Yerim berada dalam kelas 1-8. Sementara itu, pemuda yang tadi bertemu dengannya berada di satu kelas yang sama. Kebetulan atau tidak, Yerim sedikit bersyukur karena setidaknya ia mempunyai satu teman.
Ketika ia pertama kali menginjakkan kaki ke dalam kelas, seisi kelas menatapnya dengan aneh, hanya Mark yang bertepuk tangan heboh sembari tersenyum lebar menatap Yerim yang sedang memperkenalkan diri di depan kelas.
Yerim duduk di bangku yang berada di belakang. Untungnya, Yerim sangat suka mendapat tempat duduk di barisan akhir dan bangku Mark tepat di depan bangkunya.
Selama pelajaran berlangsung, Yerim mendengarkan guru dengan sungguh-sungguh. Ia sudah berjanji pada diri sendiri untuk menjadi lebih baik. Tidak peduli apa, Yerim akan berusaha menjadi orang yang berbeda. Orang yang tidak akan menyusahkan orang sekitarnya.
Bel istirahat berbunyi. Mark langsung membalikkan tubuhnya menghadap Yerim. "Aku tidak menyangka kau akan menjadi siswi pindahan di kelasku."
Yerim tersenyum. "Aku juga," jawabnya singkat
"Lucu sekali, ini hari pertamanya di sini dan dia sudah mendekati siswa populer di sekolah!" Suara itu berasal dari bangku depan. Seorang siswi cantik berambut panjang, dengan sedikit gelombang di bagian bawah rambutnya.
"Kurasa itu yang dinamakan penggoda!" sahut siswi lainnya lantas mereka tertawa mengejek.
Yerim tau yang mereka maksud adalah dia. Namun, daripada membalas dan menimbulkan masalah, ia memilih mengabaikan mereka dan tetep mangobrol dengan Mark. Namun berbeda dengan Mark yang tidak bisa menerima sindiran itu. Dia merasa Yerim bukanlah penggoda. Pertemuan yang kebetulan tadi pagi membuat mereka menjadi teman, jika tidak ada pertemuan itu mungkin dia dan Yerim tidak akan mengbrol saat ini.
"Baca bukumu daripada membuang waktu untuk membicarakan orang lain yang sama sekali tidak kau kenal." Mark berkata dengan lantang seraya menatap dua siswi bermarga Lee itu.
"Apa yang dia janjikkan sehingga kau membelanya?" Lee Yeoreum bertanya dengan nada sinis, ia melirik sekilas ke arah Yerim.
"Apa namanya Kim Yerim? Bukankah kau dulunya adalah siswi Hanlim?" tanya Lee Gahyeon.
Yeoreum mengerutkan keningnya, berusaha mengingat sesuatu. "Ah! Apa kau Kim Yerim dari Hanlim yang gemar menindas itu?" Perempuan itu menengok ke arah Gahyeon. "Bukankah sepupumu sempat membicarakan dia?"
Gahyeon mengangguk. "Benar. Dia menindas orang karena orangtuanya kaya, tapi sepupuku bilang keluarganya sudah bangkrut." Gahyeon tersenyum penuh makna ke arah Yerim. "Pantas saja ia pindah ke sekolah yang biaya sekolahnya agak sedikit murah. Walau pun kita sama-sama sekolah di sini, tapi kau tetap yang paling menyedihkan."
Yerim tersenyum. Senyum yang kelewat manis hingga membuat siapa pun yang melihatnya akan jatuh dalam pesonanya. "Kau bahkan tidak mengenalku, lalu atas dasar apa kau mengatakan akulah yang paling menyedihkan diantara yang lain? Hanya karena sekarang aku miskin, bukan berarti aku menyedihkan. Aku masih memiliki seribu satu hal yang membuat aku senang selain uang. Kau tau apa? Sebaiknya tutup mulutmu sebelum aku menghancurkannya dengan tanganku." Selesei mengatakan itu, Yerim meringis menyadari perkataannya.
Berubah apanya! Mulutnya berkhianat!
"Dasar tidak tau malu!" Gahyeon mendengus lantas beranjak dari bangkunya. Yeoreum mengekor di belakang Gahyeon. Mereka berdua berjalan keluar kelas.
Mark menatap Yerim dengan tatapan yang sulit diartikan. Ketika Yerim menoleh ke arahnya, Mark masih saja menatap perempuan itu dengan seksama. Dia tidak sadar bahwa kali ini Yerim membalas tatapannya.
"Kenapa? Kau terkejut? Aku dulunya adalah seorang penindas yang telah membuat satu orang meninggal bunuh diri karena depresi. Menjauhlah jika tidak ingin aku tindas." Yerim berucap dengan kesal. Tidak. Dia tidak kesal dengan tatapan Mark yang aneh, namun kesal karena ia tidak bisa menahan diri untuk bersikap baik.
Dia pikir bersikap baik adalah tindakan yang mudah. Tapi bahkan dipancing sedikit saja emosinya sudah tersulut. Yerim beranjak dari bangkunya, melangkah keluar kelas dan hendak mencari tempat sepi untuk menenangkan diri. Namun, pergelangan tangannya ditahan oleh Mark.
"Bolehkah aku lebih mengenal dirimu?"
***
Ketika jam pulang tiba, Naeun memutuskan untuk menjenguk 'kakak kelasnya' yang sedang terbaring dirumah sakit. Dia tidak begitu dekat dengan Sana. Ah tidak. Bahkan mereka tidak dekat sama sekali. Namun karena ia adalah orang yang baik hati dan peduli, ia memutuskan menjenguk kakak kelasnya itu.
Di rumah sakit dimana Sana dirawat, Naeun tak bertanya ke resepsionis terkait kamar rawat Sana. Ia sudah tau persis di kamar mana Sana dirawat.
Di depan pintu ruang rawat, Lisa kebetulan lewat dan langsung masuk ke dalam. Naeun tersenyum tipis dan membuka pintu itu dengan perlahan. Pemandangan yang ia lihat di dalam adalah Sana yang sedang makan disuapi oleh Mina. Sungguh pemandangan yang mengharukan. Naeun yakin kedatangannya akan merusak suasana itu.
Menyenangkan.
Sana melotot kaget ketika melihat Naeun masuk ke dalam kamar rawatnya. Tubuhnya bergetar dengan keringat dingin yang mulai membasahi kedua telapak tangannya.
Mina dan Lisa kompak melihat ke arah pandang Sana. Mereka melihat Naeun dengan tatapan aneh. Lisa akhirnya mulai angkat bicara. "Maaf?"
Naeun tersenyum pada Lisa. "Aku kebetulan melihatmu masuk ke kamar ini. Jadi aku pikir orang yang sakit adalah orang terdekatmu. Aku hanya datang untuk sekadar menyapa."
"Kau masuk sembarangan. Itu tidak sopan," ujar Lisa sambil mendengus sinis.
Naeun membungkuk. "Maafkan aku. Aku tau aku sangat lancang. Sekali lagi maaf." Dia mengucapkan kata maaf tadi bibirnya tersenyum lebar, dia terlihat sangat bahagia. "Aku tidak menyangka bahwa salah satu kakak kelasku yang terbaring di sini."
"Bisakah kau pergi? Sepertinya Sana tidak nyaman kau di sini," ucap Mina.
"Karena aku sudah di sini, aku ingin bertukar beberapa kata dengannya."
"Dia belum bisa bicara. Pergilah, gadis lancang."
Tidak ada yang lebih tau kondisi Sana selain dirinya. Naeun tidak terkejut lagi mendengar perkataan Lisa. "Bolehkah aku bicara denganmu berdua saja? Aku ingin mengatakan sesuatu yang penting." Perkataannya ditunjukkan untuk Sana.
Lisa memutar bola matanya malas. "Apa yang ingin kau katakan?"
"Aku sebenarnya sangat mengagumi Sana sunbae. Aku hanya ingin mengungkapkan rasa kagumku. Tapi aku malu jika kalian berdua mendengarnya." Naeun kembali menatap Sana dan tersenyum padanya. "Boleh, kan?"
Sana yang melihat itu kembali bergetar. Namun kepalanya mengangguk tanpa sadar. Mendapat persetujuan dari Sana, Naeun terlihat senang.
Lisa dan Mina terpaksa keluar dari ruangan. Mereka menunggu di tempat duduk depan ruangan.
Senyum Naeun masih setia terpantri di wajahnya. Kakinya yang putih berjalan mendekati brankar, ia menatap Sana dengan tatapan yang lembut. Tangannya terulur mengelus puncak kepala Sana. "Bagaimana keadaanmu setelah aku tusuk?" tanya Naeun lembut. "Seharusnya kau mati saja," lanjutnya.
Pergerakkan tangan Naeun berhenti. Tatapan penuh kelembutan itu berubah menjadi tatapan yang aneh dan agak membuat merinding. Senyum lebar yang sedari tadi terpantri di wajahnya kini lenyap tanpa jejak. Naeun mendekatkan wajahnya ke wajah Sana.
"Aku hanya ingin kau tidak menyangkut-pautkan namaku dalam penusukkan yang kau alami."
****
*kabur lagi
KAMU SEDANG MEMBACA
Hate? (Hiatus)
Fanfiction"Apa kau sadar selama ini aku membencimu? tidak, maksudku dulu, dan sekarang aku justru sangat mencintaimu."