26

11.5K 1.4K 400
                                    

Enjoy it



.
.
.
.





Drap Drap Drap

"Yah, Chenle Wong! Mau kemana kau?!" Suara Renjun menggema di koridor sekolah.

Kaki panjang pemuda Wong itu tidak berhenti, namun mulutnya membalas teriak.

"Rumah sakit!"

Renjun yang ingin teriak lagi akhirnya urung. Dia tahu ayah Chenle masih belum sadarkan diri, dan melihat Chenle buru-buru begitu pasti ada yang tidak beres. Renjun hanya bisa menggigit bibir bawahnya, sambil berpikir alasan yang bagus untuk menjelaskan ke guru soal Chenle yang pergi di tengah jam sekolah. Berharap guru mereka mau memberi pengertian.

"Taksi!"

Chenle duduk dengan gelisah di kursi tengah. Sekitar lima menit yang lalu, dia mendapat telpon dari Mamanya. Wanita cantik pertengahan 30 itu tersedu-sedu dengan suara bergetar dan parau.

"Baba-mu mendadak kejang." itu yang didengar Chenle, dan tanpa basa-basi si lelaki dengan tawa lumba-lumba itu berlari membolos jam sekolah.

"Kumohon, tunjukkan kuasa-Mu. Aku menyayangi Baba-ku, begitu pun dengan Mama. Buatlah dia tetap di sisi kami lebih lama lagi. Engkau yang Maha Baik." Segala kalimat doa hanya bisa Chenle bisikkan dalam hatinya. Bibirnya terlalu kelu untuk bicara.

Chenle tidak peduli sudah berapa kali dia mendapat teriakan dan peringatan dari suster yang memintanya untuk lebih memperhatikan langkahnya karena suasana rumah sakit benar-benar sedang crowded.

Brak

Tubuh Chenle menegang, nafasnya tertahan. Dia hanya bisa mendengar suara tangis ibunya yang sangat pilu. Jungwoo di sana, di samping tubuh Lucas yang masih terbaring dengan tangan yang bebas dari jarum infus digenggam erat olehnya. Sementara ranjang Lucas dikelilingi oleh dokter dan suster. Apa yang terjadi?

"Luke.." suara Jungwoo memanggil-manggil.
"Jangan tinggalkan aku."

Chenle jatuh terduduk di depan pintu ketika dia sadar apa yang baru saja terjadi. Mata bulat yang selama beberapa hari ini terpejam, baru saja mengerjap padanya. Bahkan bibir yang lama terkatup itu baru juga tersenyum padanya.

Chenle memeluk lututnya, menenggelamkan wajah di antara perut dan lututnya dan menangis sendirian, tidak ikut bergabung dengan ibunya. Dia lega. Tuhan mengabulkan doanya.

.
.
.
.

Jangan tanya mereka ada di mana sekarang. Mark dan Haechan pun juga tidak bisa berkata-kata dengan situasi yang sedang mereka jalani saat ini. Fakta yang mengejutkan bagi keduanya jika sekarang mereka berada di kamar mandi.

Ya. Benar. Kamar mandi.

Mereka berada di kamar mandi. Berdua. Benar-benar hanya berdua. Tidak ada orang lain. Mengejutkan? Tentu saja.

Mark menggulung lengan kemejanya setinggi siku. Kedua kancing teratas kemejanya juga dia buka. Bahkan sepatu pantofel yang dia pakai tadi sudah ditanggalkan. Dia nyeker sekarang.

Dia depannya ada Haechan yang duduk diam di atas kursi roda, masih mengenakan pakaian pasien dan jarum infus yang masih terpasang sempurna.

"Kau siap?" Suara Mark terdengar sangat dalam dan rendah.

Pertanyaan Mark dijawab anggukan kecil oleh Haechan.

"Baiklah, aku mulai." Haechan menarik nafas gugup ketika tubuh Mark makin mendekatinya.

Untold Pain [MarkHyuck (GS)]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang