Chapter 1

233 11 0
                                    

Sebuah ingatan akan masa lalu seperti muncul lagi tanpa permisi. Layaknya pencuri yang memasuki rumah-rumah korbannya. Sekejap saja mataku tersingkap dan melihat sebuah penampakan api besar membumbung di tanah lapang berumput. Disana telah berdiri beratus-ratus orang berkumpul, bernyanyi, dan menari. Dan ada juga yang menonton dengan khidmat.

Dimanakah aku? Aku celingak-celinguk kesana-kemari mencari Takau dan lainnya. Nihil. Hanya ada kenyataan bahwa sekarang aku terkunkung dalam sebuah penjara yang terbuat dari kayu sekuat besi dan sulur-sulur tanaman. Pikiranku segera kalut. Bukankah baru saja aku sesaat memejamkan mata? Lalu bermimpi tentang masa lalu kelam di tanah Jawa. Dan tiba-tiba ragaku sudah menyembul di dalam penjara secara ajaib. Ah, barangkali ini merupakan ulah Takau. Aku merasa kesal tertipu dua kali olehnya.

Seorang keluar dari kegelapan mendekati kunkungan dimana aku berada. Dia menuturkan sesuatu hal yang tidak dapat kupahami. Bahasa yang mirip-mirip dengan Sang Ksatria Utara. Entah Dayuhan atau Intingan? Lalu ia pergi setelah tak mendapatkan sahutan. Dan bergabung bersama kelompok besar di depan api dan menari-nari riang.

Sebuah akal datang, lekas aku mengambil keris di sakuku. Tidak ada! Aku mengecek berulang kali pada samping celanaku. Tetap nihil! Pikiranku terasa kusut. Lekas aku menenangkan diri dan memusatkan pikiran. Dan mencari cara lain. Namun hingga pagi menjelang tak ada satupun wangsit dari Jagat Dewa. Benar-benar aku tak berdaya.

Dalam penjara yang cukup sempit itu, orang-orang itu hanya memandangku dengan tatapan curiga. Tatapan ingin mencabik-cabik tubuh lemah ini dan memakan dagingku hingga kenyang. Bergidik jika membayangkannya. Namun penderitaan yang paling besar adalah tak satupun orang ini tergerak untuk memberikan makan dan minum. Hingga aku harus menghemat tenaga untuk bertahan hidup. Samadhi-samadhi pun kulakukan. Layaknya biksu-biksu Buddha yang menghilangkan segala nafsunya. Aku pun mengingat semua ajaran Mahaguru untuk terus berpikir tenang dan menjauhi pikiran-pikiran yang merusak.

Hari berganti hari, tak ada uluran tangan dari mereka. Mereka masih mencurigai orang asing sepertiku. Melihat perilakuku yang bersamadhi terdengar obrolan-obrolan yang kemungkinan menebak tentang asal dan jati diriku sebenarnya. Hingga saat ini aku tetap bertahan hanya dengan meminum air hujan. Jika dihitung sekitar satu minggu aku telah dikurung. Badanku mulai mengurus dan rambut tergerai panjang. Jika hal ini terus berlanjut, maka aku hanya bisa berserah pada Hyang Batara.

Sebuah keajaiban datang, Hyang Batara rupanya menerima doa-doaku. Saat sore hari datang beberapa orang-orang berjambul bulu burung mendekati kurungan. Lalu mereka membukanya dan  mempersilahkanku untuk keluar. Aku segera tersenyum. Angin segar kebebasan tercium. Namun baru satu langkah pijakan, tubuhku telah limbung dan pandangan meremang. Dan segera aku tak sadarkan diri.

Banjarbaru, 2020

Hujan di Malam Hari✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang