Sambil berjalan pulang aku terus memikirkan wajah kepala pasukan itu. Wajahnya yang hitam dan berambut berantakan dan pula memiliki bekas luka di pipi sebelah kirinya. Aku pun berhenti ketika sesosok nama muncul dalam kepalaku namun sekejap saja menghilang dalam ingatan. Aku melanjutkan perjalanan lagi di atas tanah yang basah itu. Hingga aku mendongakkan kepala melihat sebuah bukit yang menjulang. Sebuah dataran yang meninggi....dan kepalaku seakan mendapati ilham dari langit. Lekas aku bergegas berlari menuju Bapa yang masih berdagang di pasar. Namun seekor kucing berbulu coklat kemerah-merahan menghadangku. Aku tau ia adalah Takau. Aku meneruskan saja tak mengindahkannya.
Setibanya di pasar, Bapa telah membenahi lapaknya dan memasukkan ubi yang tidak laku ke dalam keranjang. Nampak pula ikan dan sulur-suluran tergeletak di bawahnya. Aku pun mensyukurinya bahwa penawaranku pada pedagang lainnya tidak sia-sia. Maka dengan segera aku angkat dan bawa keranjang berat itu ke atas pundakku. Sementara tangan lainnya menjinjing ikan dan sulur-suluran dalam satu ikatan.
"Prapanca, dibelakangmu itu kucing peliharaanmu?" tanya Bapa yang membuat semangatku jatuh. Di belakang ternyata Takau dengan wujud kucing merah mengendus kakiku. Ia berlagak seperti kucing minta disayang. Bertingkah imut dan lucu. Aku merasa sedikit jijik ketika membayangkan wujud manusianya.
"Oh, kucing jelek ini sahaya dapatkan di hutan tadi," ucapku santai.
Takau lekas menggeram seperti kucing yang terinjak buntutnya lalu menyergap kakiku dan menggigitnya dengan keras. Aku terperanjat dan membuat semua barangku terlempar ke mana-mana.
"Tampaknya, kucing ini memahami perkataanmu, Prapanca. Bawalah barangkali ia mampu menangkap tikus-tikus di huma. Wah, semakin ramai rumah Bapa kalau begini"
Kami pun meneruskan perjalanan hingga tiba di desa. Aku memutuskan untuk menunda ke rumah dulu dengan alasan membersihkan rumput-rumput liar yang mengganggu tanaman ubi. Maka di persimpangan jalan, kami berpisah. Bapa ke rumah dan aku meneruskan perjalanan menuju huma. Namun sebelum ke huma aku mampir dulu ke rumah untuk meletakkan barang dagangan. Lalu, aku mengambil seekor ikan untuk sangu di huma.
Di huma, aku menaruh ikan yang ingin aku bakar di dangau. Takau masih mengikutiku hingga ke huma. Aku tak memedulikannya dan lekas mencabuti rumput-rumput liar yang tumbuh subur selama beberapa hari ini. Karena saking luasnya perkebunan membuat pekerjaan banyak memakan waktu. Sore hari, baru tuntas pekerjaanku.
Aku pun mengambil air dari dalam ruas bambu yang selalu kusimpan dekat dengan huma. Setiap harinya aku akan meletakkannya di pancang dangau. Untuk menadah air hujan.
Lekas aku menghampiri dangau untuk mengambil ikan yang akan ku panggang di huma. Namun ikan itu tinggal tulang saja tak bersisa. Takau yang berwujud kucing merah hanya mengeong-ngeong lucu untuk meredakan amarah sang empunya ikan. Sabar....sabar....
"Makanya jangan meninggalkan ikan di hadapan kucing," tukas kucing itu berbicara. Aku tambah tak peduli. Tingkah Takau membuat perasaanku semakin memburuk. Jadi, aku hanya diam ketika kucing merah itu mengoceh tanpa hentinya. Dan pulang ke rumah Bapa dengan perasaan geram.
Saat perjalanan pulang, kepalaku hanya berkitar mengenai sosok pria yang memimpin pasukan Tanjungpuri. Aku rasa tidak percaya bahwa itu dia. Tidak mungkin! Barangkali aku salah mengenalinya. Kuharap iya.
***
Pagi itu, di pasar Tanjungpuri yang tenteram itu seakan berubah menjadi keributan. Seorang pria dengan pakaian khas Maanyan marah-marah tak jelas. Memaki penjual buah-buahan yang mirip durian itu bahwa yang ia jual sangat mahal. Semua orang pun segera mengerubuni sumber keributan itu. Orang Malayu yang merupakan penjual buah tersebut itu seakan tak terima dituding yang tidak-tidak. Ia lekas mengambil pisaunya dan mengancam pria Maanyan ini.
"Berani sekali kau Ya! baru pendatang berlagak seperti pemilik tanah ini!" maki pria Maanyan.
"Tanah ini bukan tanah nenek moyangmu, semua orang bebas bertempat disini, betul Tuan-Tuan?"
"Betul!!" sorak penonton keributan ini yang sebagian besar adalah penjual.
"Pagi-pagi berdagang buah....Ayuh sini lawan Juah!" ucap pria penjual buah-buahan dengan nada berpantun.
"Banyak bacot!!!" teriak si pria Maanyan seraya menghambur dan menyerang penjual buah-buahan ini dengan Mandaunya. Perkelahian pun terjadi, orang-orang gentar untuk melerai, takut tersabet senjata tajam keduanya. Lama-kelamaan sang pria Maanyan terdesak sehingga banyak luka telah bersarang di tubuhnya. Aku lekas masuk ke dalam gelanggang pertarungan. Melerai kedua petarung yang diliputi angkara itu. Susah payah aku menghentikannya hingga badanku ikut tersayat di beberapa bagian. Baru dengan timpukan batu mereka mau juga berhenti.
"Siapa kamu? berani-beraninya melempariku batu!" bentak si pria Maanyan.
"Aku Prapanca! Sudah hentikan perkelahian ini! Tuan hendak apa? Biar sahaya membelikannya"
"Ini bukan soal itu, tapi orang ini mencari untung dari hasil alam Maanyan. Kami yang berhak atas tanah ini, kami juga berhak atas keuntungannya"
"Kenapa paman tidak menjualnya saja disini?"
Ia pun berdiam tidak menjawabku. Langsung pergi dengan mengancam untuk melakukan serangan besar-besaran terhadap Tanjungpuri. Orang-orang pun bergidik ngeri. Dan segera kembali ke lapaknya. Hanya aku yang tidak merasakan hal itu hanya merasa lucu. Ini seperti sebuah lakon wayang yang dipersiapkan sebelumnya. Oleh siapa? Aku belum bisa menjawabnya.
Beberapa kejanggalan meliputi kejadian tadi. Pertama, pria Maanyan ini tidak pernah kutemui di Desa Maanyan. Kedua, sangat fasih sekali dalam berbahasa sansekerta. Setahuku hanya Angkin, anak pamakal atau orang terhormat yang mampu berbahasa sebaik itu. Perlu pengajaran Mahaguru. Dan yang ketiga, senjata ia pakai, Mandau terbuat dari besi bukan batu alam seperti milik desa Maanyan umumnya. Dan lalu untuk apa orang Maanyan pergi ke Tanjungpuri hanya sekedar membeli buah. Di desa Maanyan berlimpah buah semacam itu.
Tapi, aku masih berprasangka baik terhadapnya, mungkin saja pria tadi ialah merupakan orang Maanyan yang tinggal lama di Tanjungpuri dan kawin dengan penduduk Tanjungpuri. Sehingga hal-hal janggal yang sahaya sebutkan itu bisa ditolak.
Beberapa hari kemudian, keributan yang sama membuat gempar pasar. Bahkan semakin meluas ke tempat-tempat Tanjungpuri lainnya. Semakin tak terkendali, membuat orang-orang Malayu mulai tertanam benih kebenciannya terhadap orang-orang Maanyan. Bahkan diwartakan ada beberapa orang yang meninggal akibat kerusuhan itu. Para praja seperti telat dalam bertindak sengaja membiarkan hal pelik ini berlarut-larut tak terselesaikan.Hingga suatu hari seorang pria Maanyan tewas akibat ditikam oleh seorang Malayu. Orang pun gempar dan bersorak akan kemenangan. Tak pelak ini berimbas pada penyerangan sepihak orang Malayu terhadap orang-orang keturunan Maanyan. Aku pun mencari warta mengenai orang keturunan Maanyan dari Bapa. Katanya dulu setelah orang Malayu tiba di Tanjung, orang Maanyan sangat banyak. Hingga pendatang Malayu menetap dan menikahi putri-putri penduduk Maanyan. Mulailah pembauran antara Malayu dan Maanyan. Beberapa penduduk Maanyan yang ingin menjaga kemurnian keturunannya maka menjauh ke selatan. Sedangkan, orang yang menetap di Tanjung bisa dibilang tidak sepenuhnya lagi berdarah murni Malayu. Maka jika terjadi pembunhan sama saja membunuh saudara sendiri. Bapa menyayangkan itu, hingga-hingga ia menyuruhku untuk mengatasi hal ini.
Aku sangsi dapat meredakan ketegangan ini. Yang pasti ini bukan merupakan kejadian yang lucu lagi. Malah semakin mencekam. Aku terlalu meremehkan kejadian tersebut sehingga sekarang sangat sulit dihentikan. Lalu, aku mengingat akan kejadian perdana pemicu ketegangan antara Maanyan dan Malayu. Maka dipastikan itu hanyalah sandiwara yang dimainkan oleh seseorang dalang. Dalang yang sangat memahami seluk beluk akan Maanyan dan Malayu.
Banjarbaru, 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan di Malam Hari✔
Ficção Histórica[Lengkap] [Revisi] [SELESAI] Di tengah hujan, lelaki itu menjadi pahlawan menggerakkan semua pasukan. Darah dan erangan musuh menyatu menjadi kalimat yang sukar diceritakan. Layaknya lakon dari pewayangan, Ia menghancurkan kedurjanaan walaupun darah...