02. CINTa

57 9 3
                                    

"Cik cik periook bilanga sumping dari jawe.Datang nek kecibook bawa kepiting dua ekook.Cak cak bur dalam bilanga iddung Pucak gigi rongak.
Sape kitawa dolok dipancung raje tunggal." Nyanyi ucup mengikuti instrumen piano yang menggema seantero sekolah, pertanda istirahat tiba.

"Kantin yuk," ajak Pita

"Maaf ya, gue harus ke perpus mau cari buku buat nambah materi kimia,"

Pita menghela nafas panjang, selalu saja begitu. Seharusnya Lavani juga bisa mengimbangi antara belajar dan istirahat. Sudah seringkali Pita menasehatinya, namun ia tetap dengan pilihannya. Semua Lavani lakukan untuk kedua orangtuanya.

Lavani langsung berjalan menuju perpus dengan bungkusan yang berisi roti ditangannya. Perpustakaan di sini memang membolehkan siswa untuk makan namun tetap harus menjaga kebersihan.
Perpustakaan tidak terlalu jauh dari kelas Lavani, jadi ia tidak akan merasa risih jika dipandang banyak siswa yang sedang bersantai di koridor. Lavani cukup terkenal di SMA Harapan Bangsa. Selain karena kepintarannya, ia juga dikenal karena selalu ribut sama Jagat, dan awak-awaknya. Sungguh hal ini sama sekali tak diinginkan Lavani, dia hanya ingin hidup damai.

Setelah sampai, ia langsung menuju rak berisikan materi Mipa kelas X.
Matanya menatap buku yang ada di bagian atas rak.

"Yaaah, kenapa harus di rak yang tinggi sih," ocehnya

Tanpa sadar ada seseorang yang langsung mengambil buku itu dan memberikannya pada Lavani.

"Nih,"

Lavani langsung mengerjapkan matanya dan mendongak, Saka.
Ya, Saka yang mengambilkan bukunya.

"Thanks," balas Lavani

Lavani langsung menuju meja pojok dekat jendela. Sepertinya senyawa-senyawa ini menarik dipelajari jika dibaca ditempat yang menurutnya nyaman.

Ia tak sengaja memandang luar jendela, lapangan basket. Benar kata Pita, Geo tampaknya sudah lihai mendribble, dan memasukkan bola ke dalam ring.

Tak mau menyia-nyiakan waktu, kini Lavani membaca lembar demi lembar buku dengan seonggok nama-nama unsur, sembari mengunyah roti yang dibawanya tadi.

Sedari tadi Saka terus memperhatikan Lavani. Tatapan yang sulit diartikan.

Lavani yang merasa dipandang pun langsung memergoki Saka yang sekarang kelagapan. Entahlah, bagi Lavani Saka adalah cowok dingin, misterius, dan sedikit aneh. Makin aneh karena mau gabung sama gang Jagat, cowok nyebelin sejagat raya.

Tak lama, lonceng berbunyi. Pertanda jam pelajaran selanjutnya akan dimulai. Lusa langsung beranjak dari bangku perpus.

"Ava, penanda buku Lo," ucap Saka

"Kenapa nih mulut bisa jadi keceplos manggil Ava, belum saatnya Saka," batin Saka

Lavani memandangnya dengan raut wajah bingung, "Ava?"

"Maksud gue Lava," ucap Saka tetap dengan raut wajah datar.

Lavani tak memusingkan hal itu, karena ini sudah masuk. Menurutnya kehilangan 1 menit pelajaran saja adalah hal yang merugikan. Ia langsung mengambil penanda bukunya dan langsung segera menuju kelas. Tentunya ia tak lupa mengucap makasih pada Saka.

"Dari mana Lo?" tanya Pita

"Biasa,"

Seharusnya Pita tak perlu bertanya lagi, karena ya pasti jawabannya selalu sama, ia baru dari perpustakaan.

Hai Lava! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang