0.38 𝒘𝒂𝒌𝒆 𝒎𝒆 𝒖𝒑 𝒇𝒓𝒐𝒎 𝒏𝒊𝒈𝒉𝒕𝒎𝒂𝒓𝒆

14K 1.7K 549
                                    

[ 𝗽 𝗶 𝘁  𝗮  𝗽 𝗮 𝘁 ]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[ 𝗽 𝗶 𝘁 𝗮 𝗽 𝗮 𝘁 ]

Sepanjang perjalanan menuju apartemen Lilia, aku terus-menerus mencengkram gaunku. Perasaanku berkecambuk tak karuan. Aku memejamkan mataku lalu berkali-kali menghembuskan nafas, berusaha menenangkan emosi yang bergejolak.

Yuta sedari tadi juga tak banyak berbicara. Mungkin dia sendiri bingung ingin berkata apa. Jika aku berada di posisinya, aku pasti akan melakukan hal yang sama dengan Yuta.

Langit sedari tadi sudah mendung, aku melirik ke atas, berharap hujan akan datang secepatnya— menemaniku yang sedang merasa kacau. Apa langit juga sedang sedih sepertiku?

Mobil Yuta berhenti tepat di depan kawasan apartemen besar yang ku yakini adalah apartemen Lilia.

"Maaf Jean. Saya sebenarnya nggak boleh bawa kamu kesini. Bukannya saya bermaksud ikut campur urusan keluarga kalian, tapi kayaknya kamu harus lihat dan tau sendiri sama hal yang satu ini," Mataku menatap Yuta yang juga melihatku, dengan pandangan sendunya. Aku tersenyum pahit.

"Nggak pa-pa. Makasih ya Yut udah mau nganterin sampai sini."

Tanpa menunggu jawaban dari Yuta, aku langsung beranjak keluar dari mobil dan berjalan memasuki apartemen di hadapanku. Kini aku menilik pada nomor kamar apartemen yang tertulis di kertas tadi.

1609.

Semakin aku berjalan masuk ke dalam, rasanya kakiku pun semakin lemas. Aku belum mempersiapkan apapun untuk menghadapi situasi seperti ini. Jantungku berdebar kencang, aku mulai berancang-ancang membuat segala jenis skenario yang akan terjadi nantinya.

Sehabis memencit tombol lift, aku kembali mengigit pelan bibirku. Satu hal yang aku rapalkan sedari tadi; ku harap tidak ada keberadaan Kak Jaehyun disana.

Lift terbuka. Membuat kakiku melangkah maju, mencari angka yang pas dengan nomor di kertas ini. 1607, 1608, dan ini dia, 1609.

Aku mengeratkan kepalan tanganku, bersiap-siap untuk membunyikan bel kamar itu.

Otakku terasa pening saat merasakan emosi yang menggebu-gebu bersatu dengan pikiran yang meracau tidak karuan. Tanganku sudah berkeringat dingin, entah sejak kapan tepatnya.

Dan akhirnya, aku berhasil memencit belnya.

Dalam benakku, aku sibuk menyiapkan kalimat apa yang harus ku lontarkan sebagai sapaan nantinya. Apa aku harus ramah? Atau sebaliknya?

Detik demi detik yang ku lalui rasanya terlalu lama, debaran jantungku menggila. Seakan-akan menunggu pengumuman kejuaraan.

PIT A PAT ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang