01

66.4K 3.2K 351
                                    

Suara teriakan dan lenguhan tak tertahan terus menggema di ruang bersalin nomor tiga di rumah sakit St. Bertha. Seorang wanita berkulit tan mencengkram kuat pinggiran ranjang dengan rahang yang menegang, urat di sekitar pelipisnya nampak tercetak jelas dengan butiran peluh sebesar biji jagung yang terus menetes ke bantal. Air mata tidak dapat dihindarinya, rasa sakit ini adalah rasa sakit spesial yang tidak akan pernah dia lupakan sepanjang hidupnya.

Belum genap sembilan bulan janin itu dikandungnya, tapi nampaknya si buah hati ini ingin lebih cepat melihat dunia dan ibunya. Di usia kandungannya yang ke tujuh tepat pada tanggal lima Februari, seorang Lee Haechan mempertaruhkan segala sisa hidupnya untuk memperjuangkan hak hidup anak pertamanya. Sudah hampir tiga jam dia melalui rasa sakit yang setiap detiknya menyentak tulang-tulangnya sekaligus.

“Sedikit lagi, Ny. Lee.” Ucap dr. Jung. “Kepalanya sudah kelihatan.”

Haechan semakin semangat. Ketika kepala si kecil sudah kelihatan, itu artinya semuanya hampir selesai dan dia bisa melihat anaknya.

Dalam hitungan beberapa detik, suara tangisan terdengar mengalahkan kicauan dan hiruk-pikuk di lorong rumah sakit. Permata hatinya, malaikatnya, bayi kecilnya, anak yang senantiasa dijaganya, akhirnya lahir di dunia ini. Air mata Haechan makin deras, dia tidak kuasa menahan luapan kebahagiaan dari dalam tubuhnya.

“Dia seorang bayi laki-laki yang tampan.” Salah satu suster mendekatinya dengan membawa bayi mungil yang masih dipenuhi darah itu ke sisi Haechan.

“Akhirnya Mommy bisa bertemu denganmu, sayangku Lee Jisung. Selamat datang di dunia.”
Bayi kemerahan itu sangat mungil dan nampak rapuh. Dirinya yang lahir prematur terpaksa harus mendekam di inkubator sampai kondisinya memungkinkan untuk dibawa pulang. Haechan yang baru selesai melahirkan dan dibersihkan, terbaring lemas diatas ranjangnya bersama seorang wanita berwajah manis dengan rambut tergulung.

“Kau sangat kuat, Haechanie.” Puji wanita itu dengan tatapan berbinar.
“Kau yang merasakannya duluan, Jungwoo-eonni.” Katanya parau.
“Ahaha iya juga. Sekarang Chenle-ku punya teman bermain. Dia punya adik yang harus dijaga.” Haechan hanya tersenyum mendengar celotehan polos sahabatnya yang sudah dia anggap sebagai kakaknya ini.

“Oh iya, Chenle kau tinggalkan sendirian?” tanya Haechan dibalas gelengan kuat oleh Jungwoo.
“Lucas mendapat libur hari ini. Dan begitu mendengar kau akan melahirkan subuh ini, dia langsung menyuruhku untuk menemanimu dan akan menyusul kalau Chenle sudah bangun tidur.”

Krieet

Suara pintu rawat Haechan terdengar, menandakan ada seseorang yang datang. Laki-laki tinggi besar masuk dengan kepayahan karena menggendong seorang bayi lelaki sambil menenteng sebuah totebag besar.

“Haechanie-aunty, Chenle tampan dan baba-nya datang untuk melihat adik Jisung.” Ucap lelaki itu dengan suara yang dibuat-buat imut.
“Astaga, Luke!” Pekik Jungwoo ketika melihat sang suami menggendong anak mereka dalam posisi yang mengerikan. Dia langsung mengambil alih bayi empat bulan itu dari gendongan si papa.
“Leher Chenle bisa terkilir kalau kau menggendongnya seperti itu!” kesal Jungwoo.
“Hehehe, maaf sayang. Aku sangat antusias kemari, Chenle juga kan, sayang?” lelaki itu menjawil gemas pipi mochi putra pertamanya dan mencium lekat kening sang istri.

Ketiganya kembali pada Haechan yang sedari tadi hanya memperhatikan keluarga kecil yang sedang bercengkrama di hadapannya.

“Bagaimana keadaanmu, Haechan?” tanya Lucas.
“Sudah lebih baik, hanya masih lelah.” Jawab Haechan dengan mata yang sayu.
“Kau bisa beristirahat setelah ini. Kami membawakan hadiah untukmu dan Jisung. Ah aku sangat penasaran dengan anak itu.”

Untold Pain [MarkHyuck (GS)]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang