16

55 14 0
                                    

Co: Hujan ya? Kenapa suka dengan hujan nona? Apakah ada ribuan pilu dengan jutaan ceritamu nona? Bolehkah aku dengar sebagian ceritamu? Itupun, bila kamu percaya untuk bercerita kepadaku.

Ce: Siapakah kamu? Tau apa kamu tentang hujan dan aku di senja ini?

Co: Aku? Aku ya aku, nona.
Yang selalu memperhatikanmu dari belakang.
Tiap kali hujan jatuh membasahi muka bumi.
Dalam senja, kamu pasti ada.

Ce: Tunggu, apa kamu bilang?
Selalu memperhatikanku? Ketika...

Co: Ya, ketika hujan jatuh. Disitu ada jutaan butir air mata yang kamu jatuhkan, Deras seperti hujan.
Mungkin yang lain tak mampu.
Mendengar jeritan-jeritan kepedihanmu.
Tapi aku..

Ce: Tapi apa? Apa kamu seakan tau tentang sebuah pilu? Hujan yang selalu kusapa dengan tangisanku?
Lelaki semua sama saja.

Co: Tunggu, Apa kamu bilang?! Sama?! Lelaki itu semua sama?!
Baik, aku paham. Apakah tangisan itu hadir karna kecewamu pada lelaki itu nona?

Ce: Sudah, cukup. Aku bilang cukup!

Co: Nona, dengarlah. Bila hanya untuk lelaki yang telah mengecewakanmu, kamu menangis. Apakah dia sama menangisimu juga?

Ce: Cukup.. Aku mohon cukup..
Kamu tidak tau bagaimana rasanya ketika semua kepercayaanku dihempaskan begitu saja.
Kamu tidak tau bagaimana rasanya menyayangi tapi di belakangi begitu saja.

Co: Udah nona.
Jangan kau perjelaskan hal itu. Usaplah tiap tetesan air matamu.
Tak pantas kamu jatuhkan air mata itu. Hanya untuk lelaki yang tak setia.

Ce: Tapi aku, A.. Aku..

Co: Sudah, bila kamu izinkan, biarlah cintaku yang mengusap air matamu itu dengan sapu tangan yang selalu aku selipkan dibalik buku-bukumu.

Ce: Jadi itu kamu? Yang selalu memberikan sapu tangan dan secarik kertas berisi puisi?

Co: Iya, itu aku.
Tapi, kamu tak pernah paham. Bahwa di belakangmu ada seseorang yang menyayangimu. Dan itu aku. Bukan dia.

Ce: Tapi kenapa harus dengan cara itu? Kamu...

Co: Sudahlah, jangan kau bahas lagi.
Sekarang kamu sudah tau. Aku, lelaki yang selalu bilang dalam secarik kertas itu. Aku sayang kamu.

Ce: Sebanyak apapun puisi yang kamu tulis dan kamu selipkan. Jika tanpa kamu cantumkan namamu, hembusan angin sekalipun takkan tau. Apalagi aku? Asal kamu tau.

Co: Sudah, cukup aku. Iya, ku akui aku salah. Alasanku tak mencantumkan namaku hanya karena..

Ce: Karna apa? Apa kamu takut?
Ya, kamu takut.

Co: Bukan karna itu. Bukan takut.
Tapi, ada nama lain yang sedang bersamamu.

Ce: Iya, nama lain itu kamu. Kamu yang aku cari. Yang selalu membuat remuk hati dalam setiap kata- kata dalam puisimu itu. Dan ingat, bukan yang lain.

Co: Bodoh. Aku bodoh nona.
Maaf, boleh aku peluk kamu nona? Agar aku bisa membisikkan kedalam hatimu. Terima kasih telah menjaga tiap kata-kata itu dan aku.

Ce&Co: Aku.. Sayang kamu

Halo_Yasmin






PerasaankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang