Badanku terasa lelah sekali setelah bolak balik dari butik ke pabrik tempat aku memesan bahan dasar pembuatan tas. Gara-gara kejadian kemarin semua pekerjaanku banyak yang tertunda. Syukurlah sekarang semua hampir selesai. Dua minggu lagi semua pesanan tas yang kuterima harus di kirim.
"Masih sibuk kerja?" Maya duduk dikursiku menatapku yang sedang berjongkok memilah desain yang dipesan.
"Hm" gumamku sambil mengangguk tanpa melihatnya.
"Pernikahanmu sebentar lagi, kurangi aktivitasmu. Kamu kan punya asisten. Serahkan padanya."
"Tapi ini harus gue yang handle. Customer yang ini agak ribet. Oh ya kayaknya gue batal nikah." sekarang aku melihat ke arah Maya yang langsung menatapku dengan wajah yang sebentar lagi akan murka."Della...jangan bercanda. Setelah semua tinggal menunggu hari dan undangan tersebar luas, loe bilang batal?"
"Iya...." jawabku tanpa dosa.
"Loe gila. Ingat yang loe bicarakan itu bukan hanya keluarga Ben tapi juga keluarga besar loe." Maya benar-benar murka.
"May, loe gak ingin tahu kenapa gue melakukan itu?"
"Max?"
"Bukan. Seandainya gue bisa memperjuangkan dia, pasti sudah gue lakukan. Tapi gue dan Max seolah menyerah dengan keadaan ini." aku kembali sedih jika harus mengingat Max.
"Lalu apa?" suara Maya melembut.
"Ben tidak akan bisa suka sama gue."
"Rasa suka akan timbul dengan berjalannya waktu." jawab Maya santai.
"Maksud gue, dia lebih suka pisang daripada jeruk." kenapa aku jadi sulit untuk menjelaskannya.
"Ya loe kasih dia pisang setiap hari biar jadi suka sama loe."
"Maya....... Bukan itu."
"Loh, terus apa an?!"
"Dia.... Suka.... Pria.... Yang punya... Pisang... Daripada gue dan loe yang punya ini....!" aku sengaja mengarahkan tanganku ke dadaku sendiri.Maya nampak berpikir, "Tunggu maksud loe, dia.... Gay...?"
"He em..."
"Astaga.... Tambah lagi populasi pria ganteng suka main pedang. Dunia gak adil!!!"
"Karena itu, kalau gue terus meneruskan pernikahan ini yang ada malah gue gak bahagia."
"Benar juga ya...Sayang sekali ya, kenapa Ben yang sempurna seperti itu tidak tertarik dengan kemolekan tubuh kita." kami menarik nafas bersamaan.^^^^^^^^^^
Aku saat ini berada di rumah sakit terbesar di Jakarta. Aku mempercepat pergerakan kakiku agar segera cepat sampai tempat tujuanku. Di ruang VVIP 10, kata itu terus terngiang di kepalaku setelah mendapat telfon dari bunda. Tante Ratna tiba-tiba drop dan harus dirawat intensif. Kata bunda, tante Ratna terus memanggil namaku. Jantungku berdegup kencang mendengar kabar itu. Semoga saja dia baik-baik saja.
Kakiku melambat saat aku melihat Ben berdiri di sudut lorong. Dia melihat ke arahku, mungkin setelah mendengar langkah kakiku.
Aku dengan perlahan mendekat, sambil menata debaran jantungku yang tambah menggila. Kenapa wajah Ben begitu terlihat menyeramkan. Semakin mendekat dengannya, aku merasa seperti sedang menghampiri malaikat maut. Sungguh, Ben benar-benar menakutkan saat ini.
"Hm...bagaimana keadaan tante?" tanyaku ragu-ragu.
Ben tidak menjawabku. Matanya tidak lepas terus menatapku penuh dengan amarah.
Tiba-tiba dia menarik lenganku dan mendorongku hingga posisiku terhimpit antara tembok dan tubuhnya.
"Apa yang sudah kau katakan pada mommy?!" suaranya sedikit bergetar namun lebih ke geraman.
"A... Aku tidak tahu maksudmu. Ben sakit." rengekku karena cengkraman pada lenganku sangat menyakitkan.
"Gara-gara kau mommy jadi kolaps!"
"Karena aku?"
"Ya! Akibat perkataanmu dia sekarang sedang sekarat!" Ben semakin mempererat cengkramanannya padaku.
"Pernikahan kita akan tetap terjadi. Dan kupastikan kau akan membayar atas apa yang terjadi pada mommy. Della Ulani, akan kubuat hidupmu menderita selama kau menjadi istriku!"Glek.
Susah payah aku menelan salivaku. Air mataku tak bisa kubendung lagi. Perasaan campur aduk antara rasa bersalah dan takut."Maaf Ben, aku tidak bermaksud membuat tante seperti ini. Aku tidak tahu kalau ucapanku akan berdampak seperti ini hiks... "
Aku benar-benar menyesal.
"Hiks...Ben, aku juga menyayangi tante hiks."
"Bullshit!"
"Sakit...hiks... Lepas Ben., hiks hiks... "
"Ini belum seberapa Della. Aku kubuat kau merasakan lebih dari ini." Ben mendekat ke telingaku dan berbisik.
"Tunggu saja." seringai di bibir Ben terlihat menakutkan. Dia melepaskan lenganku dan melangkah pergi dari tempatku. Kakiku terasa lemas, tubuhku luruh di lantai rumah sakit. Aku butuh seuatu pegangan dalam situasi seperti ini.Kukumpulkan segala tenagaku berjalan menuju mushola rumah sakit. Setelah berwudhu, kupakai mukena yang sudah tersedia di sana. Aku mulai menata nafasku, mengucapkan doa niat sholat Isya'.
Di ruangan kecil ini terasa damai dan menyejukan jiwa. Ada beberapa orang lain yang juga melakukan hal sama denganku. Ah mungkin mereka juga butuh pengaduan kepada Illahi sepertiku. Air mataku sudah beehenti mengalir. Tapi perasaanku masih diselubungi kekhawatiran. Segala sesak di dada sudah ku tumpahkan kepada-Nya. Dan aku harus menghadapi ini.
Dengan keberanian dan keyakinan aku menuju ruang rawat inap tante Ratna. Sesampainya di sana kedua orang tuaku duduk berdampingan dengan om Jay yang tampak begitu lesu. Ben duduk di kursi di samping ranjang tempat tante Ratna berbaring. Hidungnya tertutup masker oksigen. Di ruangan itu hanya terdengar suara mesin deteksi jantung.
Tak kuhiraukan tatapan Ben dengan sorot mata tajam. Aku mendekati bunda dan duduk di sebelahnya.
"Om, maafkan saya. Della tidak..."
"Sudahlah Dell, tidak apa-apa. Tante juga sudah lepas dari masa kritisnya."
Bunda membelai halus rambutku."Mom, are you okey?" suara Ben mengagetkan kami semua.
Benar saja tangan tante Ratna mulai bergerak. Perlahan matanya terbuka. Menatap kami satu persatu. Tatapannya berhenti padaku.
"De...Dellaaa... " tangan tante Ratna terangkat mencoba meraihku. Aku secepat kilat mendekatinya. Menggenggam kuat tangan tante Ratna.
"Tante, maafin Della." entah mengapa air mataku mengalir begitu saja. Rasa lega menghinggapi dadaku yang sejak tadi kalut.Tante Ratna menggelemah. "Tante yang seharusnya minta maaf sama kamu. Karena tidak memberitahukan kebenarannya padamu."
"Kebenaran apa Rat?" ayah dan bunda bingung.
"Begini, Aryo sebenarnya Ben... "
"Ayah bunda" aku menyela perkataan om Jay.
"Sebenarnya Della sempat mengatakan pada tante Ratna untuk membatalkan pernikahan. Dan membuat tante Ratna shock sehingga Ben marah sama Della." tidak hanya om Jay dan tante Ratna tapi Ben juga terkejut mendengar penjelasanku. Aku tak ingin kedua orang tuaku tahu tentang penyimpangan Ben. Aku tahu mereka pasti akan menetang habis-habisan.
Kutatap tan Ratna, memberikan isarat bahwa semua akan baik-baik saja."Mom, Dad dan tante om mumpung semua ada di sini. Aku ingin memberitahu satu hal." semua perhatian tertuju pada Ben.
"Aku dan Della sepakat pernikahan kami dipercepat. Satu minggu dari sekarang."
Berbeda denganku yang bagaikan disambar petir di siang bolong. Kedua orang tuaku dan Ben terlihat tersenyum bahagia. Aku tidak mengerti kenapa Ben begitu ngotot mempertahankan perjodohan ini. Dan terlintas di kepalaku perkataan Ben saat di lorong tadi.
"Pernikahan kita akan tetap terjadi. Dan kupastikan kau akan membayar atas apa yang terjadi pada mommy. Della Ulani, akan kubuat hidupmu menderita selama kau menjadi istriku!"Ya Alloh, tolonglah hambamu......
∆∆∆∆∆∆∆∆∆∆∆∆∆∆∆∆∆∆∆
KAMU SEDANG MEMBACA
The Gay Man Is My Future Husband ✅
RomantizmUpdate sesuai mood author Ben Ivander Asher Usia 29 tahun, penerus dari Ash's Corp. Anak semata wayang yang menjadi kebanggaan orang tuannya. Wajah tampan, body sexy, kaya raya tapi mempunyai sifat keras kepala dan suka memerintah. "Kamu harus nur...