serta jambang yang lebat menghamipiri kami. Ia nampaknya sangat bebas melenggang di istana. Siapa dia?

"Kalau tidak salah, ini adalah anak Dhang Acarya Kanamakuni! Apa yang kau lakukan Baginda?" Tanya orang yang baru datang ini. Yang membuat Kalagemet diam. Lalu ia berbisik di telinga sang Raja. Sang raja hanya mengangguk paham. Dan Kalagemet berlalu.

"Hyang Sri Jayanegara, telah mentitahkan untuk mengirim Nadendra mengawasi Atas Angin. Ia ingin Nadendra pergi mengamati apakah yang ada di atas Angin sana. Sekaligus menyebarkan ajaran Budhha. Anak Dhang Acarya Kanamakuni ini telah terkenal atas kemampuan dalam menulis. Seperti seorang pujangga. Lagipula ia merupakan calon dari Dharmadyaksa Kasogatan selanjutnya. Maka dari itu, Baginda ingin sekali ini agar setidaknya Nadendra mendapat pengalaman"

Kemudian, Orang tersebut memerintahkan salah satu pelayan untuk membersihkan tubuhku. Layaknya bangsawan mereka merawatku seperti seorang pengantin yang segera dikawinkan esoknya. Tapi penjagaan terhadapku tidak melonggar sekalipun.

Setelah harum dan bersih serta lengkap dengan pakaian yang rapi. Aku di beritahukan bahwa pemberangkatan perjalanan itu dilakukan besok. Perjalanan yang merupakan topeng untuk menutupi pengusiran.

Besoknya dengan kapal Jung Jung kami berangkat. Tanpa memberitahukan kerabat. Layaknya perjalanan rahasia. Bahkan kemungkinan Ayah pun tak mengetahuinya. Namun sebuah pesan dari rontal sampai ke tanganku sebelum kapal melaut. Beginilah pesan tersebut :

Muridku, Nadendra

Aku telah mendengar warta dari istana bahwasanya mereka mengirimmu ke Atas Angin

Jangan bersedih Muridku...

Biarkan ini menjadi bekal bagimu dan pembelajaran yang berharga

Sahaya selalu mengingat tentang perangai dan tingkahmu.

Ternyata muridku yang satu ini cenderung diberkahi kegelisahan dan keragu-raguan

Maka hendak sekali sahaya memberi nama Prapanca

Bukan untuk mendoakan, hanya untuk mengingat muridku yang paling unik ini

Muridku...

Sahaya yakin bahwa yang baik akan mendapatkan baik

Dan yang buruk akan mendapatkan yang buruk pula

Maka jangan khawatur, akan ada kalanya tunas muda akan tumbuh

Menjadi sebuah pohon Buddhi

Aku pun menyimpan rontal pada tempatnya. Lalu bergegas memasuki ruang kapal. Sebelum sang surya hadir, kapal telah lepas dari pantai. Menuju Atas Angin dengan lajunya. Suara ombak mengiringi kepergian kami. Orang-orang yang terusir....

Banjarbaru, 2020

Hujan di Malam Hari✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang