Chapter 12

600 30 0
                                    

Max Pov

Tiba-tiba saja dadaku nyeri dia berbicara ketus seperti itu. Aku tidak pernah melihatnya bersikap dingin seperti ini selama kami bersama. Aku tahu bahwa aku sudah membuatnya sangat kecewa.

Dadaku menjadi semakin sakit saat mataku melihat ke jari manisnya. Di sana melingkar sebuah cincin yang selalu menjadi impianku kelak bisa ku pakaikan padanya. Tapi, bukan aku yang menyematkan cincin itu namun pria lain.

"Mau bicara apa? Aku masih ada kerjaan!"
Ucapan Della menyadarkan diriku bahwa yang kualami saat ini bukan mimpi.

"Del, sebenci itukah kau padaku?" entah mengapa aku begitu menyedihkan.
"Kamu pikir?" jawabnya masih dengan nada ketus.
"Aku memang pantas menarima semua perlakuan sikapmu saat ini. Tapi, paling tidak dengarkan dulu penjelasanku."

"Apalagi Max? Apakah tidak cukup bagimu untuk menyakitiku?"
Bisa kulihat raut wajah Della berubah sendu.

"You know very well if the woman who I loved. Since for the first time we met, just you. Only you."

"Tapi semua ucapanmu sudah tak berarti lagi bagiku, Max. It's too late."

"No. Kumohon beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya."

Della hanya menatap kosong ke gelas minumannya. Aku mendekat duduk di sebelahnya. Dia meggeser tubuhnya menjauhiku. Harum orange yang menyegarkan dari tubuhnya sudah kurindukan. Dia saat ini begitu dekat denganku tapi terasa asing dan jauh sulit untuk dijangkau.

"Apa kamu tidak ingin tahu bagaimana hubunganku dengan Janiz?" kupancing dia. Selama 6 tahun aku mengenalnya, Della merupakan wanita yang mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi. Walaupun kadang dia tidak mau mengakuinya.

Dia melirikku dan menaikkan satu alisnya yang indah itu. Aku kembali mendekatkan tubuh kami. Dan kali ini dia tidak menghindar.
"Siapa Janiz? Aku gak kenal!"

Dengan perasaan ragu aku memegang tangannya.
"Jangan pegang-pegang bisa kan?"
Inilah sifat Della yang tidak semua orang tahu. Dibalik sikap teramentalnya sebenarnya dia sedang merajuk. Dan aku merasa lega akan itu. Berarti dia sudah mulai terbuka padaku.

"Kamu tidak mau mendengar ceritaku?" tanyaku padanya. Della hanya diam masih di mode juteknya.

Tanpa menunggu tanggapan darinya, aku melanjutkan ceritaku.

"Awal pertemuanku dengan Janiz adalah saat pesta ulang tahun Nova. Kamu pasti tahu Nova, kita pernah double date bareng waktu nonton."

Perhatian Della mulai terfokus pada ceritaku. Kami memang pernah pergi nonton bareng dengan Nova dan pacarnya. Tapi kami lebih sering pergi rame-rame dengan Satria dan Shilla.

"Janiz itu junior kami. Dia kenalan Nova. Terus kami kenalan di pesta itu. Sejak itu aku dan dia jadi sering ketemu di kampus. Aku hanya mengganggap dia sebagai teman aja gak lebih Del." jelasku penuh dengan penekannan di akhir kata.

"Dan semakin mengenalnya aku jadi tahu kalau dia punya perasaan padaku yang tidak mungkin kubalas. Karena aku hatiku sudah terisi oleh wanita lain. Yaitu kamu. Karena itu aku mulai menghindarinya. Aku tidak mau dia salah artikan sikap baikku."

Aku terus memperhatikan perubahan pada wajah Della.
"Terus?" tanyanya.
Aku tersenyum mendengar itu.
"Kenapa senyum-senyum? Kalau memang hanya aku yang ada di hatimu seperti katamu tadi. Kenapa dia bisa hamil anak kamu!"

Aku menarik nafas sejenak untuk menata setiap kata yang akan kujelaskan padanya agar tidak lebih menyakitinya.
"Malam itu setelah kamu mengatakan bahwa kamu akan dijodohkan dengan pria lain. Aku pergi dengan Nova ke club. Di sana aku minum terlalu banyak alkohol. Rasa frustasiku karena penolakan kedua orangtuamu, membayangkan dirimu dimiliki oleh orang lain. Itu membuatku hancur dan terluka Del. Di saat itu Nova mendapatkan telfon kalau Zara pacarnya kecelakaan. Jadi dia menelfon Janiz untuk mengantarkan ku pulang."

The Gay Man Is My Future Husband ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang