Jungkook duduk di bangkunya dengan telinga yang di sumpal earphone. Hari-harinya di sekolah selama dua hari ini begitu sepi. Dia tidak melihat Yerim akhir-akhir ini, mungkin gadis itu sudah pindah. Biasanya di saat-saat seperti ini dia akan menganggu Yerim hingga membuat gadis itu merasa kesal. Menyenangkan sekali rasanya bila melihat ekspresi wajahnya yang terlihat menggemaskan ketika gadis itu sedang kesal.
Tanpa sadar Jungkook tersenyum mengingatnya. Hari-hari di mana dia selalu bersama Yerim terasa begitu menyenangkan. Ah, dia jadi ingat alasan mengapa dia pindah ke sekolah ini; itu karena Yerim. Pertemuan pertama mereka memang tidak bisa dibilang menyenangkan, tapi Jungkook menyukai pertemuan itu.
Tiba-tiba senyum Jungkook sirna. Kenyataannya adalah gadis yang selama ini dia suka merupakan kekasih dari hyung-nya. Jungkook selalu berpikir, apa yang membuat Yerim memilih Wonwoo? Bukankah dia jauh lebih baik daripada Wonwoo?
Memikirkannya membuat Jungkook merasa kesal, kaki pemuda itu mendang bangku yang berada di sebelahnya dengan kuat, hingga bangku itu jatuh dan menimbulkan bunyi yang keras. Itu membuat seisi kelas menoleh ke arah Jungkook. Tapi Jungkook sama sekali tidak peduli, tangannya mengepal dan meninju bangkunya sendiri. Napas Jungkook mulai tak teratur, dia mengacak rambutnya frustrasi lalu memilih beranjak dari sana.
Seisi kelas jelas penasaran dengan apa yang terjadi pada pria itu selama dua hari terakhir. Jungkook nampak tidak memiliki semangat, dia juga semakin jarang berinteraksi dengan teman sekelas.
Jungkook pergi ke rooftop dan duduk di tembok pembatas yang tingginya hanya sepinggang. Di bawah sana masih sangat ramai dengan orang-orang yang masih berlalu-lalang. Jungkook saat ini sangat ingin sendiri, dia butuh ketenangan.
"Kau seperti orang yang sudah kehilangan kewarasanmu, Kook," ucapnya pada diri sendiri. Pria itu mendengus kesal. "Jika saja Wonwoo sialan itu tidak tertarik pada Yerim, maka kau tidak akan pernah duduk di sini." Lagi-lagi ia berucap pada diri sendiri. Jungkook tidak mempunyai teman yang dapat mendengar segala keluh kesahnya. Ah, dia memang tidak suka berteman. Merepotkan!
Tangan Jungkook mengacak rambutnya dengan frustasi. "Ah! Sudahlah, Kook! Apa yang mau kau ratapi di sini?!" Jungkook beranjak dari sana, pria itu memilih kembali ke kelasnya.
*
Yerim berjalan dengan tidak bersemangat menuju ke sekolah barunya. Sekolah barunya itu berada tidak jauh dari kawasan kumuh tempat tinggalnya. Ya, walau dalam mimpi pun Yerim tidak mau bersekolah di sana, bagaimana pun juga dia akan tetap bersekolah di sana. Kali ini Yerim berjanji akan belajar dengan sungguh-sungguh. Dia tidak akan pernah mengecewakan ayahnya lagi.
Gadis itu menghela napas beratnya. Hari ini adalah hari pertamanya di sekolah baru, tapi sama sekali tidak ada semangat membara. Malahan, dia sangat lemas dan enggan melangkahkan kakinya lebih jauh.
Tinggal beberapa meter lagi Yerim sampai di sekolah barunya. Tiba-tiba pikirannya melayang pada sosok Jungkook, pria yang sekarang sangat ia rindukan. Benarkah yang diucapkan Wonwoo? Yerim menyukai Jungkook? Ah, kali ini Yerim tidak bisa menutup fakta itu. Dia memang menyukai Jungkook, bahkan bisa dibilang cinta?
Tapi, apa boleh buat? Dia sudah mematahkan hati pria itu demi pria lain, yang tak lain dan tak bukan adalah kakak dari Jungkook sendiri. Yerim tidak berhak mengharapkan Jungkook, sekecil apa pun itu. Karena kesalahannya telah melukai perasaan pria itu.
Menyesal?
Sedikit. Dia tidak sepenuhnya menyesal karena lebih memilih Wonwoo daripada Jungkook. Dia malah merasa beruntung dapat mengenal Wonwoo sampai tahap ini. Tapi tetap saja! Sekarang rasa menyesal itu lebih mendominasi.
"Maaf, Nona, apa kau tidak apa-apa? Maaf sekali lagi, aku tidak sengaja."
Suara itu menyadarkan Yerim dari lamunannya. Ia menoleh pada seorang pria yang dari penampilannya, berumur sebaya dengan Yerim. Ah iya, pria itu juga menggunakan seragam yang sama dengannya.
"Ada apa?" tanya Yerim dengan wajah penuh tanya.
Pria itu memasang raut herannya, tangannya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Tadi aku menendang kaleng sembarangan dan tidak sengaja kaleng itu melayang ke kepalamu. Aku sungguh minta maaf." Pria itu membungkuk sopan.
Yerim nampak kebingungan. Mungkin, karena sibuk memikirkan Jungkook, dia jadi tidak memperhatikkan sekitar, dan tidak sadar dengan kaleng yang melayang ke kepalanya. "Ah begitu, ya." Tangan Yerim menggosok kepalanya, memastikkan tidak ada benjolan apa pun yang disebabkan kaleng itu. "Aku baik-baik saja." Yerim tersenyum. Senyum yang sangat jarang ia perlihatkan pada orang-orang dulu.
Pria itu masih nampak sangat menyesal. Namun, raut wajah menyesalnya berganti ketika menyadari Yerim mengenakkan seragam yang sama dengannya. "Kau satu sekolah denganku, tapi rasanya aku tidak pernah melihatmu...," pria itu melihan name tag yang dipakai Yerim. "Kim Yerim?" bacanya.
"Aku siswi baru. Ini hari pertamaku di sekolah baru," jelas Yerim dengan sopan.
"Benarkah?" Pria itu mengulurkan tangannya. "Aku Mark Lee, senang berkenalan denganmu, Yerim-ssi."
Yerim menerima uluran itu dengan senang hati. "Senang juga berkenalan denganmu, Mark-ssi."
*
"Lisa, Sana sudah sadar!" heboh Mina ketika mendapati mata Sana yang sejak dua hari lalu terus terpejam kini terbuka.
Sudah dua hari ini Sana tidak sadarkan diri. Hal itu membuat Lisa maupun Mina teramat khawatir. Dan kini mereka bisa bernapas dengan lega. Sana akhirnya sadar, dan itu membuat mereka merasa sangat bahagia.
Selama dua hari pula Mina dan Lisa selalu setia menemani Sana. Bahkan mereka sampai absen sekolah hanya karena ingin menemani Sana. Persahabatan mereka memang seerat ini. Mereka selalu menghargai apa itu arti sahabat.
Mata Sana terbuka sempurna. Bola matanya menjelajahi setiap inci langit-langit kamar rumah sakit.
"Sana, kau sudah sadar akhirnya!" Ingin rasanya Lisa memeluk Sana sangat erat, namun alat-alat medis yang dipasangkan di tubuh Sana membuatnya harus mengurungkan niat itu.
"Apa kau baik-baik saja? Katakan jika ada yang sakit, aku akan segera memanggil dokter." Mina mengelus lembut kepala Sana.
Sana yang masih menggunakan selang oksigen hanya diam tanpa merespon perkataan kedua sahabatnya. Bibirnya yang pucat tampak terkatup dengan rapat. Perlahan matanya kembali terpejam. Sana hanya ingin mencerna pristiwa yang menimpanya, namun otaknya masih belum bekerja dengan baik. Bahkan mencerna apa yang ducapkan dua sahabatnya itu pun ia tidak bisa.
"Kau hanya tidur, kan, Sana-ya?" Lisa bertanya pada Sana, takut-takut Sana pingsan lagi. "Hey, setidaknya jawab aku agar aku tidak khwatir lagi!"
"Apa kau bodoh? Biarkan dia istirahat. Jangan paksa dia menjawab pertanyaanmu yang tidak penting itu." Mina memutar bola matanya malas.
Lisa menghembuskan napasnya, lalu ia duduk di kursi yang tersedia di sebelah ranjang Sana. "Kau tau, kami sudah menghubungi orang tuamu. Mereka tidak bisa datang, mereka menyuruh kami untuk menjagamu. Aku tidak mengerti apa yang dipikirkan mereka saat menyuruh kami untuk menjagamu."
Mina langsung mencubit lengan Lisa. "Bisakah kau diam? Kenapa kau membicarakan hal itu di saat seperti ini? Kau benar-benar tidak punya otak."
Lisa meringis sakit. "Ya! Tidak usah mecubitku! Kau sama saja dengan ibuku!" Lisa mendumal kesal. Ia melirik Sana yang masih memejamkan matanya. "Lupakan itu! Yang harus kau tau, Jungkook-lah yang membawamu ke rumah sakit. Dia sudah seperti pahlawan. Bahkan, dia juga menemanimu saat hari pertama di rawat di rumah sakit. Walau tidak sehari penuh."
"Ah, jangan dengarkan dia! Kau istirahatlah, dua jam lagi dokter akan melihat kondisimu." Mina menarik selimut Sana, menutupi hampir seluruh tubuh gadis itu.
"Cepatlah sembuh, kami merindukanmu," bisik Mina tepat di telinga Sana.
*
*Kaburrrrr
KAMU SEDANG MEMBACA
Hate? (Hiatus)
Fanfiction"Apa kau sadar selama ini aku membencimu? tidak, maksudku dulu, dan sekarang aku justru sangat mencintaimu."